Jumari Tito, S.Pd, M. Pd

Guru Madrasah Ibtidaiyah mempunyai impian sukses menjadi guru dunia akhirat email jumaritito1976gmailcom FB Jumari Tito Galing IG Jumari Tito Tiktok Gur

Selengkapnya
Navigasi Web
Selendang merah sang Nenek (T.470)

Selendang merah sang Nenek (T.470)

Bab 28 – Surat dari Langit

Pagi itu, Zahira sedang membersihkan lemari tua di kamar nenek Fransiska. Ia hendak menatanya agar bisa difungsikan sebagai tempat menyimpan perlengkapan tari anak-anak di sanggar “Selendang Merah.” Di antara tumpukan kain batik yang harum oleh kapur barus, tangannya menyentuh sesuatu yang berbeda sebuah amplop cokelat tua, diselipkan di balik lipatan kebaya putih yang dulu sering dikenakan nenek Fransiska.

Dengan hati-hati Zahira menariknya keluar. Di pojok kanan atas, tertulis dengan huruf miring yang amat ia kenal: tulisan tangan nenek Fransiska.

Untuk Zahira, cucu tercintaku. Jangan dibuka sebelum kau siap menari dengan hatimu sepenuhnya.Nenek Fransiska

Tangan Zahira bergetar. Ia menggigit bibir, menahan haru. Nenek Fransiska telah pergi beberapa bulan lalu, namun suaranya seolah masih begitu dekat mengalun bersama angin, menyusup lewat kenangan, dan kini... lewat sepucuk surat.

Zahira membuka amplop itu perlahan. Kertasnya sudah menguning, tapi tulisannya tetap jelas:

Kepada Zahira, anak yang selalu membuat nenek Fransiska bangga,

Jika kamu membaca surat ini, mungkin nenek Fransiska sudah tidak di dunia ini. Tapi jangan sedih, Nak. Nenek Fransiska tidak pernah benar-benar pergi. Nenek Fransiska selalu ada dalam gerak kakimu, dalam tarianmu, dan dalam semangatmu untuk menjaga budaya yang kita cintai.

Zahira, kamu pasti sudah menjalani banyak hal. Mungkin kamu sudah pernah menangis, tertawa, jatuh, dan bangkit kembali. Tapi nenek Fransiska yakin, kamu tidak pernah benar-benar menyerah. Itulah kamu anak yang tumbuh dari cinta dan keberanian.

Masih ingat saat pertama kali kamu menari? Kamu menangis karena merasa gerakanmu tidak indah. Tapi nenek Fransiska bilang,

“Menari bukan tentang sempurna. Menari adalah tentang bercerita.” Dan kamu, Zahira, adalah penari yang membawa cerita dari tanah, dari leluhur, dari perempuan yang tak pernah terdengar suaranya.

Selendang merah itu... bukan hanya kain. Ia adalah warisan. Bukan karena nilainya mahal, tapi karena ia menyimpan jejak perjalanan dari nenek Fransiska buyutmu, ke nenek Fransiskamu, lalu ke kamu. Ia adalah lambang kekuatan dan cinta. Gunakanlah dengan hormat, dan ajarkan anak-anak kelak untuk menghargainya.

Jika kamu sudah memutuskan untuk kembali ke rumah kayu kita, mendirikan sanggar, dan mengajar anak-anak menari, maka ketahuilah... kamu sudah menjadi perempuan yang nenek Fransiska impikan.

Zahira, teruslah menari dengan hati. Jangan takut berjalan sendiri. Dunia mungkin akan ragu padamu, tapi nenek Fransiska percaya: kamu akan membawa cahaya.

Dengan seluruh cinta, Nenek Fransiska

Zahira tak mampu menahan tangisnya. Ia memeluk surat itu erat-erat, seolah nenek Fransiska benar-benar berada di hadapannya. Semua kalimat dalam surat itu terasa hidup, seakan ditulis hanya kemarin, seakan nenek Fransiska masih menunggu di dapur dengan wedang jahe dan senyuman hangat.

“Aku sudah menari dengan hatiku, Nek,” bisiknya lirih.

“Dan aku akan terus menari. Untukmu.”

Hari itu, Zahira menaruh surat tersebut dalam bingkai kaca dan menggantungkannya di dinding ruang utama sanggar, tepat di atas tempat ia dan anak-anak sering berlatih. Surat itu menjadi semacam jimat, sumber semangat, dan pengingat bahwa perjuangan budaya bukanlah pekerjaan sehari dua hari tapi warisan yang harus dijaga seumur hidup.

Di minggu berikutnya, sanggar “Selendang Merah” menerima undangan dari Dinas Kebudayaan Kabupaten untuk tampil di Festival Seni Tradisi di kota. Zahira sempat ragu ia takut anak-anak belum siap. Namun, ia teringat pesan nenek Fransiska: “Jangan menunggu sempurna untuk mulai. Mulailah, dan kesempurnaan akan datang sebagai berkah dari keberanianmu.”

Malam sebelum keberangkatan, Zahira berdiri di tengah ruang sanggar. Ia mengenakan kembali selendang merah, lalu memimpin doa bersama anak-anak.

“Kita menari bukan untuk menang,” katanya pelan, “tapi untuk menyampaikan cerita. Cerita tentang kita, tentang nenek Fransiska-nenek Fransiska kita, dan tentang tanah yang kita cintai.”

Anak-anak mengangguk. Mereka tak hanya berlatih gerakan, tapi juga mempelajari makna di balik setiap tarian. Mereka tahu, yang mereka bawa bukan hanya hiburan, tapi jiwa dari sebuah warisan.

Di panggung festival itu, anak-anak sanggar “Selendang Merah” menampilkan tarian berjudul "Surat dari Langit" tarian yang dirancang Zahira berdasarkan isi surat nenek Fransiska. Gerakannya lembut, melambai, namun tegas. Penonton terdiam, lalu perlahan meneteskan air mata. Tidak sedikit dari mereka yang berdiri memberi tepuk tangan meriah saat tarian usai.

Zahira berdiri di belakang panggung, memeluk selendang merahnya. Di dalam hatinya, ia berkata:

“Lihat, Nek... kita tidak pernah benar-benar berpisah. Dan selama aku menari, selama anak-anak ini terus belajar, namamu akan tetap hidup.”

================================================================

Garahan, 06 Juni 2025 / Jum'at Wage, 09 Dzulhijjah 1446 H, 19.58 WIB (Idul Adha 1446 H)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Duhhh...sampai ke hati nih crt nya. Sukses lah terus, Zahira

09 Jun
Balas



search

New Post