Selendang merah sang Nenek (T.459)
Bab 17 – Panggung Terhormat di Istana
Langit Jakarta tampak cerah pagi itu. Udara masih dingin, namun semangat anak-anak dari Sanggar Anak Langit membara sejak malam. Mereka baru saja tiba di wisma tempat menginap, tidak jauh dari Istana Merdeka. Zahira yang kini telah terbiasa memimpin rombongan, menenangkan anak-anak yang tak sabar ingin segera tampil.
“Kita masih punya waktu latihan sehari penuh sebelum gladi bersih. Gunakan sebaik mungkin,” ucap Zahira di hadapan mereka.
Dani dan Rani yang duduk berdampingan hanya mengangguk dengan mata berbinar. Meski lelah karena perjalanan, tak ada satu pun anak yang mengeluh.
Hari latihan berlangsung penuh semangat. Mereka diberi kesempatan mencoba panggung megah dengan pencahayaan sempurna dan pengeras suara yang memantulkan irama musik tradisional dengan jelas. Semua anak terpana ketika melihat bendera Merah Putih berkibar di halaman istana.
“Ini bukan seperti panggung desa kita ya, Kak?” bisik salah satu anak, Arum.
Zahira tersenyum. “Iya, tapi ingat… yang penting bukan seberapa megah panggungnya, tapi seberapa besar cinta yang kita bawa ke atasnya.”
Sore harinya, setelah latihan selesai, mereka diajak berkeliling area Istana oleh panitia. Melihat lukisan-lukisan pahlawan, singgasana negara, dan ruangan tempat Presiden biasa menerima tamu. Anak-anak tampak takjub, dan Zahira pun tak henti bersyukur.
Di salah satu ruang tunggu, Zahira duduk sendiri, memegang selendang merah peninggalan nenek Fransiska yang telah dibingkai rapi. Ia hendak menaruhnya di meja kenangan panggung, sebagai simbol cerita yang mengikat tarian mereka.
“Bu Nenek Fransiska, cucumu akan menari di sini,” bisiknya sambil memegang ujung kain lembut itu. “Tarianmu akan didengar, dilihat, dan semoga dikenang oleh negeri ini.”
Pagi keesokan harinya, hari pertunjukan tiba. Semua anak mengenakan kostum warna merah dan emas dengan selendang merah yang melambai di bahu mereka. Zahira mengenakan kebaya cokelat muda, sederhana namun anggun. Rambutnya disanggul rapi seperti yang biasa dilakukan Nenek Fransiska Sri setiap kali ada pertunjukan desa.
Sebelum naik ke atas panggung, Zahira membentuk lingkaran bersama anak-anak.
“Kita bawa cerita kita. Tentang nenek Fransiska, tentang desa, tentang cinta dan keberanian. Ingat, kita bukan hanya penari. Kita adalah penyampai pesan.”
Anak-anak saling menggenggam tangan. Tidak ada satu pun mata yang menatap ke bawah. Semua menatap ke depan dengan yakin.

Saat musik pengantar dimainkan, suasana istana hening. Para pejabat, seniman, dan bahkan Presiden duduk menyimak. Tarian dimulai dengan gerakan lembut yang menggambarkan kehidupan desa. Kemudian berubah menjadi gerakan penuh semangat yang menunjukkan perjuangan seorang nenek Fransiska yang mewariskan cinta pada budaya kepada cucunya.
Selendang merah dimainkan dengan indah. Berputar di udara, menari bersama angin dan gerakan tubuh para penari kecil. Di bagian akhir, mereka membentuk formasi bintang lima, dan Zahira maju ke tengah membawa bingkai selendang nenek Fransiska. Ia menunduk hormat di hadapan penonton, lalu mengangkat bingkai itu tinggi-tinggi.
Penonton berdiri. Tepuk tangan menggema di seluruh aula.
Seorang juru kamera menangkap momen itu dan menampilkannya di layar besar: seorang anak muda desa memegang peninggalan nenek Fransiskanya, dikelilingi anak-anak dengan mata berbinar.
Presiden berdiri dan berkata, “Terima kasih kepada Sanggar Anak Langit. Hari ini, bukan hanya budaya yang kalian jaga, tetapi juga semangat bangsa ini.”
Zahira menahan air mata, lalu membungkuk hormat.
Di belakang panggung, anak-anak saling berpelukan. Beberapa menangis karena bangga, yang lain tertawa bahagia.
“Kita berhasil, Kak!” kata Rani sambil melompat.
“Iya,” Zahira menjawab pelan. “Tapi ini bukan akhir. Ini adalah awal dari perjalanan panjang kita.”
Malam itu, sebelum tidur, Zahira membuka buku catatannya. Ia menulis:
“Tarian bukan sekadar gerak tubuh. Ia adalah doa, warisan, dan harapan. Hari ini, kami membawa cerita dari desa kecil menuju jantung negeri. Selendang merah kini bukan hanya milik kami, tapi milik Indonesia.”
=================================================================
Garahan, 27 Mei 2025 / Selasa Wage, 29 Dzulqo'dah 1446 H, 08.27 WIB
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar