suhari

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
153. Zalim Tapi Merasa dizalimi

153. Zalim Tapi Merasa dizalimi

Sebenarnya smua manusia didesain oleh Allah Swt bisa sukses dalam kehidupannya. Sukses dunia ditandai dengan keberhasilannya dalam meraih fasilitas dunia berupa harta maupun kedudukan. Sukses akhirat indikasinya menjadi orang salih yang ahli ibadah meski fasilitas dunia kurang menggembirakan. Sukses dunia akhirat ukurannya ketika bisa menjadi orang bertakwa  lagi bertawakkal, dunia tunduk kepadanya dan masuk surga kelak.

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا  وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. (QS. Ath Tholaq: 2-3). Ibnu ‘Abbas ra menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan: ‘Allah akan mengadakan baginya jalan keluar’ yaitu dengan takwa, Allah akan menyelematkannya dari kesulitan di dunia dan akhirat.  (Tafsir Al Qurthubi, 18: 159).

            Tidak semua manusia hidupnya bisa sukses, tergantung keseriusan dan kesungguhan dirinya sendiri. Semakin fokus dan bersungguh-sungguh, kesuksesan semakin dekat diraih. Sukses dunia akhirat dengan ketakwaan bisa diraih siapa pun tanpa memandang harta atau kedudukan. Baik raja maupun rakyat jelata berpeluang sama bisa menjadi orang yang bertakwa. Takwa tidak selamanya membutuhkan harta atau fasilitas dunia lainnya. Takwa hanya membutuhkan tekad kuat menjalankan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya.

            Bisa memahami kegagalan diri berikut faktor penyebabnya itu lebih baik daripada tidak menyadari kalau dirinya sedang dalam kegagalan dan menyalahkan orang lain. Orang yang sadar dirinya gagal ada kemungkinan bangkit untuk memperbaiki diri. Sedangkan orang yang tidak pernah bisa menerima faktor kegagalan muncul dari dirinya sendiri, kecenderungannya  akan menyalahkan orang lain. Dirinya gagal disebabkan orang lain, dirinya bermaksiat karena orang lain,bahkan dirinya masuk neraka karena kesalahan setan yang mengajaknya. Setan memang sudah salah dari dulu,mengikuti setan yang salah adalah kesalahan yang besar. Dan ini jarang disadari manusia,sehingga hidupnya tetap terlena dengan bujuk rayu godaan setan.

Ibnul Qayyim ra (wafat:751-H) dalam kitabnya Madaarijus Saalikiin (1/209-210, Cet.-3, Daarul Kitab al-‘Arobi Beirut) membuat permisalan yang sangat indah tentang  orang yang lebih sering menyalahkan orang lain daripada dirinya sendiri. Orang demikian cirinya lebih senang menghitung musibah  yang menimpanya dan melupakan nikmat Allah swt yang begitu banyak, padahal dialah sebenarnya menjadi penyebab utama dari segenap musibah yang menimpanya. Kesalahan dirinya yang menyebabkan musibah terjadi kurang diperhatikan, tapi justeru menyalahkan orang lain sebagai penyebab datangnya musibah. Beliau berkata:

وَلَوْ عَلِمَ هَذَا الظَّالِمُ الْجَاهِلُ أَنَّهُ هُوَ الْقَاعِدُ عَلَى طَرِيقِ مَصَالِحِهِ يَقْطَعُهَا عَنِ الْوُصُولِ إِلَيْهِ، فَهُوَ الْحَجَرُ فِي طَرِيقِ الْمَاءِ الَّذِي بِهِ حَيَاتُهُ، وَهُوَ السُّكْرُ الَّذِي قَدْ سَدَّ مَجْرَى الْمَاءِ إِلَى بُسْتَانِ قَلْبِهِ، وَيَسْتَغِيثُ مَعَ ذَلِكَ: الْعَطَشَ الْعَطَشَ، وَقَدْ وَقَفَ فِي طَرِيقِ الْمَاءِ، وَمَنَعَ وُصُولَهُ إِلَيْهِ، فَهُوَ حِجَابُ قَلْبِهِ عَنْ سِرِّ غَيْبِهِ، وَهُوَ الْغَيْمُ الْمَانِعُ لِإِشْرَاقِ شَمْسِ الْهُدَى عَلَى الْقَلْبِ، فَمَا عَلَيْهِ أَضَرُّ مِنْهُ، وَلَا لَهُ أَعْدَاءٌ أَبْلَغُ فِي نِكَايَتِهِ وَعَدَاوَتِهِ مِنْه.

مَا تَبْلُغُ الْأَعْدَاءُ مِنْ جَاهِلٍ … مَا يَبْلُغُ الْجَاهِلُ مِنْ نَفْسِهِ

فَتَبًّا لَهُ ظَالِمًا فِي صُورَةِ مَظْلُومٍ، وَشَاكِيًا وَالْجِنَايَةُ مِنْهُ، قَدْ جَدَّ فِي الْإِعْرَاضِ وَهُوَ يُنَادِي: طَرَدُونِي وَأَبْعَدُونِي

Andaikata si durhaka lagi jahil ini mengetahui, Dialah yang justru duduk di atas jalan kemaslahatan bagi dirinya sendiri, dia memutus jalan kemaslahatan tersebut untuk bisa sampai kepadanya. Dia layaknya seonggok batu yang menghalangi aliran air kehidupan untuk dirinya. Ia laksana pemabuk yang menyumbat laju air menuju kebun hatinya, bersamaan dengan itu dia berseru minta tolong: “haus…., haus…!!” Sementara dia berdiam diri di atas aliran air, namun tidak sedikitpun manfaat air tersebut ia dapatkan. Maka dia pada hakikatnya adalah tirai penutup hatinya. Dia sendiri pada hakikatnya adalah awan kelam yang menghalangi sinar hidayah bagi hatinya, tidak ada yang lebih berbahaya bagi hatinya selain dia sendiri, dan tidak ada musuh yang lebih mengganggu dan memusuhi selain dirinya sendiri.  (Sebagaimana ungkapan sya’ir): Musuh tak mampu mengakibatkan kerugian kepada orang bodoh…..sedahsyat kerugian yang mampu diakibatkan oleh orang bodoh tersebut kepada dirinya sendiri.’ Maka celakalah ia, Si Zalim dengan wajah orang yang terzalimi, Si Pengeluh (karena masalah yang menimpanya) padahal ia sendiri adalah biang kerok masalah tersebut, (celakalah ia) Si Pembangkang yang menjauh, namun justru berkoar-koar: ‘Mereka telah mencampakkan dan menelantarkan aku.’

Tabiat manusia memang lebih senang menyalahkan orang lain daripada harus menyalahkan dirinya sendiri. Padahal kegagalan,kesusahan,dan masalah yang menimpanya lebih banyak ditimbulkan dari dirinya sendiri. Orang lain hanyalah sedikit sekali dan jarang menjadi penyebab datangnya musibah atau masalah. Tidak hanya orang lain yang disalahkan, bahkan Allah Swt sebagai pencipta juga sering menjadi pihak tertuduh dan layak menjadi penyebab musibah hidupnya.

إِنَّ الإنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ

Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya. (QS. Al-‘Aadiyaat: 6).

            Kufur nikmat seolah menjadi tabiat manusia kebanyakan. Rasa syukur hanya muncul kadang kala saja ketika mendapat sesuatu yang diinginkan saja. Padahal tanpa dimintapun, Allah Swt telah berikan segala sesuatu yang menjadi kebutuhannya. Semua fasilitas hidup telah diberikan dengan gratis tanpa harus membelinya. Tapi manusia enggan mensyukurinya, yang ada hanyalah musibah demi musibah dihadapannya, seolah menjadi manusia paling menderita sedunia. Al-Hasan aBashri ra mengungkapkan yang demikian dengan:

هُوَ الْكَفُوْرُ الَّذِيْ يُعِدُّ الْمَصَائِبَ وَيَنْسَى نِعَمَ رَبِّهِ

‘Dialah orang yang sangat kufur (akan nikmat), senantiasa menghitung-hitung musibah yang menimpanya, namun melupakan nikmat dan anugerah dari Rabbnya.’(Tafsir Ath-Thabari: 24/566). Semoga kita tidak termasuk manusia yang demikian, lebih suka menampakkan deretan musibah dan menyalahkan orang lain sebagai penyebabnya. Tapi menjadi manusia yang pandai bersykur dan menyembunyikan musibah, jika ada musibah segera muhasabah diri atau instropeksi diri. Amin []

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post