Miftah Novi

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

BUKANNYA KAMI TIDAK MAU BERKURBAN

"Sepuluh ribu sehari tidak bisa kamu sisihkan, jadi tabungan?" Suara Abang terdengar datar, tapi menusuk. Seperti kertas tipis yang diam-diam menggores kulit.

“Tiga ratus enam puluh lima hari setahun, atau tiga ratus hari saja jumlahnya sudah cukup tiga juta”. Kalkulasi rupiah diuraikan Abangku.

Aku menunduk, memandangi jemariku yang menggenggam cangkir kopi yang sejak tadi tak disentuh. Uapnya sudah lama lenyap. Seperti semangatku yang juga ikut menguap sejak obrolan ini dimulai.

"Secara teori bisa, Bang," ucapku pelan. "Tapi Abang tahu sendiri, penghasilan kami tidak selalu cukup. Kadang malah kurang." Kata-kataku seperti kabut, tipis dan tak punya daya.

Abang menggeleng, menyandarkan tubuhnya ke kursi rotan yang sedikit berderit. "Menurutku lebih dari cukup. Aku saja, tujuh orang tanggungan, masih bisa menyisihkan. Kamu cuma anak dua, istri satu."

Cuma. Kata itu menggantung lama di kepalaku. Cuma istri satu. Cuma dua anak. Cuma hidup. Abang selalu pandai menyederhanakan yang rumit. Mungkin karena hidupnya lebih lurus jalannya. Atau karena dia tak pernah benar-benar tinggal di rumahku, melihat apa yang kulihat setiap hari.

Abang tak tahu, adik iparku—adik istriku—masih bolak-balik RSUD dua kali seminggu. Leukimia. Anak muda, usia dua puluh dua, tubuhnya sudah seperti ranting. Kadang aku lihat dia diam menatap plafon, menahan sakit atau sekadar menahan malu karena kami harus meminjam uang untuk beli vitamin.

Lalu mertua. Sejak stroke tahun lalu, tak bisa bicara lagi. Usianya 74, tubuhnya seperti bayi tua yang tak bisa mengurus dirinya sendiri. Popoknya harus diganti tiga kali sehari. Dan kami tak sanggup beli yang mahal. Sekali waktu, istriku menangis saat tahu pempes subsidi dari puskesmas belum datang karena pengiriman tertunda.

Abang juga tak tahu, anak bungsuku masih ngompol, dan tengah belajar bicara. Kadang dia meracau, bilang ingin ikut bapaknya jualan. Aku bawa dia sekali ke pasar, dan dia demam dua hari karena kepanasan. Sejak itu, ibunya melarang.

Bukan kami tidak mau berkurban. Demi Allah, kami ingin. Ingin berdiri di lapangan, menyerahkan seikat tali, mendengar takbir menggetarkan pagi. Ingin anak-anakku tahu: keluarganya juga bisa berbagi.

Tapi kurban bukan cuma soal kambing. Kadang, setiap hari kami sudah berkurban. Mengorbankan rasa ingin makan enak demi bayar listrik. Mengorbankan beli baju lebaran demi beli obat. Mengorbankan gengsi demi pinjam motor tetangga untuk ke rumah sakit.

Aku memandangi Abang yang kini diam. Mungkin pikirannya sedang menghitung-hitung lagi anggaran keluargaku. Tapi aku tak mau menghitung hari ini. Cukuplah Tuhan yang mencatat semua ini. Kami hanya ingin tetap hidup—dengan layak, dengan tenang, dan dengan niat yang tidak pernah putus.

Jika suatu hari anak-anakku bertanya, “Kenapa tahun ini kita tak ikut kurban, Ayah?” Akan kujawab: “Kita sedang menabung dengan sabar, Nak. Mungkin bukan kambing, tapi semoga surga.”

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap tulisannya....!!!

04 Jun
Balas



search

New Post