Abd. Karim Tahir

Tinggal di Gowa - Sulawesi Selatan. Guru IPS SMP Negeri 1 Parangloe Kab. Gowa dan Ketua Pusat Belajar Guru (PBG) Gowa....

Selengkapnya
Navigasi Web

Bencana Tak Sekedar diratapi

Selama beberapa hari terkapar tanpa daya. Menggigil di saat cuaca panas seperti ini. Ahh! Penyakit memang aneh. Meringis sambil memanggil-manggil ibu sedikit membantu. Dengan memanggil-manggil ibu sepertinya dapat mengurangi rasa sakit. Itulah sebabnya mengapa aku tetap melakukannya setiap sakit meskipun anak-anak menertawaiku. Maklumi saja mereka masih harus belajar untuk lebih memahami arti ibu yang sesungguhnya.

Dalam keadaaan menggigil aku membuka lemari, mengambil celana training lengkap dengan jaket plus kaos kaki. Aku memakainya dan segera menyembunyikan diri dalam balutan selimut.

Di balik selimut, aku teringat sesuatu. Yahh, pengungsi. Bagaimana dengan nasib mereka? Meskipun sakit setidaknya aku masih beruntung bisa menggunakan selimut, lengkap dengan pakaian tebal bahkan aku masih bisa memilih mana yang paling ku suka untuk kupakai. Bagaimana dengan mereka para pengungsi itu?

Amukan banjir bandang dan tanah longsor yang baru saja melanda wilayah kami mengakibatkan banyak korban, baik jiwa maupun harta. Pengungsi memenuhi Posko-posko yang didirikan secara darurat. Keadaan mereka sangat memprihatinkan. Minim fasilitas, bahan-bahan konsumsi sangat terbatas, pakaian seadanya. Kebanyakan di antara mereka tidak sempat menyelamatkan harta benda miliknya. Hidup para pengungsi sangat tergantung dari uluran tangan para dermawan.

Syukurlah bahwa simpati mengalir seolah ingin mengalahkan banjir. Masyarakat tanpa dikomando mendirikan posko-posko penggalangan bantuan. Di kantor-kantor, sekolah, demikian juga dengan Organisasi kemasyarakatan semuanya melibatkan diri. Evakuasi korban dilakukan dengan gerakan cepat. Bupati, wakil bupati dan pejabat-pejabat lainnya membaur dengan masyarakat mempercepat proses evakuasi.

Kini satu bulan setelah bencana, perlahan keadaan kembali pulih. Pengungsi sudah kembali ke rumahnya sambil mengais harta benda yang masih tersisa, siapa tahu masih ada yang bisa termanfaatkan.

Bencana ini menyisahkan kepedihan, dan trauma. Namun juga memberikan pembelajaran berharga tentang perlunya menjaga tatanan lingkungan. Bahwa pembangunan harus direncanakan dengan mempertimbangkan keseimbangan alam tanpa merusak ekosistem yang ada. Merusak alam meskipun dengan dalih pembangunan, merupakan bom waktu yang mengancam keberadaan alam dan kehidupan manusia itu sendiri.

Di sisi lain, bencana ini juga menyadarkan kita tentang solidaritas sosial. Solidaritas sosial yang dalam keadaan normal seringkali menjadi barang langkah dan mengkhawatirkan. Kini menjadi pemandangan yang lumrah di mana-mana. Masyarakat berlomba menunjukkan simpati dengan sumbangan materi dan tenaga yang dimiliki. Ternyata, kita masih memiliki solidaritas dan itu adalah fitra kemanusiaan. Bencana ini menyentak kita untuk menghadirkannya kembali. Allah SWT seolah-seolah sengaja menghadirkan bencana ini untuk menyadarkan hamba-hambaNya tentang nilai kemanusiaan yang semakin tergerus oleh zaman.

Zaman telah mengubah segalanya termasuk mempreteli sifat sosial dan menggantinya dengan individualistis. Hidup egois yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa peduli dengan orang lain. Kebijakan diambil berdasarkan azas manfaat. Segala sesuatu dihitung menurut keuntungan pada diri dan golongannya tidak peduli meskipun hal itu membawa kerugian pada orang dan golongan lain. Hubungan antar manusia diikat oleh kepentingan. Jika kepentingannya sama kita adalah teman tetapi jika kepentingan berbeda, kita adalah musuh. Manusia menjelma menjadi monster bagi manusia lainnya, serakah dan tidak berprikemanusiaan.

Konsep pembangunan yang kemudian melahirkan bencana di mana-mana juga tidak lepas dari sifat individualis ini. Pembabatan hutan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar yang anehnya difasilitasi oleh pemerintah, pembangunan gedung-gedung di tanah-tanah resapan air dan seharusnya menjadi lahan hijau, dan pembiaran sampah-sampah menumpuk menghambat aliran air adalah sebagian kecil dari problem yang lahir dari egoisme-individualis.

Bencana demi bencana yang acapkali menyambangi negeri kita semestinya tidak sekedar diratapi. Tetapi juga direnungi dan mengoreksi total konsep pemikiran yang mendasari pengelolaan lingkungan kita selama ini.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Setuju Pak. Bencana bisa jadi warning. Bukan sekadar agenda rutin. Harus dipikirkan.

25 Feb
Balas

Terima kasih pak Mahfud..telah mampir. Salam kenal

25 Feb

Salam. Saya siap belajar. Pak.

25 Feb

Sama2 belajar pak..alhamdulillah, saya senang bisa banyak belajar dari teman2 di gurusiana

25 Feb



search

New Post