Wanita Dan Madu
#tagur2021-392
#tagur2022-208
Dalam tradisi lama, perempuan atau istri selalu ditempatkan hanya pada wilayah domestik: sekitar dapur, sumur, dan kasur. Di dapur, artinya seorang istri mempunyai tugas memasak, menyiapkan menu makan suami dan anak-anak. Di sumur, berarti tugas istri terkait dengan mencuci pakaian suami dan bebenah perabot rumah. Di kasur, tugas istri adalah melayani kebutuhan biologis suami sekaligus untuk melahirkan keturunan atau anak. Terkait hal ini, seorang istri hanya objek dan mesti siap dimadu jika suatu saat suaminya mempunyai tambatan hati yang lain (wil).
Dalam budaya Jawa kuno, perempuan ditempatkan dalam posisi tiyang wingking (subordinat), sebagai garwo (istri). Serat Wulang Putri mengajarkan sifat-sifat dasar yang harus diinternalisasikan dalam pendidikan perempuan: eling, isin, sabar, dan legawa. Eling berarti menyadari posisinya sebagai perempuan yang lebih rendah dari laki-laki, sekaligus menyadari kondisi itu telah ditakdirkan Tuhan. Isin berarti memiliki rasa malu dan bisa menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dianggap tak perlu. Sabar berarti perempuan harus tangguh dan sanggup menghadapi berbagai cobaan, dan legawa berarti rela menerima kondisi seberat apapun dan pantang memperturutkan hawa nafsu.
Posisi perempuan Jawa juga ditegaskan oleh pujangga besar Ranggawarsita dalam Serat Cemporet yang digubah di masa pemerintahan Pakubuwono IX:
“Bagi bangsawan luhur, perempuan merupakan lelange (hiasan), tanpa memilih atau melihat-lihat dari mana asal-usul silsilah keturunannya, asalkan perempuan itu memiliki kecantikan yang hebat, ia akan dapat menambah kawibawan (kewibawaan) lelaki. Oleh karena itulah sudah menjadi adat kebiasaan, jika para raja mempunyai banyak istri.”
Dalam sebuah tulisan berjudul “Menggugat Stereotipe perempuan Jawa”, yang merupakan resensi dari buku Kamasutra Jawa, Masun Lamongan menulis bahwa dalam Serat Cemporet, Ranggawarsita menulis perempuan hanyalah wadah (cawan) dari permata mulia (laki-laki); perempuan ibaratnya ke surga hanya menumpang. Perempuan sebagai emban (pembantu), sebagai lelangen: penghias kehidupan lelaki. Cemporet menjadi sebuah pembenaran bagi praktik poligami terutama di kalangan bangsawan, sekaligus semacam pengukuhan rendahnya posisi perempuan.
Pola pikir ini dijabarkan lebih jauh oleh Ranggawarsita dalam Serat Candrarini yang ditulis pada 1863 atas perintah Sri Susuhunan Pakubuwono IX dari Surakarta. Serat itu adalah sebuah tuntutan perilaku bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga poligami. Di masa itu feodalisme sedang berjaya, dan praktik poligami menjadi lumrah. Dari penguasa tertinggi hingga rakyat jelata melakukan poligami. Serat ini memang dimaksudkan untuk menjadi penuntun perilaku perempuan dari berbagai kalangan.
Di dalam Candrarini, Ranggawarsita menuliskan tuntunan perilaku bagi perempuan mengacu pada tauladan lima istri Arjuna: Sumbadra, Manohara, Ulupi, Gandawati, dan Srikandi. Mereka mampu mengabdi secara total kepada suami dan hidup rukun dalam sebuah rumah tangga poligami. Kelimanya dianggap sosok perempuan ideal, sebab selain cantik rupawan, semuanya memiliki kerendahan hati, sopan santun, welas asih, kemampuan untuk mengabdi serta perilaku yang halus –kualitas yang wajib dimiliki perempuan agar langgeng dalam sebuah kehidupan perkawinan (berpoligami). Sebaliknya, serat ini menistakan perempuan yang bercerai:
“Yang disebut perempuan bila ia bercerai adalah sangat hina, hilang segala keutamaannya, urung (lah ia) memenuhi kodratnya sebagai perempuan, seumpama orang yang bertapa, gagallah samadinya.”
Agar perceraian tak sampai terjadi, serat Candrarini memberikan berbagai saran untuk perempuan. Pokok-pokok “nasihat” yang dikandungnya ada sembilan: setia pada lelaki, rela dimadu, mencintai sesama, trampil pada pekerjaan perempuan, pandai berdandan dan merawat diri, sederhana, pandai melayani kehendak laki-laki, menaruh perhatian pada mertua, serta gemar membaca buku-buku berisi nasihat. Nasihat itu kian menunjukkan betapa perempuan hanya pihak yang menerima, bukan memutuskan, sebuah perceraian.
Dalam perkawinan poligami, istri kedua atau ketiga dst sering disebut sebagai madu, mengapa demikian. Apakah karena manisnya?
Arti madu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia:
madu2/ma·du/ n 1 istri sah yang lain dari seorang suami berdasarkan pandangan istri pertamanya: 2 orang yang menjadi saingan dalam percintaan; pesaing dalam percintaan;
Sebagian orang mengatakan, bahwa “madu” itu berasal dari kata “memadukan,” dinamakan demikian sebab seorang suami telah memadukan antara dua istri atau lebih. Inilah makna “madu” dalam Bahasa Indonesia.
Sumber:
**(censored)**
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Wih, ulasan yang menarik. Berani memadu? Hihi.... Padahal dalam Islam perempuan begitu dimuliakan ya. Ulasan yang keren, Pak
Hehe.... iya Bu Erna
Tidak ada tawaran lain Bapakku selain dimadu? He he ulasan yang sangat menarik.
Hehe... begitu ya Bu
Selama itu bukan alasan untuk memadukan maksud poligami maka menolak adlah kata yang pertama meski tidak semua bisa menerima kenyataan yang ada hihi maaf ya Pak
Ya Bu Andi,...
Waduhhh...untunglah sy hidup di zaman ini. Bkn saat sembadra dimadu dg banyak wanita. Heheheee...
Hehe.... betul Bu Siska
Kira kira bisa gak ya dua wanita di padukan ?
Hehe... dalam kasus tertentu ada yang bisa
Mantap ulasannya, pak. Sukses selalu!
Keren ulasannya pak Rochadi, wanitaidentik dengan madu karena sama manisnya kali Pak. salam sehat dan sukses selalu
Hehe.... bisa juga Bu Libe Mart