Jumari Tito, S.Pd, M. Pd

Guru Madrasah Ibtidaiyah mempunyai impian sukses menjadi guru dunia akhirat email jumaritito1976gmailcom FB Jumari Tito Galing IG Jumari Tito Tiktok Gur

Selengkapnya
Navigasi Web
Selendang merah sang Nenek (T.472)

Selendang merah sang Nenek (T.472)

Bab 30 – Jejak yang Tak Pernah Padam

Mentari pagi muncul perlahan dari balik gunung Raung, menyinari dedaunan dan bunga-bunga yang bermekaran di Taman untuk Nenek Fransiska. Angin berhembus lembut, membawa aroma kenanga dan melati. Taman itu kini menjadi detak jantung desa, tempat semua usia bertemu berbagi cerita, menari, bernyanyi, dan menanam harapan.

Zahira duduk di panggung bambu kecil di tengah taman, mengenakan kebaya warna lembut dan selendang merah di bahunya. Hari itu istimewa peringatan satu tahun wafatnya nenek Fransiska. Tapi Zahira memilih untuk tidak meratap, melainkan merayakan warisan yang telah nenek Fransiska tinggalkan: cinta, budaya, dan keberanian.

Di tangannya, ada buku catatan kecil milik nenek Fransiska yang kini mulai menguning. Isinya bukan hanya resep jamu dan catatan tari, tapi juga petuah-petuah hidup, puisi tentang alam, dan doa-doa sederhana. Zahira membacanya dalam hati, seolah mendengar suara nenek Fransiska membisikkan nasihat seperti dulu.

“Hari ini,” Zahira berdiri dan berseru di depan anak-anak sanggar dan warga desa, “kita akan menggelar Pentas Jejak Tradisi. Bukan hanya untuk mengenang nenek Fransiska, tapi untuk merayakan siapa kita.”

Anak-anak bersorak riang.

Sejak seminggu sebelumnya, mereka berlatih intens. Ada tarian dari berbagai daerah yang akan ditampilkan: Tari Saman dari Aceh, Tari Piring dari Sumatera Barat, Tari Kecak dari Bali, hingga kreasi baru dari Zahira sendiri yang memadukan unsur gerak, pantun, dan cerita rakyat lokal.

Panggung bambu dihias dengan anyaman janur dan bunga segar. Lampu-lampu kecil yang digantung di pepohonan menyala lembut ketika senja tiba. Warga berdatangan membawa tikar, makanan, dan semangat gembira.

Pertunjukan dimulai.

Tari-tarian bergantian tampil. Anak-anak menari dengan semangat, wajah mereka berseri, gerakan mereka penuh percaya diri. Zahira duduk di sisi panggung, menatap satu per satu muridnya seperti nenek Fransiska dulu menatapnya: dengan bangga, penuh harap.

Saat pertunjukan hampir usai, Zahira naik ke panggung. Semua mata tertuju padanya. Ia berdiri sejenak, menarik napas panjang, lalu memulai:

“Dulu, seorang nenek Fransiska mengajarku menari bukan untuk lomba atau tepuk tangan. Tapi karena dalam tiap gerakan, ada kisah. Dalam tiap hentakan kaki, ada tanah yang bicara. Dan dalam tiap kibasan selendang, ada angin sejarah yang tak boleh hilang…”

Anak-anak di sekelilingnya terdiam, terpesona. Malam itu Zahira menarikan Tari Selendang Merah, tarian baru yang ia ciptakan khusus untuk menutup pergelaran.

Gerakannya lembut namun kuat. Selendang merah di tangannya berkibar seperti api yang tak padam. Ia menari mengelilingi taman, menghampiri patung nenek Fransiska dan berlutut di depannya, lalu berdiri kembali dengan kepala tegak, seolah berkata:

“Lihat, Nek. Aku melanjutkan jejakmu.”

Setelah pertunjukan usai, para warga satu per satu menyalami Zahira.

“Terima kasih, Zahira… kami jadi ingat lagi betapa berharganya budaya kita,” ucap Pak Lurah.

“Ibu saya dulu penari, tapi saya malu mengakuinya. Sekarang saya bangga,” kata seorang pemuda sambil menahan haru.

Dan anak-anak? Mereka berlarian di taman sambil menirukan gerakan tari. Tawa mereka menyatu dengan suara angin, menciptakan simfoni kecil yang menyentuh.

Zahira duduk di bawah pohon kenanga. Ia memandang langit malam yang bertabur bintang.

“Nek… jejakmu tak pernah padam. Kini aku tahu, cinta pada budaya bukanlah sesuatu yang selesai dalam satu generasi. Ia harus diteruskan, dihidupkan, dan ditanam… seperti bunga-bunga ini.”

Tiga bulan kemudian, Zahira mendapat kabar: taman budaya mereka masuk nominasi Anugerah Warisan Budaya Muda Nusantara. Bukan karena kemegahannya, tapi karena semangat kolaboratif dan kesederhanaannya yang menghidupkan kembali warisan desa.

Namun bagi Zahira, penghargaan bukanlah tujuannya.

Tujuannya adalah agar suatu hari, ketika ia telah tua dan rambutnya memutih, ia bisa duduk di bangku taman itu, menyaksikan anak-anak menari dengan riang, dan berkata dalam hati:

“Semua ini bermula dari seorang nenek Fransiska... dan selendang merahnya.”

TAMAT

=============================================================

Garahan, 08 Juni 2025 / Ahad Legi, 11 Dzulhijjah 1446 H, 09.09 WIB

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ceritanya bagus banget. Salam sukses

08 Jun
Balas

Terima kasih Opa

09 Jun

Aminnn....oma jd terharu banget, ni. Sukses unt semua tokoh, crt, dan penulisnya.

08 Jun
Balas

Terima kasih Oma, Salam bahagia dari Cucu di Jember

08 Jun

Ceritanya menarik, ditunggu cerita berikutnya Pak

08 Jun
Balas

Terima kasih Pak Senior atas apresiasinya, bagaimana kabarnya?

08 Jun

MasyaAllah cerita yang menginspirasi. Lanjut cerita lainnya Mas. Keren.

08 Jun
Balas

Ambu Zam-zam, semoga menjadi kenangan tak terlupakan dalam kisah ini. salam bahagia selalu

08 Jun



search

New Post