Adigang, Adigung, Adiguna (T.479)
Bab 10: Si Burung Pipit Kecil Di bawah langit yang mulai kelabu, di pucuk pohon tertinggi, seekor burung kecil duduk sendirian. Ia adalah Pipit kecil tubuhnya, namun besar rasa ingin tahunya. Bulu-bulunya cokelat lembut, dengan garis putih tipis di sayapnya. Tak seperti burung lain yang suka beramai-ramai, Pipit lebih suka mengamati.
Ia melihat semuanya lomba para raja, pertengkaran mereka, dan kepergian dua raja dalam amarah. Hatinya sedih.
“Hutan ini sudah tak seperti dulu…” gumam Pipit sambil menatap jauh ke arah utara, tempat Raja Kijang tinggal, dan selatan, tempat Raja Gajah mengasingkan diri.
Dari ketinggiannya, Pipit juga melihat sesuatu yang aneh di kejauhan. Asap. Bukan asap masakan atau api unggun. Ini lebih gelap. Lebih tebal. Dan… bersama asap itu, suara aneh terdengar:
“Dengung… dengung… dentum… krak!”
“Suara apa itu?” bisik Pipit, penasaran tapi juga takut.
Ia pun mengepakkan sayapnya dan terbang pelan menuju arah sumber suara. Terbang rendah, melewati pohon-pohon, ranting-ranting, dan suara-suara hutan yang perlahan mulai hilang. Beberapa burung lain terbang menjauh dengan panik, membawa anak-anak mereka ke tempat yang lebih tinggi.
Di antara celah daun-daun lebat, Pipit melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Benda besar beroda, berwarna kuning dan hitam, sedang menggulung tanah. Di belakangnya, pohon-pohon besar tumbang satu per satu seperti batang korek api.
Pipit menelan ludah.
“Itu… itu mesin!” katanya ketakutan.
Manusia datang.
Hutan yang dulu damai kini diancam oleh sesuatu yang jauh lebih menakutkan daripada perdebatan para raja.
Pipit segera terbang kembali ke jantung hutan. Ia harus memberi tahu yang lain.
Ia hinggap di pohon Rusa Tua.
“Tuan Rusa! Bahaya besar datang! Manusia! Mesin mereka menghancurkan pohon-pohon!”

Rusa Tua yang bijak mengangguk pelan, seolah sudah merasakannya.
“Aku tahu, Pipit kecil. Aku merasakannya dari getaran tanah. Tapi… siapa yang mau mendengarkan peringatan seekor burung kecil?”
Pipit menggigit paruhnya.
“Aku akan berusaha. Aku tak bisa diam saja.”
Ia pun terbang ke arah Kerajaan Kijang. Mencari Raja Kijang yang lincah, berharap ia mau mendengarkan. Tapi begitu Pipit tiba, ia dihadang oleh beberapa rusa besar.
“Pipit? Mau apa kamu ke sini?” tanya mereka sinis.
“Aku harus bicara dengan Raja Kijang! Ini penting!”
Namun para penjaga malah tertawa kecil.
“Sejak kapan burung kecil bisa membawa kabar penting? Jangan buang waktu Raja kami!”
Meski kecewa, Pipit tak menyerah. Ia terbang ke arah barat, ke daerah Raja Gajah. Tapi ia mengalami hal serupa. Gajah-gajah yang menjaga wilayah itu menganggap Pipit hanya mengada-ada.
“Kamu hanya burung kecil. Mana bisa kamu mengerti soal urusan besar seperti ini?” ucap salah satu gajah besar sambil mengibaskan telinganya.
Pipit terdiam sejenak di cabang pohon rendah. Ia menatap langit, lalu menunduk. Hatinya sakit. Tapi ia tidak menangis. Ia tahu ia harus tetap bicara, meski tak didengarkan.
“Aku bukan siapa-siapa… tapi aku mencintai hutan ini,” bisiknya.
Maka ia terbang kembali ke pohon Rusa Tua.
“Aku gagal…” katanya lirih.
Tapi Rusa Tua menatapnya dengan mata teduh.
“Belum. Kau belum gagal, karena kau belum menyerah.”
Pipit menatap matanya. Ada nyala kecil dalam dadanya. Ia akan coba lagi.
Ia akan mendekati hewan-hewan kecil. Ia akan bercerita. Ia akan mengajak mereka mengerti. Karena jika para raja terlalu sombong untuk mendengar…
…maka para kecil-kecil harus mulai bersuara.
===========================================================================================
Garahan, 18 Juni 2025 / Rabu, 21 Dzulhijjah 1446 H, 07.38 WIB
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap surantap Mas ustadz. Sukses selalu
Terima kasih mas ustadz
Mantap ceritanya, Pak Tito. Salam sukses selalu!
Terima kasih bunda, salam sukses juga