Tantangan Hari ke-125 RUMAH TANPA KAMAR (2)
Tantangan Hari ke-125
RUMAH TANPA KAMAR (2)
Penulis Lili Priyani
Di gerbang sekolah, Ayah memelukku lebih lama. Sambil berbisik, “Ingat semua pesan Ayah. Doakan Ayah. Insyaallah Ayah akan pulang kembali.” Air mataku menitik. Di ketiak Ayah aku lesapkan duka atas kepergian Ayah. Kalau seandainya aku mampu berkata-kata maka aku akan melarang Ayah pergi. Aku tak ingin Ayah meninggalkanku dan Ibu. Aku ingin kami tetap bersama, apapun keadaannya.
Tapi barangkali Ayah memang memiliki tujuan lain. Ayah ingin memperbaiki derajat hidup keluarga kami. Ayah ingin kehidupan kami lebih baik. Barangkali inilah jalannya agar Ayah bisa mengumpulkan lembaran rupiah demi keluarga tercinta.
Tak kuasa kumenahan air mata yang meluruh. Aku teramat sedih. Sulit bagiku yang kala itu baru berusia tujuh tahun lebih untuk menolak keadaan. Sulit juga bagiku untuk membayangkan bagaimana aku dan Ibu akan menjalani hari-hari tanpa kehadiran Ayah di samping kami.
Perlahan Ayah melepaskan pelukanku. Kutatap Ayah lebih dalam. Kuingin Ayah tahu bahwa aku selalu menantikan kehadiran Ayah. Aku ingin menyampaikan pesan melalui sorot mataku bahwa aku tak ingin Ayah berlama-lama meninggalkan kami.
“Segeralah pulang bila rupiah sudah di tangan.”
Barangkali seperti itulah makna tatap mata terakhir jumpa Ayah kala itu. ~~~
Benar saja, sejak kepergian Ayah ke Kalimantan, Ibulah yang menggantikan peran Ayah. Mengantarkan dan menjemputku ke sekolah menjadi tugas Ibu hingga aku menuntaskan pendidikan di SD. Sejak SMP, aku meminta Ibu untuk tidak mengantarkanku ke sekolah. Aku berjalan kaki. Aku kasihan pada Ibu, teramat kasihan.
Nyatanya, sejak kepergian Ayah, Ibu jugalah yang berperan sebagai Ayah alias tulang punggung keluarga alias pencari nafkah. Ibu kembali menjadi buruh cuci. Setiap pagi setelah salat Subuh, Ibu akan mengayuh sepeda menuju perumahan untuk mengetuk lima pintu rumah. Mengumpulkan pakaian-pakaian kotor, mencucinya, menyeterika pakaian yang kemarin sudah dicuci, dan juga membantu membersihkan rumah majikan. Seperti itu hingga sekarang aku duduk di bangku SMA kelas satu.
Bersambung.
(Tulip, 20 Mei 2020)

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren Bu ...
Terima kasih Bu Nelly.
Subhanallahu, baru sepenggal ceritanya sudah sangat mengharukan. Ditunggu cerita selanjutnya.
Insyaallah siap Pak Ali. Sehat selalu ya Psk.
Wow, cerita yang bikin hati tergetar. Keren Mami. Sukses selalu dan barakallahu fiik
Bu Viviiiii
Mantap mih
Makasih Esa.
Keren miih..
Bagus mih
Masya Allah ceritanya menginspirasi mami,kutunggu episode selanjutnya mamii,semangat terus menulis yah mami,dan juga sehat selalu untuk mami
Terima kasih Ara.
Keren mih
Bagus banget mih, jd nggk sabar sama cerita selanjutnya
Sedih huhuhu, ga sabar buat baca lanjutannya
Terharu bacanya, ditunggu kelanjutannya mii
Seruuuuuuuuuuu,ditunggu kelanjutannya
Bagus mih, ditunggu kelanjutannya
Keren mih, di tunggu kelanjutannya
Ga sabar nunggu kelanjutannya mih, seru
Bagusss banget mih
Bagus mih, ditunggu kelanjutan ceritanya
Keren mii, semangat terusssss mi
sedih bgt mih ,kenapa ayah nya sampai pergi demi mencari nafkah keluarga .sukses terus yah mih
Bagus, semangat terus mih
Bagus mih,ditunggu kelanjutannya
Cerita sebelum tidurku mih
lanjut mii
Mantap mi, semangat terus bikin ceritanya
Penasaran sama kelanjutannya...
Bagus mih tapi kurang puas bacanya,dilanjutkan
Lanjut mii
Bagusss sekali mamih
Penasarah kelanjutannya, ditunggu mi
Penasarah kelanjutannya, ditunggu mi
Lanjut lgi mih ceritanya