Jumari Tito, S.Pd, M. Pd

Guru Madrasah Ibtidaiyah mempunyai impian sukses menjadi guru dunia akhirat email jumaritito1976gmailcom FB Jumari Tito Galing IG Jumari Tito Tiktok Gur

Selengkapnya
Navigasi Web
Selendang merah sang Nenek (T.464)

Selendang merah sang Nenek (T.464)

Bab 22 – Selendang di Ibukota

Kereta api Argo Bromo Anggrek meluncur cepat meninggalkan stasiun Jember, membawa rombongan kecil dari desa kecil di lereng gunung menuju jantung ibu kota. Di salah satu gerbongnya, Zahira duduk di samping anak-anak dampingan yang tak berhenti mengagumi pemandangan dari balik jendela.

“Lihat… gedung-gedung tinggi mulai kelihatan!” seru Reni dengan mata berbinar.

Zahira tersenyum, lalu menggenggam selendang merah di dalam tasnya. Warna merahnya seolah menyala dalam hatinya, menandai bahwa setiap langkah yang mereka ambil adalah jejak perjuangan yang dimulai dari cinta, dari rumah, dari nenek Fransiska.

Setibanya di Jakarta, rombongan disambut oleh panitia dari Kementerian. Mereka dijemput dengan bus khusus dan diantar ke penginapan di bilangan Cikini. Anak-anak tak berhenti bertanya, menunjuk gedung pencakar langit dan lalu lintas padat yang menjadi pemandangan baru bagi mereka.

Sore harinya, mereka diajak mengunjungi gedung kementerian. Di sana, Zahira bertemu langsung dengan pejabat Direktorat Kebudayaan dan beberapa tokoh penting dari komunitas pelestari budaya anak.

“Zahira,” kata salah satu pejabat senior sambil menyalami hangat,

“cerita kalian menyentuh kami. Kalian bukan hanya membawa tarian, tapi membawa jiwa dari akar budaya kita.”

Zahira menunduk rendah,

“Kami hanya ingin agar anak-anak mengenal siapa dirinya… lewat warisan yang tidak ternilai.”

Keesokan paginya, anak-anak memulai gladi resik di panggung utama Teater Ismail Marzuki. Lampu sorot, suara gamelan yang direkam dari desa mereka, dan tarian kolaboratif yang dikembangkan Zahira menjadi suguhan yang menggugah.

Koreografi mereka diberi judul: “Tarian Selendang Kenangan”, menceritakan kisah Zahira kecil bersama sang nenek Fransiska, tentang selendang merah yang menghidupkan kembali semangat kampung halaman.

Raka memerankan Zahira kecil, sedang Aini memerankan sosok sang nenek Fransiska. Gerak lambat dan lembut diiringi suara narasi Zahira membuat siapa pun yang melihatnya ikut terhanyut.

Malam hari, suasana aula besar dipenuhi para guru, seniman, peneliti, dan anak-anak dari berbagai daerah di Indonesia. Ketika giliran tim Zahira tampil, lampu panggung diredupkan. Suara narasi mengalun:

“Di balik sehelai selendang, tersimpan cinta yang tak lapuk oleh waktu. Selendang itu membisikkan warisan: bahwa menari adalah menyatu dengan bumi, mengenal leluhur, dan mencintai tanah air…”

Tepuk tangan menggema ketika tarian usai. Zahira berdiri di belakang panggung, menatap anak-anak yang tersenyum sambil menahan tangis bahagia. Ia tahu, ini bukan sekadar penampilan ini adalah wujud nyata dari janji yang ia ikrarkan bersama sang nenek Fransiska: menjaga budaya, dan menumbuhkannya kembali dari tanah yang hampir gersang.

Setelah pertunjukan, Zahira mendapat kesempatan tampil di panggung bersama dua tokoh budaya senior. Dalam sesi dialog, ia menceritakan perjalanan dari desanya yang sunyi hingga bisa berdiri di panggung ibu kota.

Seorang peserta bertanya,

“Apa yang membuatmu terus berjalan, Zahira, meski banyak tantangan?”

Zahira tersenyum.

“Karena saya percaya… di setiap gerak tari ada doa. Dan doa nenek Fransiska saya terus menari dalam langkah saya.”

Malam itu, di balkon penginapan, Zahira berdiri sendiri memandangi langit Jakarta yang bertabur lampu kota. Ia mengeluarkan selendang merah dari tas, lalu menyampirkannya di bahu.

“Selendang ini sudah tiba, Nek. Bersamaku.”

Angin malam berhembus, seolah membawa bisikan hangat dari masa lalu.

Dan di kejauhan, Jakarta tampak tak lagi sebesar dulu. Zahira tahu, kota ini kini telah menyambut budaya yang datang dari desa dengan bangga.

=================================================================

Garahan, 01 Juni 2025 / Ahad Wage, 04 Dzulhijjah 1446 H, 15.42 WIB

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren menewen Mas ustadz. Sukses selalu

02 Jun
Balas

Terima kasih mas ustadz, sudah dicoba cara membuat gambar?

02 Jun



search

New Post