Selendang merah sang Nenek (T.461)
Bab 19 – Api Kecil yang Menyala di Banyak Hati
Sejak kepulangannya ke Desa Garahan, hari-hari Zahira penuh warna. Sanggar yang dulu hanya berupa ruang kosong beralaskan tikar kini sudah memiliki lantai kayu, cermin besar di satu sisi, dan koleksi selendang dari berbagai daerah. Namun, lebih dari itu, yang membuat Zahira bahagia adalah semangat anak-anak yang terus membara.
Setiap sore, suara gamelan mini yang dimainkan anak-anak terdengar riuh dari sanggar. Faida yang kini belajar menabuh kendang memimpin latihan musik, sementara Nisa dan Zahira melatih gerakan baru dari tarian tradisi yang mereka pelajari dari video dan buku-buku kuno. Dani sibuk mengabadikan semua kegiatan dengan kameranya, menciptakan dokumentasi untuk generasi selanjutnya.
Zahira percaya, semangat budaya adalah api kecil. Jika dirawat, ia bisa menerangi banyak hati.
Suatu hari, Zahira menerima surat dari seorang guru Madrasah di desa tetangga. Dalam suratnya, sang guru menyatakan ketertarikannya untuk membawa murid-muridnya belajar tari ke Sanggar Anak Langit.
“Kami tidak punya guru tari, Bu Zahira,” tulisnya.
“Tapi anak-anak kami ingin belajar. Bolehkah kami datang setiap Sabtu?”
Tanpa ragu, Zahira langsung membalas:
“Dengan senang hati. Sanggar ini milik kita semua.”
Minggu berikutnya, datanglah rombongan kecil dari desa tetangga, berjalan kaki sejauh lima kilometer. Wajah-wajah mungil yang kelelahan itu langsung sumringah saat melihat selendang-selendang warna-warni digantung di dinding sanggar.
Zahira menyambut mereka satu per satu.
“Selamat datang di rumah budaya kalian,” ucapnya.
Latihan pun dimulai. Anak-anak belajar gerak dasar tarian “Cublak-Cublak Suweng,” diselingi nyanyian dan tawa. Zahira menyelipkan cerita rakyat di sela-sela latihan, menjelaskan makna setiap gerakan. Bagi Zahira, menari bukan hanya soal tubuh, tapi juga soal rasa dan kisah.
Sore itu, sanggar menjadi panggung kecil tempat berbagai mimpi menari bersama.
Zahira kemudian terinspirasi untuk menciptakan program baru bernama “Tari dari Hati” sebuah pelatihan keliling untuk anak-anak desa yang belum memiliki akses ke seni budaya. Ia mengajak pemuda-pemudi relawan dari sanggar, membagi tugas menjadi tim tari, tim dongeng, dan tim dokumentasi.
Mereka mulai berkeliling ke berbagai dusun terpencil, membawa selendang, alat musik sederhana, dan senyum. Di setiap tempat, mereka membuka kelas mini, mengajarkan tari tradisi dan nilai-nilai budaya lokal. Kadang hanya beberapa anak yang ikut, kadang sampai puluhan.
Di Dusun Gumuk Rejo, seorang anak laki-laki bernama Raka yang awalnya malu-malu, tiba-tiba mengangkat tangan saat Zahira bertanya siapa yang ingin menari di depan.
“Aku, Bu,” katanya pelan.
Zahira tersenyum, menyerahkan selendang merah kecil.
“Kalau begitu, tunjukkan dari hatimu.”
Raka menari dengan gerakan kaku tapi penuh semangat. Wajah-wajah warga yang tadinya ragu berubah menjadi bangga. Seorang bapak berdiri dan berkata,
“Saya pikir tari itu hanya untuk perempuan. Tapi ternyata, tari itu milik semua yang punya cinta.”
Zahira terharu.
Itulah misi sesungguhnya: menyalakan api kecil di hati yang nyaris padam, agar kembali menyala.
Malam hari, Zahira dan timnya beristirahat di balai dusun. Mereka menggelar tikar dan makan bersama. Sambil menikmati nasi jagung dan tempe hangat, Zahira menatap langit yang penuh bintang.
“Lihat,” ucap Arum pelan, menunjuk bintang paling terang.
“Itu pasti Nenek Fransiska sedang menari di langit.”
Zahira tersenyum.
“Mungkin ia sedang menaburkan cahaya agar jalan kita tetap terang.”
Semua terdiam sejenak, lalu tertawa pelan. Ada kehangatan di antara mereka yang tak bisa digantikan.
Keesokan paginya, Zahira menulis di buku hariannya:
“Satu tarian bisa menggetarkan panggung. Tapi seribu hati yang menyala karena cinta budaya bisa mengubah dunia. Dan aku percaya, setiap selendang yang menari adalah doa untuk tanah ini.”
Program “Tari dari Hati” terus berkembang. Bahkan kini beberapa pemuda desa mulai mengajar sendiri, membuat kelompok tari mandiri. Zahira tidak lagi menjadi satu-satunya cahaya, karena ia telah membagi nyala itu ke banyak hati.
Dan setiap langkah yang mereka ayunkan… selalu ada jejak nenek Fransiska di dalamnya.
=================================================================
Garahan, 29 Mei 2025 / Kamis, 01 Dzulhijjah 1446 H, 09.22 WIB
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar