Jumari Tito, S.Pd, M. Pd

Guru Madrasah Ibtidaiyah mempunyai impian sukses menjadi guru dunia akhirat email jumaritito1976gmailcom FB Jumari Tito Galing IG Jumari Tito Tiktok Gur

Selengkapnya
Navigasi Web
Selendang merah sang Nenek (T.471)

Selendang merah sang Nenek (T.471)

Bab 29 – Taman untuk Nenek Fransiska

Langit pagi itu berwarna biru pucat, menyambut Zahira dan anak-anak sanggar dengan angin sejuk yang mengalir dari lereng bukit. Sanggar "Selendang Merah" kini tak hanya hidup sebagai tempat berlatih, tapi menjadi pusat semangat baru di desa. Sejak penampilan mereka di Festival Seni Tradisi, banyak anak yang mendaftar untuk belajar menari. Tak hanya itu, para orang tua mulai ikut serta, mengajarkan gamelan, membuat kostum, bahkan membacakan cerita rakyat saat istirahat latihan.

Namun Zahira masih merasa ada yang belum lengkap.

Di belakang sanggar, ada sebidang tanah yang dulu menjadi kebun bunga milik nenek Fransiska. Kini, tanah itu ditumbuhi ilalang liar dan semak belukar. Zahira berdiri di sana, memandangnya dengan mata yang penuh harapan.

"Di sinilah dulu nenek Fransiska menanam kenanga dan melati," gumamnya. "Tempat nenek Fransiska duduk setelah menari... tempat ia bercerita."

Sebuah ide mulai tumbuh dalam pikirannya ia ingin menghidupkan kembali tanah itu. Bukan sebagai kebun biasa, melainkan sebuah Taman Budaya. Ruang terbuka yang bisa digunakan anak-anak untuk menari di alam, membaca cerita rakyat, dan belajar mengenal alam serta tradisi. Ia akan menamainya “Taman untuk Nenek Fransiska.”

Proyek dimulai.

Zahira mengajak anak-anak dan warga desa dalam sebuah gotong royong. Ia membagi tugas:

Ayah Rafi diminta membantu membersihkan lahan dengan cangkul. Ibu Shinta, yang ahli membuat taman herbal, menyumbang bibit dan panduan menanam. Anak-anak membuat hiasan dari barang bekas: kaleng disulap jadi pot bunga, botol plastik diwarnai jadi penanda tanaman. Zahira menghubungi seniman lokal untuk membuat patung kayu nenek Fransiska bukan sebagai lambang kesedihan, tapi sebagai lambang semangat yang hidup.

Hari-hari berlalu penuh peluh dan tawa. Saat sore tiba, suara cangkul, tawa anak-anak, dan irama kentongan bergantian mengisi udara.

"Bu Guru Zahira, boleh kami tanam bunga kenanga di sini?" tanya Dinda, salah satu murid.

"Tentu, Dinda. Itu bunga kesukaan nenek Fransiska. Setiap kali kamu mencium baunya, bayangkan nenek Fransiska sedang tersenyum."

Tiga minggu kemudian, taman kecil itu selesai.

Di tengahnya, berdiri patung kayu sederhana berbentuk wanita tua berkerudung, duduk dengan selendang merah di bahunya, seolah sedang mengamati anak-anak menari. Di sekelilingnya, ditanam bunga-bunga yang dulu dicintai nenek Fransiska: kenanga, melati, kembang sepatu, dan bunga kertas. Sebuah panggung kecil dari bambu dibangun menghadap patung itu di sanalah pertunjukan kecil akan berlangsung setiap akhir pekan.

Taman itu tak hanya indah, tapi hidup.

Setiap Jumat sore, anak-anak tampil di taman. Mereka tak hanya menari, tapi membaca puisi tradisional, bermain peran cerita rakyat, dan berdiskusi tentang adat istiadat. Para tetua desa mulai datang, membawa cerita dan lagu-lagu lama yang mulai dilupakan.

Peresmian taman pun diadakan.

Zahira berdiri di depan mikrofon bambu, mengenakan kebaya sederhana dan selendang merah yang melingkar manis di bahunya. Matanya berkaca-kaca melihat warga berkumpul ada yang membawa makanan, alat musik, bahkan tumpeng kecil sebagai wujud syukur.

"Selamat datang di Taman untuk Nenek Fransiska," katanya pelan. "Tempat ini bukan hanya taman bunga. Ini adalah ruang kenangan. Di sinilah kita akan menanam cinta terhadap budaya, seperti nenek Fransiska menanam kenanga dengan tangannya dulu."

Tepuk tangan pun menggema.

Malam itu ditutup dengan pentas tari oleh para murid Zahira. Mereka membawakan tarian baru ciptaan Zahira, berjudul “Jejak dalam Embun”, menggambarkan perjalanan seorang anak kecil yang belajar menari di bawah bimbingan seorang nenek Fransiska hingga akhirnya mampu memimpin anak-anak desa meneruskan tradisi.

Suatu malam, Zahira duduk sendiri di taman.

Ia memandang patung nenek Fransiska yang tersenyum dalam senyap. Angin meniup rambutnya, membawa harum bunga melati. Cahaya rembulan menyinari tanah yang dulu gersang, kini hidup dengan cinta dan semangat gotong royong.

“Terima kasih, Nek,” bisiknya. “Kini aku tahu... menari bukan sekadar gerak. Tapi napas budaya. Dan kau... adalah nafas pertamaku.”

Di kejauhan, suara gamelan terdengar dari sanggar. Anak-anak masih latihan walau malam sudah larut. Zahira tersenyum, bangkit, dan berjalan perlahan kembali ke sanggar, siap memimpin mereka sekali lagi seperti dulu nenek Fransiska memimpinnya.

=================================================================

Garahan, 07 Juni 2025 / Sabtu Kliwon, 10 Dzulhijjah 1446 H, 08.31 WIB

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren Pak,...selamat idul fitri mohon maaf lahir dan batin

07 Jun
Balas

Keren Pak,...selamat idul fitri mohon maaf lahir dan batin

07 Jun
Balas



search

New Post