Jumari Tito, S.Pd, M. Pd

Guru Madrasah Ibtidaiyah mempunyai impian sukses menjadi guru dunia akhirat email jumaritito1976gmailcom FB Jumari Tito Galing IG Jumari Tito Tiktok Gur

Selengkapnya
Navigasi Web
Adigang, Adigung, Adiguna (T.483)

Adigang, Adigung, Adiguna (T.483)

Bab 12: Pipit Dihina Tiga Raja Pipit kecil terbang rendah melintasi celah-celah pohon. Setelah mengumpulkan semangat hewan-hewan kecil di bawah Pohon Rapat, ia merasa waktunya telah tiba: para raja harus tahu, walau mereka telah menolak sebelumnya. Mungkin, kali ini mereka akan mendengarkan.

Ia memutuskan untuk mendatangi mereka satu per satu.

Pertama, ia menuju ke utara ke wilayah Raja Kijang. Daun-daun di sana lebat dan licin, tanahnya dipenuhi jejak-jejak cepat. Pipit melihat Raja Kijang tengah berlari-lari sendiri di padang rumput terbuka, mencoba melupakan kekalahan dan marahnya sendiri.

Pipit hinggap di atas batu dan berkicau: “Raja Kijang! Maafkan gangguan ini. Aku datang membawa kabar penting!”

Raja Kijang berhenti, memelototi Pipit dengan alis mengernyit.

“Lagi-lagi kamu? Aku sudah bilang, aku tidak punya waktu mendengarkan ocehan burung kecil!”

“Tapi, hutan kita dalam bahaya besar! Manusia datang membawa mesin pohon-pohon ditebang! Hewan-hewan lari ketakutan!”

Namun Raja Kijang tertawa kecil, mencibir. “Kalau begitu, larilah seperti mereka! Bukankah kalian memang kecil dan lemah? Aku akan selamat. Kijang seperti aku selalu bisa menghindar dengan cepat.”

“Bagaimana dengan hewan yang tidak bisa lari?” tanya Pipit sedih.

Raja Kijang menjawab enteng,

“Itu bukan urusanku.”

Dengan dada berat, Pipit meninggalkan wilayah utara dan terbang ke selatan, tempat Raja Gajah membangun kerajaannya sendiri. Di sana, tanah bergetar setiap kali Raja Gajah berjalan. Ia tengah melatih anak-anak gajah mengangkat batu dan menumbangkan pohon tumbang.

Pipit menghampiri dengan hati-hati.

“Yang Mulia Raja Gajah, tolong dengarkan aku hanya ingin memberitahu bahwa hutan kita sedang terancam. Manusia datang dengan alat-alat berat jauh lebih berat dari tubuhmu.”

Raja Gajah berhenti dan menatap Pipit dengan mata tajam. “Kau datang lagi dengan cerita-cerita yang tak jelas? Burung kecil, urus saja sarangmu! Aku bisa hancurkan apa pun yang datang. Mereka tidak akan berani padaku.”

“Tapi Raja Gajah, kekuatan saja tak cukup. Mereka datang dengan rencana, bukan hanya mesinnbmereka menggusur seluruh wilayah kita.”

“Cukup!” bentak Raja Gajah.

“Kalau kau terus mengoceh, aku akan menyuruh anak buahku mengibaskanmu dari ranting!”

Pipit menunduk, lalu perlahan terbang menjauh, hatinya perih.

Terakhir, dengan harapan terakhir, ia kembali ke tengah hutan, tempat Raja Ular tinggal. Raja Ular memang pernah menang lomba, tapi ia pun sudah mulai menjauh dari hewan-hewan lain.

Di balik akar pohon besar, Pipit mendekat. “Raja Ular… aku tahu Engkau bijak. Tapi sekarang kami butuh lebih dari sekadar bijak. Kami butuh tindakan. Hewan-hewan kecil sudah siap bekerja sama, tapi tanpa raja-raja, kami akan kalah.”

Raja Ular melingkar di atas batu hangat. Ia membuka matanya perlahan, lalu berkata dingin, “Aku telah memperingatkan yang lain, tapi tak ada yang mau mendengar. Dan kau tahu, Pipit… tidak semua cerita berakhir baik. Kadang, hutan memang harus kehilangan sebagian dirinya sebelum sadar.”

“Tapi kalau kita diam saja, hutan bisa hilang seluruhnya!” seru Pipit.

Raja Ular menyipitkan matanya.

“Kau terlalu berani untuk seekor burung kecil. Kau bicara seolah tahu segalanya. Tapi dunia ini bukan tentang keberanian kecil. Ini tentang kekuasaan, pengaruh, dan… kadang, diam.”

Pipit menatap lurus.

“Kalau begitu… aku akan berbicara lebih keras lagi.”

Dan dengan itu, ia terbang meninggalkan tiga raja yang semua menolaknya.

Tapi ia tidak menangis.

Ia kembali ke Pohon Rapat, dan berkata kepada teman-temannya yang telah berkumpul:

“Tiga raja telah menolakku. Tapi aku tak akan berhenti. Karena kita tak butuh menjadi besar untuk jadi penting. Kita butuh bersama.”

Dan saat malam datang, hutan tak lagi sunyi. Dari balik semak, batu, dan dahan, suara-suara kecil mulai menyatu. Hutan bersiap. Meski tiga raja masih dalam keangkuhan persatuan kecil sedang tumbuh.

=================================================================

Garahan, 22 Juni 2025 / Ahad Kliwon, 25 Dzulhijjah 1446 H, 09.26 WIB

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap surantap Mas ustadz. Berasa yang kesindir,, Rakyat kecil memang tidak akan didengar kisahnya, sekalipun yang disampaikan adalah sebuah kebenaran... haha. Lanjuut. Sukses selalu

22 Jun
Balas

sesuai dengan mas ustadz sampaikan di artikel, saya hanya memperhalus saja hahaha, sukses juga untuk mas ustadz

23 Jun

Mantap banget. Salam sukses

22 Jun
Balas

Opa terima kasih kunjungannya

23 Jun

Kisah yang inspiratif, Pak. Lanjooott.... Salam sukses.

22 Jun
Balas

hahaha siap bunda syantik

23 Jun



search

New Post