Abd. Karim Tahir

Tinggal di Gowa - Sulawesi Selatan. Guru IPS SMP Negeri 1 Parangloe Kab. Gowa dan Ketua Pusat Belajar Guru (PBG) Gowa....

Selengkapnya
Navigasi Web

Moratorium UN; Muhasabah untuk Kemajuan Pendidikan

Ujian akhir yang terpusat mulai diperkenalkan pemerintah melalui departemen pendidikan sejak tahun 1950. Saat itu disebut Ujian Penghabisan. Departemen Pendidikan bertugas sebagai penyelenggara ujian dan sekaligus penanggung jawab pembuatan soal. Tahun 1970-an ujian terpusat dihapus dan diganti dengan ujian sekolah. Sekolah diberikan kewenangan penuh, menyelenggarakan ujian, membuat soal dan menentukan kelulusan siswa. Tahun 1985 ujian terpusat kembali diadakan dengan nama EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Sistem ini terus berlanjut dari tahun ke tahun dengan nama yang berganti-ganti. Terakhir namanya diubah menjadi UN (Ujian Nasional)

Saya pertama kali mengikuti UN di Sekolah Dasar (SD). Hari-hari menjelang ujian, ketegangan sangat terasa di sekolah, hampir setiap hari kepala sekolah masuk ke kelas. Dengan wajah yang dibuat seserius mungkin, beliau berusaha meyakinkan murid-murid tentang betapa pentingnya Ujian yang akan dihadapi. Beliau berkali-kali menjelaskan bahwa ujian yang akan ditempuh sangat menentukan nasib kelanjutan pendidikan kami. Bukan hanya di SD, ketika mengikuti ujian yang sama di SMP dan di SMA situasinya tidak jauh berbeda, tegang dan menegangkan.

Ujian Nasional menciptakan situasi horor di dunia pendidikan. Melahirkan kecemasan dan ketegangan. Siswa menyalurkan kecemasan ini dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang positif; belajar dengan tekun, ikut bimbingan belajar di lembaga penyelenggara Bimbel, mengadakan istighosah, malam renungan untuk menangisi dosa-dosa, rajin minta maaf pada kedua orang tua, dan mendaak patuh pada guru. Namun ada pula yang menyalurkan kecemasannya dengan cara yang keliru seperti jual beli kunci jawaban meskipun ternyata palsu. Aksi konvoi di jalan-jalan dan corat-coret baju seragam seusai UN mungkin bisa dimaknai sebagai cara mereka merayakan kemerdekaan dari kecemasan. Seringnya terjadi praktek-praktek kurang terpuji dalam pelaksanaan UN yang dilakukan oleh oknum guru dan kepala sekolah boleh jadi juga merupakan wujud dari kecemasan yang berlebihan.

Kondisi semacam ini bisa dipahami. Selama bertahun-tahun UN menjadi malaikat pencabut nyawa. Penentu kelulusan siswa. Enam atau Tiga tahun anak-anak bergelut dengan berjenis-jenis kegiatan pembelajaran, tetapi nasibnya ditentukan oleh kurang dari sepekan penyelenggaraan UN. Setiap hari anak-anak direcoki dengan belasan atau mungkin puluhan mata pelajaran (mapel) tetapi lagi-lagi nasibnya ditentukan oleh hanya beberapa gelintir mapel yang UN-kan. Lalu mapel yang lain, untuk apa?

UN membagi mapel menjadi dua kelompok, mapel UN dan mapel non UN. Mapel UN didudukkan pada kasta terhormat, (high class). Diperlakukan bagai raja dan bangsawan tinggi dengan segala keistimewaannya. Sebaliknya mapel non UN di tempatkan pada kasta rendahan (lower class), rakyat jelata yang nyaris tidak memilki pengaruh apapun. Tidak heran jika di kalangan siswa muncul sikap meremehkan mapel non UN. Pada penjurusan di SMA pun tidak jarang timbul arogansi pada siswa yang memilih Jurusan yang di UN-kan (MIPA), menganggap diri lebih hebat dari pada teman-temannya yang memilih jurusan non-UN (ilmu Sosial dan Budaya).

Waktu berlalu. Keberadaan UN terus menerus dipersoalkan. Sampai pada akhirnya, aturan kelulusan siswa diubah. Tidak lagi semata-mata ditentukan oleh hasil UN, nilai semester pun turut diperhitungkan. Sampai pada akhirnya wewenang UN sebagai satu-satunya eksekutor kelulusan siswa benar-benar dicabut. Pemerintah mengembalikan hak sekolah dalam menentukan kelulusan.

Kalaupun saat ini UN masih dilakukan, fungsinya tidak lagi sebagai penentu kelulusan tetapi sebatas untuk pemetaan mutu pendidikan. UN diharapkan menjadi pisau bedah dari tumpukan problem pendidikan selama ini.

Melihat fungsi UN yang demikian, usul untuk moratorium UN yang dulu ramai diwacanakan, menarik untuk dibahas kembali. UN dihentikan sementara, beri kesempatan kepada pemerintah untuk menindaklanjuti hasil pemetaan dari beberapa kali penyelenggaraan UN. Anggaran yang setiap tahun dipersiapkan untuk UN, diarahkan untuk memperbaiki sarana prasarana, peningkatan kualitas guru, perbaikan manajerial kepala sekolah, membenahi standar proses, dan problem-problem lain yang sering dikeluhkan sebagai biang mangkraknya mutu lulusan.

UN tidak harus dilaksanakan tiap tahun. Sekali dalam lima tahun, misalnya. Tekhnis pelaksanaannya memungkinkan dengan model sampling. Tidak perlu semua sekolah di setiap daerah diikutkan. Cukup perwakilan saja, kan hanya pemetaan? Sangat praktis dan menghemat biaya. Hasilnya saya yakin bisa dipertanggungjawabkan. Kalau lembaga quik count pemilu bisa menghasilkan data yang nyaris sempurna, kenapa para peneliti di kementrian pendidikan tidak bisa melakukan hal yang sama? Pasti bisa.

Dengan adanya moratorium UN pemerintah bisa memfokuskan tenaga dan pikiran pada hal-hal yang lebih mendesak dan mendasar. Serta mengatur strategi yang paling baik untuk menghasilkan kebijakan pendidikan yang benar-benar dibutuhkan. Sederhananya, moratorium UN adalah ajang untuk merenung atau muhasabah diri bagi setiap pemangku kepentingan demi masa depan pendidikan Indonesia.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post