Jumari Tito, S.Pd, M. Pd

Guru Madrasah Ibtidaiyah mempunyai impian sukses menjadi guru dunia akhirat email jumaritito1976gmailcom FB Jumari Tito Galing IG Jumari Tito Tiktok Gur

Selengkapnya
Navigasi Web
Selendang merah sang Nenek (T.469)

Selendang merah sang Nenek (T.469)

Bab 27 – Tarian Terakhir di Rumah Kayu

Rumah kayu di tepi hutan Lembah itu berdiri tenang seperti biasa. Angin pagi menggerakkan tirai jendela dengan lembut. Aroma kayu yang khas masih memenuhi setiap sudut, mengingatkan Zahira pada pelukan nenek Fransiskanya yang hangat dan sabar. Rumah itu telah menjadi saksi dari setiap awal dan kini, mungkin juga menjadi tempat mengakhiri sebuah bab dalam hidupnya.

Dua hari setelah Festival Budaya, Zahira datang ke rumah nenek Fransiska sendirian. Ia membawa dua benda: selendang merah milik nenek Fransiska dan sebuah bingkai foto yang berisi potret mereka berdua tertawa di kebun belakang dengan pipi berlumur tepung saat membuat kue cucur bersama.

Zahira membuka pintu perlahan. Lantainya berderit pelan, seolah menyapa. Semua masih sama: kursi rotan di sudut ruang tamu, meja kecil dengan taplak rajutan nenek Fransiska, dan rak buku tempat nenek Fransiska menyimpan kumpulan cerita rakyat Jawa.

Namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Zahira datang dengan maksud. Ia ingin mempersembahkan tarian terakhir bukan di atas panggung, bukan di depan penonton melainkan di hadapan kenangan. Tarian untuk nenek Fransiska, di tempat segalanya bermula.

Ia berjalan ke ruang tengah, membuka jendela lebar-lebar. Cahaya matahari pagi masuk menyinari lantai kayu, menciptakan panggung kecil di tengah ruangan. Ia mengenakan kebaya putih sederhana dan kain batik dengan corak parang. Selendang merah itu dililitkan di pinggang, lalu digenggam ujungnya dengan lembut.

Zahira berdiri diam, menarik napas dalam-dalam. Di dalam benaknya, ia memutar kembali semua yang pernah terjadi: saat pertama kali menari bersama nenek Fransiska, saat ia hampir menyerah, saat desa meragukannya, hingga saat ia menari di Jakarta.

Musik gamelan seakan hidup dalam hatinya. Ia mulai bergerak perlahan. Jemarinya menari di udara, mengukir cerita tentang cinta, perjuangan, dan pengorbanan. Kakinya menyapu lantai dengan irama yang teratur, menyatu dengan desir angin yang masuk lewat jendela.

Setiap gerakannya adalah doa. Setiap putarannya adalah kenangan. Tarian itu bukan lagi sekadar koreografi. Ia adalah bahasa jiwa, ungkapan terima kasih, dan ungkapan rindu yang tak terucap.

“Nek, ini untukmu... untuk semua pelajaran, kasih sayang, dan semangat yang tak pernah padam.”

Air mata mengalir di pipi Zahira, tapi ia terus menari. Di akhir tarian, ia menjatuhkan diri ke lantai dengan posisi bersimpuh, selendang merah terbuka di hadapannya seperti persembahan. Ia menunduk lama, membiarkan dirinya larut dalam keheningan.

Saat ia mengangkat wajah, ada seseorang yang berdiri di ambang pintu.

Itu Bu Ratmi, guru tari dari sekolah dasar Zahira dulu. Wajahnya tersenyum haru, matanya berkaca-kaca.

“Maaf, Zahira... aku tidak sengaja melihat dari luar. Tapi... tarianmu barusan sungguh indah. Nenek Fransiskamu pasti bangga.”

Zahira tersenyum kecil sambil menghapus air matanya. Ia mempersilakan Bu Ratmi masuk. Mereka duduk berdua di tikar tua, menikmati teh hangat yang Zahira siapkan sebelumnya.

“Aku selalu ingin kembali ke sini,” kata Zahira pelan. “Tapi rasanya sulit. Terlalu banyak kenangan.”

“Rumah ini punya ruh, Zahira. Dan kamu sudah menghidupkannya kembali,” jawab Bu Ratmi sambil menggenggam tangan Zahira erat. “Kamu tahu? Tarian barusan bukan hanya penghormatan untuk nenek Fransiskamu. Tapi juga untuk semua perempuan desa yang pernah dilupakan, yang semangatnya tak pernah mati.”

Zahira menatap selendang merah yang kini tergeletak di atas tikar.

“Aku ingin rumah ini jadi sanggar,” katanya tiba-tiba. “Sanggar kecil yang terbuka untuk siapa saja. Anak-anak, ibu-ibu, bahkan nenek Fransiska-nenek Fransiska. Siapa saja yang ingin mengenal budaya dan menari dengan hati.”

Bu Ratmi terdiam, lalu tersenyum lebar. “Itu ide paling indah yang pernah aku dengar.”

Hari itu, mereka mulai menulis rencana di atas kertas: nama sanggar, jadwal latihan, jenis tarian yang akan diajarkan, hingga bagaimana melibatkan warga sekitar.

Zahira menamai sanggar itu “Selendang Merah” setelah beberapa kali diganti nama, sebagai simbol perjalanan, cinta, dan semangat yang diwariskan turun-temurun.

Minggu-minggu berikutnya, rumah kayu yang dulunya sepi kini kembali hidup. Anak-anak datang selepas sekolah, membawa semangat dan tawa. Lantai kayu yang dulu sunyi kini kembali dipenuhi jejak kaki kecil yang menari. Dinding rumah dihiasi hasil karya seni, dari lukisan, topeng wayang, hingga foto-foto nenek Fransiska Zahira yang menggantung manis.

Zahira tak lagi merasa sendiri. Ia tahu, di setiap gerakan anak-anak itu, ada jejak langkah nenek Fransiskanya yang dulu selalu membimbing.

Dan di malam hari, sebelum tidur, ia masih kerap berdiri di tengah ruang itu, menggenggam selendang merah dan menari perlahan dalam sunyi.

Karena tarian yang berasal dari hati… akan selalu menemukan jalannya.

===================================================================

Garahan, 05 Juni 2025 / Kamis Pon, 08 Dzulhijjah 1446 H, 07.58 WIB

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Analisa yg tepat. Segala sesuatu yang lahir atau disertai dengan hati, memberi dampak positif. Sukses.

06 Jun
Balas

Benar sekali Ambu, jika melakukan sesuatu dengan hati insyaallah berdampak kelapangan pikiran dan ikhlas yang tinggi, salam sukses Ambu.

06 Jun



search

New Post