Sejak dipromosikan sebagai kepala bidang, Yulia bertekad membereskan semua ketidakberesan, terutama yang berkaitan dengan administrasi sekolah binaannya. Kebijakannya dimulai dari tertib administrasi izin operasional sekolah. Ternyata, setelah di cek, banyak sekolah yang memiliki nama yang berbeda-beda, pada dokumen yang dimilkinya. Akhirnya Yulia mengeluarkan instruksi, seluruh sekolah di wilayahnya harus menyamakan penamaan pada dokumen yang dimilikinya. Sontak, kebijakannya menuai protes dari banyak sekolah. Mengingat saat itu dana hibah pemerintah sudah harus disalurkan ke sekolah-sekolah.

Yulia juga, menetapkan kebijakan bahwa pengecekan lapangan harus melibatkan dirinya. Hal ini, ia lakukan karena ada indikasi pengelapan. Alhasil, pekerjaannya sebagai kepala bidang, kian bertambah. Setiap hari dokumen yang harus di periksa dan di tandatangani kian menumpuk dan menumpuk. Dan komplain keterlambatan penerbitan izin operasional, pencairan dana hibah dan lainnya mulai bermunculan. Walaupun demikian, Yulia tak bergeming, ia tetap merasa kebijakannya adalah cara teraik untuk kesehatan administrasi sekolah yang bersangkutan. Apalagi kebijakannya didukung penuh oleh atasannya.

Tanpa Yulia sadari, benih-benih kegeraman mulai memuncak. Hingga suatu pagi, ia di panggil oleh atasannya, yang mendapat teguran dari pimpinan daerah. Akhirnya untuk meredam gejolak di lingkup bawah, atasan Yulia dengan terpaksa, mencopotnya dari jabatan kabid, dan menempatkannya sebagai coordinator pelaksana di unit pelayanan Terpadu lainnya. Yulia tak habis piker, bahwa ia hanya berusaha menertibkan administrasi sebaik-baiknya. Lantas, mengapa, justru ia yang dikorbankan ?. Siapa yang salah,sebenarnya????