Jumari Tito, S.Pd, M. Pd

Guru Madrasah Ibtidaiyah mempunyai impian sukses menjadi guru dunia akhirat email jumaritito1976gmailcom FB Jumari Tito Galing IG Jumari Tito Tiktok Gur

Selengkapnya
Navigasi Web
Selendang merah sang Nenek (T.460)

Selendang merah sang Nenek (T.460)

Bab 18 – Jejak Langkah di Tanah Sendiri

Dua minggu setelah pertunjukan istimewa di Istana, suasana Desa Suka Murni mendadak meriah. Warga berkumpul di balai desa sejak pagi, menyiapkan acara penyambutan bagi Zahira dan anak-anak Sanggar Anak Langit. Spanduk warna-warni terpasang di pintu masuk desa: “Selamat Datang Pahlawan Seni dari Desa Garahan!”

Zahira turun dari mobil dengan hati penuh haru. Di belakangnya, Dani, Rani, Arum, dan anak-anak lainnya juga disambut sorak dan tepuk tangan. Bahkan, Pak Lurah sendiri turun tangan memandu acara penyambutan.

“Kami bangga pada kalian semua,” ujar Pak Lurah di atas panggung kecil.

“Kalian telah membawa nama desa ini hingga ke istana. Tak hanya menari, tapi menyuarakan jiwa kita.”

Zahira tersenyum dan memberi isyarat hormat. Di tangannya masih tergenggam erat bingkai selendang merah sang nenek Fransiska. Ia ingin semua orang tahu: semuanya bermula dari sini, dari desa, dari satu orang yang percaya pada budaya.

Beberapa hari kemudian, Zahira menggelar pertemuan terbuka di sanggar. Ia tak menyangka, yang hadir bukan hanya anak-anak yang dulu menari bersamanya, tapi juga para orang tua, pemuda, bahkan guru-guru dari madrasah dan sekolah sekitar.

“Saya ingin berbagi mimpi,” katanya di depan mereka.

“Mimpi untuk menjadikan sanggar ini sebagai rumah budaya, tempat anak-anak tak hanya menari, tapi belajar mencintai jati diri mereka.”

Suara gemuruh tepuk tangan mengisi ruangan.

“Boleh saya tanya?” ucap salah satu pemuda bernama Andre.

“Kalau kita ingin ikut belajar, tapi bukan penari… apakah boleh?”

Zahira tersenyum. “Sanggar ini bukan hanya tempat untuk penari. Ini tempat semua yang ingin mencintai Indonesia melalui budayanya. Bisa menulis, menggambar, membuat film pendek, mendongeng, semuanya bisa!”

Pertemuan itu menjadi awal gelombang baru. Zahira membentuk tim kecil yang terdiri dari relawan muda dan ibu-ibu kreatif. Bersama-sama mereka mulai membentuk program-program: pelatihan tari tradisional, kelas seni lukis, bengkel dongeng, dan bahkan dokumentasi sejarah desa.

Satu sore, Zahira duduk di beranda rumah, membuka buku tua milik nenek Fransiskanya. Di dalamnya terdapat catatan tangan Nenek Fransiska Sri tentang asal-usul tarian di daerah mereka, sejarah selendang merah, dan filosofi gerakannya. Zahira membaca dengan saksama, seolah sedang bercakap dengan sang nenek Fransiska.

“Zahira, suatu saat, tarian ini akan menemukan jalannya,” begitu salah satu catatan berbunyi.

Air mata Zahira mengalir perlahan. Kini jalan itu telah terbuka, dan ia berjalan di atasnya.

Tak lama kemudian, kabar baik datang lagi. Sebuah museum budaya di kota besar mengundang Zahira dan tim sanggarnya untuk mengisi pameran bulanan dengan tema "Warisan dari Desa." Kali ini, bukan hanya pertunjukan tari, tapi juga pajangan karya anak-anak sanggar: lukisan motif kain, tulisan cerita rakyat, dan dokumentasi sejarah desa dalam bentuk visual.

Rani dan Arum yang dulu pemalu, kini berdiri percaya diri menjelaskan lukisan mereka kepada para pengunjung. Dani memutar dokumenter pendek yang ia buat sendiri, menampilkan kehidupan penari desa dari pagi hingga malam.

Zahira sendiri mempersembahkan sesi berbagi kisah, menceritakan tentang nenek Fransiska dan selendang merah.

“Selendang ini bukan hanya kain. Ia adalah doa yang ditenun oleh waktu dan cinta,” ucapnya sambil memperlihatkan bingkai yang kini dihiasi dengan ukiran tangan anak-anak desa.

Salah satu pengunjung, seorang kurator budaya, terkesan dan mengajak Zahira bekerja sama mengembangkan kurikulum kesenian berbasis tradisi untuk anak-anak di seluruh Indonesia.

Kembali ke desa, Zahira menyadari bahwa langkah-langkah kecil yang ia dan nenek Fransiskanya pernah buat kini telah menjadi jejak panjang yang diikuti banyak orang. Setiap gerak tari, setiap ayunan selendang, bukan hanya tentang seni tetapi tentang harapan, perjuangan, dan cinta kepada tanah air.

Di malam yang sunyi, Zahira kembali ke makam nenek Fransiskanya. Ia duduk, meletakkan bunga kamboja di atas batu nisan, lalu membisikkan kata-kata lembut:

“Nek, jejak langkahmu kini hidup di kaki kami semua.”

=================================================================

Garahan. 28 Mei 2025 / Rabu  kliwon, 30 Dzulqo'dah 1446 H, 07.16 WIB

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Aminnn...duh, oma ketinggalan brp episode nih?

28 May
Balas

Nah Oma ada cerita serunya disitu sebelum bab ini hehehe

29 May

Cerita menarik, sukses Pak

28 May
Balas

Alhamdulillah Bapak kembali lagi mengudara, terima kasih hadirnya dan semangatnya, salam sukses selalu

29 May

Luar biasa inspiratif, Pak. Semoga itu bukan hanya cerita, tapi mimpi kita semua. Desa budaya, kota budaya, negara budaya. Salam bahagia.

28 May
Balas

the dreams come true bund, semoga terwujud impian Zahira, salam sukses selalu

29 May



search

New Post