Adigang, Adigung, Adiguna (T.495)
Bab 23: Rencana Pipit yang Ajaib
Malam telah turun di Hutan Gumitir, tapi kali ini suasananya berbeda. Biasanya hanya sunyi dan desiran angin, namun kini terdengar langkah-langkah kaki, desis pelan, desir sayap, dan gumaman hewan-hewan dari segala penjuru.
Di bawah cahaya rembulan yang menembus sela-sela daun, Pohon Rapat menjadi pusat perhatian. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hutan, semua jenis hewan berkumpul tanpa rasa takut.
Dari yang besar seperti gajah, kerbau, dan buaya, hingga yang kecil seperti semut, tupai, dan capung semuanya datang. Mereka membentuk lingkaran besar, menanti satu sosok kecil berdiri di tengah.
Pipit kecil, berdiri di atas batu kecil, matanya menatap setiap wajah yang memandang.
“Teman-teman,” katanya lantang,
“kita tahu besok manusia akan datang menebang pohon-pohon terakhir di sisi timur. Kalau itu terjadi, air sungai akan berubah arah, tanah longsor, dan kita kehilangan rumah kita selamanya.”
Suasana hening. Semua mendengarkan.
“Karena itu, malam ini, aku ingin membagikan rencanaku… bukan rencana besar dari seekor raja, tapi rencana sederhana dari seekor Pipit,” katanya tersenyum.
Semua mulai merapat.
“Aku menyebutnya ‘Rencana Kebingungan’,” lanjut Pipit.

“Kita tak bisa melawan mesin mereka secara langsung. Tapi kita bisa mengacaukan mereka, mengganggu pikiran dan alat-alat mereka.”
Ia lalu menunjukkan gambar-gambar sederhana di atas tanah dengan ranting.
“Besok pagi, lebah-lebah akan menyerang logistik mereka dari udara. Babi hutan akan menggali dan membuat lubang jebakan kecil di jalan setapak menuju alat berat.”
“Burung hantu dan kelelawar akan membuat suara aneh dari balik pepohonan, dan musang akan mencuri barang-barang kecil mereka. Semut akan menyerbu makanan mereka. Buaya akan menutup jalur air sementara sehingga sungai terlihat surut.”
Hewan-hewan mulai berbisik kagum.
“Intinya,” kata Pipit,
“bukan menyerang, tapi membuat mereka bingung, takut, dan mengira tempat ini berhantu.”
Raja Ular tersenyum.
“Kau lebih pintar dari yang kami kira.”
Raja Gajah mengangguk setuju.
“Ini bukan perang fisik, ini perang pikiran.”
Pipit melanjutkan,
“Saat mereka mulai mundur, kita akan tunjukkan bahwa hutan ini bukan milik mereka. Kita akan kembalikan suara hutan bukan dengan kekerasan, tapi dengan keberanian dan kebersamaan.”
Raja Kijang berdiri.
“Siapkan semuanya. Sebelum fajar menyingsing, kita sudah di posisi.”
Burung-burung beterbangan, semut-semut berbaris, kelelawar membentuk formasi. Setiap hewan tahu tugasnya. Tak ada lagi yang ragu.
Malam itu, hutan bergerak seperti satu tubuh. Dan semua berawal dari rencana seekor Pipit kecil yang tak pernah menyerah.
Sebelum pergi ke posisinya, Pipit menatap langit.
“Hutan ini bukan sekadar tempat tinggal,” bisiknya.“Ini rumah, dan rumah harus kita lindungi bersama.”
=================================================================
Garahan, 03 Juli 2025 / Kamis Legi, 07 Muharram 1447 H, 08.09 WIB

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Yesss...brg pipit yg kcl pun ternyata cemerlang rencananya.
secemerlang hatinya yang ingin melindungi habitatnya Oma
Mantap bingit, kisahnya, Pak. Perang pikiran. Lanjooot.... Salam sukses.
Siap graakkk Bunda syantik