Amtolib Abuufaattarabani

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

PENGAKUAN “DARKEM” TENTANG BAMBANG

Langit tampak hitam tertutup awan tebal, sang mentari tak tampak sinarnya, meskipun saat itu waktu baru menunjukkan pukul 13.30 tetapi suasana bagaikan sudah senja. Kampung itu terasa sunyi mencekam, pintu rumah warga rata-rata tertutup rapat seperti tak berpenghuni. Memang hampir semua warga meninggalkan rumahnya berkumpul di suatu tempat, sepertinya sebagai pertanda desa yang dinaungi langit hitam itu sedang dilanda duka nestapa.

Dari kejauhan tampak banyak sekali orang berkerumun, apa gerangan yang dikerumuni warga? Oh ternyata di tengah banyak orang berkerumun itu ada seorang pemuda tampan badanya terikat pada sebatang pohon. Pohon itu hanya sebesar kaki orang dewasa tapi cukup menjadikan pemuda itu tak berdaya, apalagi kedua tangannya juga terikat mengarah ke belakang. Kepalanya tertunduk, rambutnya yang lurus sedikit panjang menutupi wajahnya. Meski tak begitu jelas raut mukanya, tapi kelihatannya lelaki itu sudah tak berdaya untuk melepaskan diri. Jangankan melepaskan diri, menggaruk anggota badannya yang gatal saja tidak bisa.

“Bakar saja orang ini!”, teriak salah satu orang yang berkerumun.

“Jangan, kita cari cara biar dia mengaku”, kata yang lain sambil menginjak jempol kaki pemuda itu dengan sepatu hansipnya. Pemuda itu hanya meringis kesakitan. Warga yang lainpun bergantian menyakiti pemuda itu sambil memakinya. Ada yang meludahinya, menyulut wajahnya dengan rokok, menendang perutnya, meninju mukanya, melemparinya dengan telur busuk, buah busuk, dan cacian busuk lainnya. Pemuda itu hanya bisa menahan sakit yang amat tanpa bisa melawan. Begitulah kebanyakan warga kalau sudah memvonis seseorang bersalah, sepertinya berhak melakukan apa saja terhadap orang yang sudah divonis bersalah menurut versi mereka. Mereka tidak menyadari bahwa khilaf itu bisa terjadi pada siapa saja. Mereka juga tidak menyadari bahwa dirinya juga belum tentu lepas dari kesalahan. Tapi demikianlah kebanyakan manusia, kalau sedang manghakimi secara beramai-ramai tak akan mengintrospeksi dirinya sendiri. Apakah tindakannya dibenarkan menurut hukum atau tidak, yang penting kemarahannya terlampiaskan.

“Sudah! Sudah, gantian saya yang akan memberi hukuman!”, tiba-tiba muncul seorang lelaki paruh baya dari kerumunan dan orang-orang itu segera menghentikan perbuatannya lalu menunggu kira-kira hukuman apa yang bakal diberikan oleh lelaki tinggi besar, berjambang, berbaju dan bercelana longgar hitam(Jawa:komprang), berpeci hitam itu. Kain sarungnya terlipat dikalungkan di leher dengan kedua ujung kain terjuntai di bawah dagunya. Di pinggangnya melingkar sabuk kulit dan terselip golok ciamis yang masih disarungkan, layaknya pendekar silat dari Betawi.

“Jawab dengan jujur, sebelum golokku menebas lehermu! Apakah semuanya kau yang melakukan terhadap anakku?”, bentak lelaki itu dengan wibawanya sambil mendongakkan dagu pemuda itu pakai tangan kirinya yang kekar sehingga kelihatan kulit leher dan wajah pemuda itu lebam-lebam bekas penganiayaan. Tetapi pemuda itu tetap diam. Bagi pemuda itu berbicara atau tidak dia yakin bakal dibunuh, maka dia tetap memilih diam.

“Baiklah, berarti kau sudah siap mati!”, kata lelaki paruh baya itu sambil tangan kanannya mengeluarkan golok ciamis dari sarungnya dengan posisi tangan kiri tetap mendongkkan kepala pemuda itu. Di dekatkannya golok yang tampak sangat tajam mendekati leher pemuda itu dan pemuda itu hanya pasrah dengan memejamkan matanya. Banyak dari orang yang berkerumun itu memalingkan pandangan dari pusat perhatian itu. Terutama kaum ibu, rupanya tak sanggup jika menyaksikan langsung kejadian nyata pemotongan leher makhluk Allah yang paling sempurna yaitu manusia.

“Jangan ayah!”, kata dua anak perempuan cantik serempak dengan perut buncit yang tiba-tiba keluar menyeruak di antara kerumunan dari dua arah yang berbeda. Lelaki paruh baya yang dipanggil ayah segera mengalihkan pandangan pada salah satu sumber suara itu. Tetapi tiba-tiba lelaki itu didorong secara mendadak oleh salah satu anak perempuan yang lain, karena tidak siap lelaki paruh baya itu terjatuh. Segera dua anak perempuan itu mendekati pemuda yang terikat di batang pohon.

“Jangan ada yang mendekat, kalau ada yang berani mendekat saya akan menusukkan pisau ini ke jantungku dan saudarakupun akan melakukan hal yang sama!”, hardik salah satu dari anak perempuan itu sambil mengarahkan ujung pisau tajam ke dadanya. Sedangkan anak perempuan yang satunya lagi dengan susah payah membuka ikatan tali yang membelenggu pemuda itu. Orang-orangpun tak ada yang berani mendekat termasuk lelaki paruh baya yang dipanggil ayah.

“Dengarkan! Ini bukan kesalahan Mas Bambang semata. Mas Bambang melakukan hal ini pada saya karena saya jebak. Mas Bambang tidak tahu jika kencan yang dia jalani selama ini sebenarnya terhadap dua orang yang berbeda. Karena kami serba kembar, wajahnya, suaranya, bajunya, perangainya, seleranya, hasratnya, bahkan aroma keringatnyapun sama. Saya rela hamil dengan Mas Bambang karena saya tak rela jika Mas Bambang lebih memilih saudara kembarku, Anjali”, demikian kata Anjani memberikan penjelasan dan pengakuan.

“Betul yang dikatakan saudara kembarku, Anjani. Sayapun punya pikiran yang sama untuk menjebak Mas Bambang agar tidak memilih Anjani. Tapi akibatnya kami berdua sama-sama hamil. Karena ini kesalahan kami, kami rela pergi meninggalkan desa ini. Biarlah derita ini kami tanggung sendiri”, kata Anjali setelah selesai melepas belenggu pada pemuda yang disebut dengan nama Mas Bambang itu. Kemudian mereka berdua mengapit pemuda itu berjalan sambil menyuruh orang-orang minggir untuk jalan mereka bertiga dengan salah satu tangan kedua anak perempuan itu tetap mengarahkan pisau tajam ke dadanya, sedangkan tangan yang lain membimbing pemuda yang ditolongnya. Tak seorangpun berani mendekat, mereka bertiga terus melangkah hingga jarak belasan meter sampai mungkin sekitar lima puluh meter dari semula. Lelaki paruh baya ala pendekar Betawipun berdiri tertegun, bengong, tetapi matanya tetap mengarah pada dua anak perempuannya yang entah akan pergi ke mana membawa pemuda yang dicintainya.

“Duaar…!”, tiba-tiba suara petir menggelegar sangat dahsyat setelah kilat menyambar. Orang-orang yang tadinya diam sambil tetap matanya mengarah pada tiga orang yang makin jauh itu berlarian mencari tempat untuk berteduh karena hujan langsung turun dengan derasnya. Petirpun susul menyusul dengan suara yang sangat menakutkan. Rasanya baru kali ini bunyi petir begitu menakutkan jika dibanding petir yang sudah-sudah. Mungkinkah alam murka karena kelakuan dua anak kembar itu? Atau memang langit yang dari tadi nampak hitam kelam menyimpan petir? Wallahu a`lam.

Tak begitu lama hujan reda, petir pun tak bunyi lagi, langit tampak sedikit cerah. Tiba-tiba laki-laki ala pendekar Betawi itu berlari menuju tiga orang yang terkapar di tanah. Larinya lelaki itu diikuti oleh penduduk yang tadinya mencari tempat berteduh. Ternyata tiga orang yang terkapar itu adalah Anjani, Anjali, dan Bambang. Mereka bertiga sudah tak bernyawa lagi, tubuhnya gosong, tapi wajahnya masih bisa dikenali. Rupanya mereka tersamabar petir saat bunyi petir paling dahsyat bagaikan letusan gunung Slamet. Penduduk segera menolongnya untuk dimakamkan.

Hari menjelang maghrib, laki-laki ala pendekar Betawi itu masih tetap jongkok menghadap makam kedua puterinya, meskipun penduduk sudah banyak yang pulang. Dia berbicara sendiri dalam hatinya.

“Ternyata Allah masih sayang kepadaku. Seandainya tadi saya sampai memenggal leher si Bambang, masalah tidak akan selesai. Bahkan akan muncul masalah yang lebih berat lagi. Saya akan masuk penjara karena membunuh, kedua anak perempuanku tetap hamil dengan tak bersuami. Siapa yang akan menafkahi mereka beserta kedua anaknya? Biarlah Allah yang memberi hukuman kepada mereka karena Allah adalah hakim yang seadil-adilnya. Saya hanya berdoa semoga ada amal baik dari mereka yang dapat meringankan azab mereka”, demikian batin lelaki paruh baya itu bicara. Dia tak dapat membayangkan betapa besar dosa yang ditanggung jika puteri kembarnya hidup satu rumah dengan satu suami, apalagi tanpa menikah, dengan menikah pun tetap haram, seperti yang sudah difirmankan dalam surat An-Nisa` ayat 23 yang artinya “dan diharamkan mengumpulkan(dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara”. Hatinya tetap bersyukur terhindar dari perbuatan membunuh berkat pengakuan darkem alias dara kembar, juga dapat menguak hikmah dari kematian puteri kembarnya yang tersambar petir.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post