Jumari Tito, S.Pd, M. Pd

Guru Madrasah Ibtidaiyah mempunyai impian sukses menjadi guru dunia akhirat email jumaritito1976gmailcom FB Jumari Tito Galing IG Jumari Tito Tiktok Gur

Selengkapnya
Navigasi Web
Selendang merah sang Nenek (T.463)

Selendang merah sang Nenek (T.463)

Bab 21 – Kiriman Surat dari Jakarta

Seminggu setelah Festival Budaya Anak Nusantara, Zahira duduk di beranda rumah sambil menyortir dokumentasi acara. Di sampingnya, selendang merah terlipat rapi, masih membawa aroma bunga kenanga yang ia taburkan malam itu. Senyumnya belum juga pudar kenangan festival seperti film yang terus berputar di kepalanya.

Tiba-tiba suara sepeda motor Pak Pos terdengar. Zahira bangkit menyambutnya.

“Paket untuk Mbak Zahira!” seru Pak Pos sambil menyerahkan sebuah amplop besar bersegel resmi.

Zahira menerima amplop itu dengan penasaran. Di pojok kiri atas tertulis: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia – Jakarta.

Jantungnya berdegup cepat.

Di dalam rumah, Zahira membuka amplop dengan hati-hati. Isinya bukan hanya satu surat, tapi beberapa dokumen lengkap. Di atas kertas berkepala logo garuda, terdapat tulisan tebal:

"Undangan Resmi: Festival Budaya Anak Nusantara Tingkat Nasional"

Zahira membaca perlahan. Surat itu menyampaikan bahwa kegiatan Festival Budaya Anak Nusantara yang digagasnya telah menarik perhatian kementerian. Video festival yang diunggah oleh Dani menjadi viral dan menuai banyak respons positif. Karena itu, kementerian ingin mengundang Zahira untuk menghadiri dan menjadi pembicara utama dalam acara pertemuan nasional pelaku pendidikan budaya anak, serta… membawa perwakilan anak-anak dari desanya untuk tampil di Jakarta!

Tangannya gemetar. Mulutnya terbuka, tak percaya. Ia menoleh pada selendang merah, lalu memeluknya erat.

“Nek… kita akan ke Jakarta…”

Keesokan harinya, Zahira mengumpulkan anak-anak yang menjadi bagian tim tari. Mereka duduk melingkar di pendapa balai desa, menunggu Zahira berbicara. Mata mereka penuh tanya.

“Ada kabar gembira,” ujar Zahira sambil mengangkat surat undangan.

“Kita diundang ke Jakarta!”

Suasana seketika heboh. Anak-anak bersorak, saling memeluk, bahkan ada yang langsung menari spontan. Raka melompat kecil,

“Beneran, Kak Zahira? Jakarta? Ibukota itu?” Zahira mengangguk.

“Iya, Raka. Kita akan tampil di depan banyak orang dari seluruh Indonesia. Tapi… hanya bisa membawa lima anak mewakili kita semua.”

Suasana jadi sedikit sunyi. Zahira segera menambahkan,

“Tapi yang ikut bukan yang terbaik, tapi yang paling siap. Siap untuk menjaga budaya kita, siap membagikan cerita kita ke seluruh negeri.”

Selama dua minggu berikutnya, Zahira dan Arum mengadakan latihan intensif dan pembinaan karakter. Mereka ingin yang berangkat ke Jakarta benar-benar paham makna di balik setiap gerak tari dan sejarah budaya yang mereka bawa. Zahira juga mengajak anak-anak menulis cerita pribadi mereka tentang bagaimana budaya telah mengubah hidup mereka.

Dani dan tim dokumentasi mempersiapkan video pendek berjudul "Jejak Selendang Merah", yang akan ditampilkan sebagai pengantar penampilan mereka di Jakarta.

Sementara itu, warga desa bergotong royong menyiapkan seragam, bekal makanan, dan bahkan patungan biaya tambahan agar anak-anak bisa berangkat dengan nyaman. Bagi mereka, keberangkatan ke Jakarta bukan hanya milik lima anak itu tapi milik seluruh desa.

Beberapa hari sebelum keberangkatan, Zahira berdiri di depan cermin, mengenakan kebaya putih dan selendang merah. Ia menarik napas dalam.

Hari itu ia juga menerima pesan suara dari seorang tokoh budaya senior dari kementerian.

“Zahira, kau bukan hanya mengajarkan tari, tapi menghidupkan harapan. Jakarta menantimu.”

Zahira menutup ponsel, memandang ke langit.

“Nek… kita akan melangkah lebih jauh. Tapi aku tahu, engkau tetap di sini, menari dalam langkahku.”

Saat fajar menyingsing di hari keberangkatan, seluruh desa berkumpul di balai desa. Anak-anak yang terpilih Anis, Faida, Sahil, Azka, dan Dila berdiri di depan semua warga, mengenakan baju adat mereka masing-masing. Zahira memberi mereka potongan kecil dari selendang merah sebagai tanda bahwa mereka membawa semangat desa ke ibu kota.

Tangis dan tawa menyatu di pagi yang penuh haru itu. Zahira memeluk para orang tua satu per satu, lalu melangkah naik ke mobil bersama anak-anaknya.

Mobil perlahan bergerak meninggalkan desa, diiringi kibasan tangan warga yang melepas dengan bangga.

Dan di kaca jendela belakang, Zahira menempelkan selendang merah melambai pada semua mimpi yang tertinggal untuk dibawa ke langit yang lebih luas.

=================================================================

Garahan, 31 Mei 2025 / Sabtu, 03 Dzulhijjah 1446 H, 10.06 WIB

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap surantap Mas ustadz. Sukses selalu

31 May
Balas

Saya suka ilustrasi gambarnya. Setiap naskah Mas ustadz ilustrasi gambarnya keren menewen. Ajarin kita donk... Hehe. Seriussss.

31 May

Alhamdulillah kalau bisa membuka wawasan mas ustadz, untuk membuat ilustrasi gambar tergantung pada prompt nya, masukkan ke aplikasi art komik atau ke chat gpt, misalnya promptnya buatkan. Ilustrasi gambar versi komik dengan latar belakang seperti ini dan bla....bla....blaaa, tunggulah sesaat kemudian maka ilustrasi gambar tersebut sesuai apa yang kita perintahkan mas ustadz.

31 May

Duuhh...oma seakan ada di dlm crt. Benar2 jd tokohnya. Sayangnya oma sdh berpuluh th tak lg menari spt dulu.

31 May
Balas

Lho oma senang nari juga?

31 May



search

New Post