Abdul Hamid

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Antara Kemacetan dan Kewajiban
Senyum di kemacetan itu akan selalu menjadi pengingat bahwa di balik segala keterbatasan, selalu ada harapan dan semangat untuk meraih mimpi.

Antara Kemacetan dan Kewajiban

Mentari pagi masih malu-malu bersembunyi di balik awan tebal menandakan akan turunnya hujan. Aku seorang guru muda bernama Fikri, sudah harus bergegas menyiapkan diri. Hari ini adalah hari pertamaku mengajar di sebuah sekolah dasar terpencil di pinggiran Gunung Bayan. Sebuah pengalaman yang sudah lama aku impikan, namun juga dipenuhi tantangan yang tak terduga.

Gerimis hujan mulai membasahi seragam baruku. Aku melirik jam tangan menunjukkan pukul 06.00 WIB. Aku menarik napas panjang menunggu mobil taksi yang selalu setia mengantarkan para pahlawan tanpa tanda jasa ke sekolah tempat meraka mengajar. Sesekali aku menoleh ke seberang jalan untuk memastikan taksi akan cepat datang sambil memejamkan mata sejenak. Jalanan di depanku padat, kendaraan nyaris tak bergerak. Tak lama kemudian mobil taksi berhenti di depanku, “Ayoo naik di belakang pak, kata pak sopir.” Lalu aku mengangguk dengan penuh hati-hati melangkah naik dan tak lupa aku selalu membaca doa perjalanan untuk memohon keselamatan dan keberkahan dari Allah yang Maha Kuasa.

Para rombongan keluarga penjemput kedatangan ibadah umrah memadati jalanan. Debu dan asap knalpot motor dan mobil menyelimuti jalanan untungnya aku telah membiasakan diri memakai masker ketika diperjalanan. Sudah menjadi tradisi orang-orang Madura pak, “kata Bu Ani yang duduk dipaling depan.”

Tetapi sangat mengganggu pengguna jalan lain termasuk kami yang mau mengajar, “kata Pak Kamil yang serius mengomentari.”

Ya betul ...!, “Kata Pak Sholihin menimpali yang duduk disampingnya.”

Aku terdiam sejenak sambil mataku melihat keluar dari kaca mobil taksi yang sekali-kali suara knapot sepeda motor meraung-raung membisingkan telingaku. Sudah hampir setengah jam aku terjebak di tengah kemacetan rombongan kedatangan jamaah umrah, padahal pukul 07.00 WIB aku harus tiba di sekolah untuk mengajar, “bisikku dalam hati.”

Sebagai guru, Aku selalu berusaha datang tepat waktu. Namun, pagi ini berbeda. Sejak kemacetan jalanan membuat jalanan lalu lintas tersendat. Sesekali, aku melirik ke luar jendela taksi yang dinaiki, berharap ada keajaiban yang bisa membebaskanku dari kemacetan.

Sang sopir, seorang pria paruh baya, seakan memahami kegelisahanku. “Macetnya parah, Pak.” Biasa begini kalau kebetulan berbarengan dengan kepulangan umrah,” katanya.

Aku tersenyum tipis. “Iya, pak. Saya harus mengajar jam tujuh. Kasihan anak-anak kalau saya terlambat.”

Sang sopir mengangguk. “Sabar ya, Pak...!” kata pak sopir.

Saya ingat guru saya dulu, tegas tapi baik hati.” Kata pak sopir

Aku tersenyum. “Guru memang harus tegas, tapi juga harus sabar. Seperti saya sekarang, harus sabar menghadapi kemacetan,” ujarnya bercanda.

Sang sopir tertawa. “Betul, Pak. Tapi kalau sudah macet begini, kita hanya bisa pasrah dan tawakkal.”

Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benakku. Aku membuka tas dan mengeluarkan buku catatan. Jika aku tidak bisa tiba tepat waktu di sekolah, setidaknya aku bisa memanfaatkan waktu di sini. Dengan sigap, aku mulai mencatat rencana pembelajaran untuk minggu depan.

Tak lama kemudian, handponku bergetar. Panggilan dari Kepala Kepala Sekolah, Pak Ahmad.

Pak Fikri, masih di jalan? tanya Pak Ahmadi di seberang.

Iya, Pak...! “Maaf, saya terjebak macet, sepertinya saya akan terlambat.”

Pak Ahmad tertawa kecil. “Tidak apa-apa, Pak. Murid-murid sudah kami arahkan untuk membaca buku sampai bapak datang.”

Pak Fikri menghela napas lega. Setidaknya, kelasnya tidak akan terbengkalai.

Setelah hampir satu jam, akhirnya taksi mulai bergerak lancar. Sesampainya di jalan masuk menuju sekolah, Aku melirik jam tangan sudah menunjukkan pukul 07.10 menit dan bergegas berjalan kaki menuju sekolah. Jarak sekolahku dari jalan raya kurang lebih 3 km. Sekitar 1 km aku sudah menempuh dengan berjalan kaki. Peluh sudah mulai membasahi dahiku dan keringat di tubuh mulai bercucuran membasahi baju seragam ceki coklatku.

“Assalamu’alaikum”, sapa Pak Salam orang tua murid kelas 6 yang kebetulan berpapasan.

“Walaikumussalam,” mau ke mana pak? tanya ku.

“Ini mau ke pasar mau belanja pak”. Jawabnya.

Aku terus berjalan kaki, sakit di lutut dan kakiku mulai terasa, mengharap ada motor yang lewat searah denganku. Tiba-tiba di depanku muncul Pak Umam menjemputku dengan khas senyumannya.

“Olahraga pak? sapa dengan candanya”. Aku jawab dengan terseyuman letih menghias raut mukaku. Lalu aku naik motornya sampai di sekolah. Sesampai di sekolah dengan langkah lesu aku bergegas masuk kelas. Murid-muridku tengah membaca buku dengan tenang.

“Maaf, anak-anak. Pak Guru datang terlambat hari ini,” katanya sambil tersenyum.

Seorang murid mengangkat tangan. “Tidak apa-apa, Pak! Kami tadi membahas pelajaran sendiri.”

Aku tersenyum bangga. Hari ini, aku belajar bahwa kewajiban bisa tetap dijalankan, bahkan di tengah kemacetan, asalkan ada kemauan dan kesabaran.

Senyum di kemacetan itu akan selalu menjadi pengingat bahwa di balik segala keterbatasan, selalu ada harapan dan semangat untuk meraih mimpi.

Salam Semangat, Sehat dan Selalu Bersyukur

SDN WARTIM 2 BERKAH

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post