
Guruku Tersayang
GURUKU TERSAYANG
Mentari pagi bersinar lembut di ufuk timur, menyambut langkah-langkah kecilku menuju sekolah tempatku akan mengajar untuk pertama kalinya. Degup jantungku tak beraturan, antara gugup dan antusias. Aku berdiri di depan gerbang sekolah dasar itu, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku sendiri.
Assalamu’alaikum, “Guru baru ya ?" sapa seorang petugas kebersihan dengan senyum ramah.
Walaikunussalam, Aku mengangguk, tersenyum balik. "Iya, Pak. Saya guru baru di sini."
Dengan langkah ragu-ragu, aku memasuki ruang guru. Beberapa guru senior menyapaku dengan hangat, memberikan selamat dan semangat. Kepala sekolah, seorang wanita bijaksana bernama Pak Saleh, menepuk pundakku dengan lembut.
"Selamat datang, Bapak Lukman. Jangan khawatir, hari pertama memang selalu mendebarkan. Nikmati saja prosesnya."
Aku mengangguk, berusaha menyerap setiap kata.
Beberapa menit kemudian, bel berbunyi. Saatnya masuk ke kelas. Dengan tangan sedikit gemetar, aku melangkah ke kelas 4 kelasku. Begitu membuka pintu, beberpa belasan pasang mata mungil menatapku dengan rasa ingin tahu.
“Assalamu’alaikum”
"Selamat pagi, Anak-anak," sapaku dengan suara sekuat yang kubisa.
“Waalaikumussalam”
"Selamat pagi, Bapak Guru!" mereka menjawab serempak.
Aku mulai memperkenalkan diri, lalu bertanya nama mereka satu per satu. Anak-anak itu terlihat bersemangat, tetapi ada juga yang tampak malu-malu. Aku mencoba mencairkan suasana dengan sebuah cerita lucu, dan tawa mereka perlahan mengusir kegugupanku.
Namun, tantangan pertama datang lebih cepat dari yang kuduga. Seorang anak laki-laki bernama Dika terus berbicara dengan temannya di saat aku sedang menjelaskan. Aku mendekatinya dengan lembut.
"Dika, Ibu tahu kamu suka berbicara, tapi bisakah kita berbicara satu per satu?" tanyaku dengan senyum.
Dika tampak terkejut, tetapi kemudian tersenyum malu-malu. "Maaf, Bu Guru."
Aku tersenyum lega. Aku berhasil menangani situasi tanpa membuat suasana menjadi tegang.
Waktu berlalu cepat. Tanpa kusadari, bel tanda istirahat berbunyi. Anak-anak bersorak kecil dan mulai berhamburan ke luar. Aku duduk di kursi guru, menarik napas lega. Hari pertamaku mengajar mungkin tidak sempurna, tetapi aku tahu bahwa ini adalah langkah awal dari perjalanan panjangku sebagai seorang pendidik.
Sambil menatap anak-anak yang berlarian di halaman, aku tersenyum. Hari ini, aku bukan hanya seorang guru bagi mereka, tetapi juga seorang pembelajar yang sedang tumbuh bersama mereka.
Bel tanda masuk berbunyi, anak-anak mulai berhamburan masuk ke kelasnya masing-masing. Tetapi suasana di kelas 6 berbeda dan masih ramai, ada yang bercanda, ada yang bermain bola di dalam kelas, dan ada pula yang berlarian kesana kemari. Salah satu dari mereka bersuara lantang dan memperigatkan agar jangan gaduh dan ramai.
Tiba-tiba kepala sekolah menghampiriku, “Maaf Bapak Lukman, dan minta tolong jam masuk setelah istirahat gantikan Bu Ijah di kelas 6 karena beliau pulang duluan anaknya sakit mendadak.”
“Baik Bapak dengan senang hati, akan saya laksanakan.”
Dengan penuh semangat aku berjalan mendekati kelas yang suasananya masih tampak ramai dan berantakan. Tiba-tiba terdengar suara celoteh dari dalam kelas, rupanya mereka senang dan gembira jika gurunya absen mengajar.
“Hai teman-teman Bu Guru kita hari ini pulang duluan karena anaknya sakit mendadak”
“Horeee...!” semuanya bersorak,” ketika sang ketua kelas membawa kabar gembira.
Bu Ijah pulang duluan dan gak ngajar.
“Assalamu’alaikum,” Sejenak wajah anak-anak di dalam kelas memandang datangnya suara dipintu masuk.
“Walaikumussalam,” Jawab anak-anak dengan serentak.
“Anak-anakku tersayang...”
Tak ada suara lagi yang ku dengar, anak-anak saling menatap satu persatu dan saling bertanya satu sama lain dengan bisikan yang lembut dan suasana hening.
Ku pandangi satu persatu wajah anak-anak dan ku menatap lurus kepada seorang anak perempuan yang berpakaian rapi dari teman-teman lainnya. Aku pikir dan yakin ketua di kelas ini.
“Hari ini Ibu Khotijah wali kelas kalian pulang lebih awal karena anak beliau sakit mendadak,” jadi untuk sementara bapak yang akan menggantikan dan mengajar di kelas ini, anak-anak terdiam mendengarkanku.
Aku mulai memperkenalkan diri, lalu bertanya nama mereka satu per satu. Anak-anak itu terlihat bersemangat, tetapi ada juga yang tampak malu-malu. Aku mencoba mencairkan suasana dengan sebuah cerita lucu, dan tawa mereka perlahan mengusir kegugupanku.
Namun, tantangan pertama datang lebih cepat dari yang kuduga. Seorang anak laki-laki yang duduk di paling pojok belakang terus berbicara dengan temannya di saat aku sedang menjelaskan. Aku mendekatinya dengan lembut.
"Namamu siapa nak...?” Dika pak...! Bapak tahu kamu suka berbicara, tapi bisakah kita berbicara satu per satu?" tanyaku dengan senyum.
Dika tampak terkejut, tetapi kemudian tersenyum malu-malu. "Maaf, Pak Guru."
Aku tersenyum lega. Aku berhasil menangani situasi tanpa membuat suasana menjadi tegang.
Hari ini bapak akan menjelaskan tentang cita-cita yang harus kalian capai. “Cita-cita bukanlah sebatas mencari ilmu ditingkat sekolah dasar dan lulus belum bisa dikatakan akhir cita-cita. Kalau cita-cita bapak hanya satu, yaitu mencapai apa yang diinginkan dengan mencapai ridho Allah.
“Kita harus berbuat sabaik-baiknya perbuatan di dunia seakan-akan kita akan hidup selamanya, dan kita beribadah pada Allah yang sekhusyuk-khusyuknya seakan-akan kita mati esok.”
“Maafkan Bapak jika belum bisa dalam menerangkan pelajaran hari ini, karena Bapak pertama kali menginjakkan kaki disini dan sebagai guru baru di sekolah ini. Semoga Allah selalu melindungi dan meridhoi kita semua dalam mencari ilmu dan bermafaat di dunia dan di akhirat.
“Amin Yaa Rabbal ‘Alamin,” Jawab anak perempuan yang berpakaian paling rapi dengan lantang dan diikuti teman yang lainnya.
“Maaf, siapa ketua kelas 6?”
“Saya Bapak...!” anak perempuan yang sangat rapi mengacungkan tangan.
“Namamu siapa nak...?”
Siti Aminah, Bapak...!
“Silahkan ke depan...!” untuk menjelaskan cita-cita yang akan kamu capai jika nantinya sudah dewasa.
Dengan rasa malu dan gugup karena pertama kalinya, ketua kelas 6 mulai menceritakan cita-cita apa yang akan dia raih untuk masa depan nanti dengan penuh antusias dan semnagat sehingga teman-temanya mendengar dengan serius dan penuh hikmah.
“Terima kasih, kamu telah menjelaskan cita-citamu, semoga Allah selalu bersamamu dan mengabulkan yang kamu cita-citakan,” Amin....!
“Terima kasih Bapak,” sambil mengangguk dan membungkukkan badan si Aminah pergi ke bangkunya, dan teman-temanya bertepuk tangan memberikan semangat.
“Anak-anakku, Bapak yakin Allah hanya melihat dari ketaqwaan kalian semua, tak lebih dan tak kurang.”
Semua tertegun, “Mungkin ini yang bisa Bapak sampaikan kekalian.”
“Yang terpenting kalian harus semngat dan rajin belajar, karena sebentar lagi kalian akan lulus sekolah dan akan melanjutkan perjuangan kalian ke jenjang sekolah selanjutkan.”
“Bapak sudah membawa sejuta hikmah.” Terima kasih Pak, karena telah mengajarkan kami arti cita-cita,” Kata Siti Aminah dengan senyuman percaya diri.
“Horee..., Bapakku hebat dan tersayang...!” celoteh anak-anak dengan semangat mereka bergembira dan bertepuk tangan.
Dengan senyum mengembang aku memberi semangat, “Baiklah anak-anakku, buktikan pada orang tua kalian, bahwa masa depan kalian akan cerah dan sukses.”
Waktu berlalu cepat. Tanpa kusadari, bel tanda pulang berbunyi. Anak-anak bersorak kecil dan mulai berkemas-kemas dan diakhiri dengan membaca doa yang dipimping ketua kelas dan bersalaman satu persatu meninggalkan kelas.
Anak-anak berhamburan ke luar kelas masing-masing . Aku duduk di kursi guru, menarik napas lega. Hari pertamaku mengajar mungkin tidak sempurna, tetapi aku tahu bahwa ini adalah langkah awal dari perjalanan panjangku sebagai seorang pendidik.
Sambil menatap anak-anak yang berlarian di halaman, aku tersenyum. Hari ini, aku bukan hanya seorang guru bagi mereka, tetapi juga seorang pembelajar yang sedang tumbuh bersama mereka.
Salam Semangat, Sehat dan Selalu Bersyukur
Tagur#8
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar