Oleh Fadlin, S.Pd

#Tagur hari ke-217

Apa yang aku lihat di sekelilingku masih sama seperti saat aku masuk beberapa tahun silam. Kamar berjendelakan jeruji besi yang berukuran 4 x 6 meter hanya muat untuk 6 orang. Alas tidurnya hanya sebuah tikar lusuh dan bantal yang telah menghitam karena jarang tersentuh cahaya matahari. Tak ada yang lain. Tak ada siapa pun selain ke lima temanku yang sama-sama harus menanggung perbuatannya karena telah melanggar hukum.

Aku terpaku menindihkan wajahku dengan memegang jeruji besi dengan kedua tanganku. Wajahku kusut. Pandangan kosong selalu menatap ke arah petugas lapas yang melintas di hadapanku. Sesekali buliran hangat bening menghampiri sudut netraku. Aku menangis bukan karena aku menyesali apa yang telah aku perbuat. Namun aku mensesali perbuatan istriku yang begitu tega mengkhianatiku.

Kejadian malam itu masih membias di ingatanku saat aku pulang tengah malam. Tiba-tiba darahku naik. Bola mataku menyala saat melihat istriku sedang bermesraan dengan seorang lelaki di ruang tamu rumahku. Emosiku menyeruak. Aku menyeret laki-laki itu dari ruang tamu rumahku. Aku menghantamnya habis-habisan. Lelaki yang digelayuti lemak itu tak mampu berbuat banyak. Wajahnya penuh luka lebam. Lalu aku mengarah ke istriku. Tangan panasku tergambar jelas di pipinya. Aku tak terima saat istriku berkata aku tak mampu lagi memuaskannya hingga ia melakukan perselingkuhan ini. Seketika emosiku menggunung. Aku kalap. Sebelah pisau berkali-kali aku tancapkan di perut istriku dan lelaki selingkuhannya.

Aceh Timur, 05082022