Selendang merah sang Nenek (T.467)
Bab 24 – Surat dari Menteri
Pagi itu, suasana di Sanggar Anak Langit begitu tenang namun penuh harap. Zahira tengah menata ulang ruang latihan, memastikan setiap sudut dipenuhi oleh semangat dan kenangan. Di dinding ruang, terbingkai foto-foto kegiatan, serta sebuah bingkai khusus yang memajang selendang merah peninggalan nenek Fransiska.
Tak lama kemudian, seorang kurir dinas dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan datang dengan sebuah amplop mewah berwarna putih bersih, bergaris emas. Zahira menerima amplop itu dengan tangan gemetar dan hati yang berdebar. Di bagian depan tertulis jelas:
“Kepada Ibu Zahira Flow Miller, Melalui Undangan Resmi, Dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.”
Zahira segera membukanya di ruang kerjanya yang sederhana. Isinya ternyata bukan hanya sebuah undangan, tetapi juga surat resmi yang dilengkapi dokumen pendukung. Dengan suara lirih, ia mulai membaca:
“Dengan penuh kebanggaan, kami mengundang Ibu Zahira Flow Miller untuk menjadi Pembicara Utama dalam Forum Budaya Anak Nasional yang akan diselenggarakan di Jakarta. Program ini bertujuan untuk mengintegrasikan warisan budaya lokal ke dalam kurikulum pendidikan di seluruh Indonesia. Kami sangat terinspirasi oleh kisah dan dedikasi Ibu dalam memajukan seni tradisional melalui program ‘Tari dari Hati.’”
“Selain itu, kami bermaksud mengangkat cerita Ibu sebagai contoh nyata bagaimana budaya dapat menggerakkan semangat dan mempersatukan generasi muda. Kami berharap Ibu dapat berbagi pengalaman, strategi, dan visi dalam membangun program budaya berbasis sekolah yang telah membawa dampak positif pada masyarakat.”
“Kami juga berencana mengabadikan momen ini melalui dokumentasi resmi yang akan ditayangkan di media nasional dan internasional. Semoga surat ini menjadi awal dari babak baru dalam perjalanan penguatan budaya bangsa.”
“Atas perhatian dan dedikasi Ibu, kami ucapkan terima kasih dan selamat melanjutkan perjuangan.”
Hormat kami,
Dr. Raden Ayu Sari, M.Sc

Zahira terdiam. Ia menatap surat itu berulang kali, seolah mencoba memahami betapa perjalanan yang dimulai dari sebuah desa kecil telah membawa namanya ke tingkat yang lebih tinggi. Air mata haru pun mengalir perlahan di pipinya.
Sesaat kemudian, Ibu Kepala Sekolah dan beberapa relawan dari sanggar datang menanyakan kabar. Zahira, masih terpesona, meyakinkan mereka bahwa undangan ini adalah bukti bahwa perjuangan bersama selama ini tidak sia-sia.
“Ini bukan hanya milikku, tapi milik kita semua. Cerita kita telah menginspirasi banyak orang di luar sana,” ujarnya sambil tersenyum.
Malam itu, dalam pertemuan rutin di balai desa, Zahira membacakan surat tersebut kepada seluruh warga dan anak-anak. Suasana ruangan pun berubah khidmat. Warga desa, para guru, orang tua, dan anak-anak mendengarkan dengan seksama setiap kata. Seorang bapak tua pun berbisik,
“Anakku, lihatlah, nenek Fransiska sudah bangga. Mimpi nenek Fransiska kita telah terwujud di luar sana.”
Setelah pembacaan surat, diskusi pun mengalir tentang apa yang bisa dilakukan untuk memanfaatkan momentum ini. Zahira mengusulkan agar sanggar membuka kelas-kelas khusus untuk mendampingi anak-anak yang berminat mengembangkan bakatnya di bidang budaya.
“Kita harus memastikan pesan yang kita bawa tetap hidup dan terus berkembang. Forum di Jakarta nanti akan menjadi ajang untuk berbagi strategi, mencari rekan, dan tentu saja menebar inspirasi di sekolah-sekolah seluruh negeri,” jelasnya.
Selama beberapa hari berikutnya, persiapan dilakukan dengan penuh semangat. Para anak di sanggar dilatih untuk memberikan presentasi singkat tentang pengalaman mereka, serta menyiapkan pertunjukan budaya yang telah menjadi andalan. Zahira pun bekerja sama dengan relawan untuk menyusun materi dan video dokumentasi yang menceritakan jejak perjalanan mereka dari desa menuju panggung nasional.
Di sela-sela kesibukan, Zahira tak lupa mengunjungi makam nenek Fransiskanya. Di sana, ia meletakkan setangkai bunga melati dan beberapa helai kain selendang yang sudah tak lagi dipakai.
“Nenek Fransiska, ini untuk Ibu. Aku akan terus menari dan mengajarkan anak-anak agar warisanmu tak pernah padam,” bisiknya penuh haru.
Keesokan harinya, sambutan di sanggar sungguh luar biasa. Warga mengumpulkan doa, dan anak-anak membuat poster bertuliskan “Dari Desa untuk Bangsa.” Dengan penuh harapan dan semangat, Zahira menatap ke masa depan sebuah masa di mana cerita sederhana tentang selendang merah sang nenek Fransiska telah menginspirasi ribuan hati.
Saat malam menjelang, di balik jendela kecil ruang kerjanya, Zahira menatap surat yang masih tergeletak di atas meja. Ia tahu, perjalanan baru telah dimulai. Dan di dalam hati, ia berjanji akan terus menggerakkan api budaya, agar selendang itu senantiasa menari dalam setiap langkah generasi mendatang.
=================================================================
Garahan, 03 Juni 2025 / Selasa Legi, 06 Dzulhijjah 1446 H, 07.45 WIB
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar