FADLIN, S.Pd

Fadlin, S.Pd, bungsu dari lima bersaudara ini lahir di Aceh Timur pada 26 April 1983. Ayah dari satu Putri ini aktif menulis di beberapa Platform Online, salah ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Pusara Madu

Oleh FADLIN, S.Pd

#Tagur hari ke-265

Aku dengan muka menunduk, duduk di hamparan tanah seluas 800 meter persegi. Dengan mata sembab aku memegang Surat Yasin yang bersampulkan foto suamiku.

Sesekali aku mengusap foto suamiku dengan lembut, saat aku mengantarkan doa untuknya yang tak jelas dimana pusaranya. Ekor mataku menyapu ke setiap sudut pemakaman massal yang ada ditengah-tengah kota itu.

Jelas yang terlihat hanya batu-batu nisan besar bertumpukan. Namun, aku yakin di salah satu nisan itu ada suamiku yang sedang tersenyum menatapku dari bawah.

Musibah besar itu telah memisahkan aku dengan suamiku. Minggu pagi itu ia berangkat ke pulau Sabang untuk mengikuti pelatihan dari Dinas Kesehatan Aceh. Dan hari itu menjadi hari terakhirku melihatnya. Ia sempat menghubungiku saat ia sudah berada di pelabuhan Ulee Lhe Banda Aceh, namun tiba-tiba saja teleponnya terputus karena gempa yang begitu kuat.

Aku menangis. Buncahan Qalam Ilahi tak henti-hentinya keluar dari mulutku. Ketakutan begitu menggelayutiku saat gempa yang maha dahsyat menghancurkan rumah yang baru saja kami tempati tiga bulan yang lalu. Setelah itu disusul dengan gelombang besar yang ikut menyapu semua bangunan rata dengan tanah. Sungguh menambah ketakutan bagiku yang sedang seorang diri di rumah.

Aku terseret oleh gelombang sejauh 200 meter dari rumahku. Nasib baik berpihak padaku, tali jemuran berasil aku raih. Lalu aku ditarik oleh beberapa orang yang tidak aku kenal ke sebuah bangunan sehingga aku terselamatkan dari gelombang besar. Namun tidak dengan suamiku hingga sekarang ia tidak ditemukan.

Saat akan meninggalkan pemakaman tiba-tiba saja langkahku tertahan oleh suara tangisan seorang wanita yang usianya lebih muda dariku. Ia menangis sesunggukan dan memeluk salah batu nisan yang ada di sampingnya. Tak tega melihatnya, akupun mendekati wanita itu.

"Mbak dari mana?" Tanyaku lirih.

"Aku baru saja tiba dari Sabang dua jam yang lalu, mbak." Jawab wanita itu mengusap matanya dengan selembar tisu.

Matanya masih saja berbinar. Sudut netranya terus mengeluarkan cairan putih bening, meskipun sudah berkali-kali ia menyekainya dengan beberapa lembar tisu. Lalu aku sodorkan ia Surat Yasin yang baru saja selesai aku baca.

"Jika mbak sayang dengan orang yang sedang mbak tangisi, bacakan ini untuknya, Insyaallah dia akan tenang disana." Ucapku dengan sedikit sunggingan senyum kecil di bibirku.

Tanpa penolakan wanita itu mengambil Surat Yasin itu dari tanganku, lalu dibacanya dengan suara terbata-bata karena menahan isak tangis.

Tiba-tiba wanita itu berhenti membaca Surat Yasin. Ia memelukku erat lalu menunjukkan foto yang ada di dalam Surat Yasin itu. "Dia ini suamiku mbak, aku sangat mencintainya." Ucap wanita itu yang tak mau melepaskan pelukannya dari tubuhku.

Aceh Timur, 22092022

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post