Abdul Rahman, S.Ag

Abdul Rahman , lahir di Pulau Terap , Kampat Riau Indonesia . Lahir pada hari Jumat , 22 Des 1972. Masuk SD 1980, MTsN 1986, MAN 1989, dan masuk IAIN Susq...

Selengkapnya
Navigasi Web

ANDAI AKU SEORANG PENULIS

Sejak kecil aku sudah membayangkan bahwa aku akan menulis semua apa yang yan aku dengar, apa yang aku lihat dan apa yang aku rasakan. Ketika itu aku masih kelas lima SD. Semua yang aku alami rasanya masih bisa ku ingat satu persatu, lalu aku berfikir, apakah semua itu akan aku tuliskan.

Masa kecilku selalu berpindah rumah walaupun masih di desa yang sama. Masih segar dingatanku waktu itu umurku enam tahun. Aku tinggal di sebuah rumah yang bolehlah dikatakan gubuk. Letaknya di tep hutan di tengah – tengah kebun rambutan. Di sana aku tinggal bersama ayahku, ibu ku. Pada suatu ketika ayahku mengajakku ke dalam hutan, ayahku mendayung sepeda tua dan aku dengan riang duduk di belakangnya. Rasanya ada 6 KM jarak yang kami tempuh, sesampainya kami di lokasi yang di tuju, ternyata di tengah hutan belantara itu merupakan hutan yang sudah ditebangi, dibakar dan siap untuk ditanami padi .

Di sana kami menamakan baladang kasang, di mana tanaman padi itu tidak diairi, tetapi langsung di semai dengan jarak empat jengkatku semuai dengan usiaku waktu itu. Aaku waktu itu tidak begitu mengerti mengapa di tengah hutan itu ada semacam keramaian, di mana ada puluhan orang yang sudah siap dengan tugalnya yang akan membantu ayahku menyemai benih padi tersebut. Mereka semua membawa bekal yang cukup, mulai dari air minum, goereng pisang, rebus ubi, nasi lomak alias ketan pulut, bubur kacang hijau dan rasanya terlalu banyak makanan saat itu.

Orang yang bergotong royong di sana masih merupakan keluarga kekerabatanku yang dekat seperti adik laki lai ayahku bersama keluarga, adik perempuan ayahku bersama keluarganya, sepupu ayahku bersama keluarganya, kakak ibuku bersama keluarganya dan tetangga dekat bibiku yang waktu itu rasanya diupahkan itu ikut bekerja seharian menyemai benih padi di ladang kasang tersebut. Ada candaan yang masih kuingat, seorang ibu berkata, kepada adek perempuan ayahku, “hai kak , paje ko tengoklah ha ancak puangainyo, rajin ughangnyo, nyo codiok condo sakolaa , lai can jadi mantu suok tu ma”. Arti perkataannya itu maksudnya wahai kakak, itu, ltu lihatlah, kak, anak ini baik peragainya, rajin orangnya, sepertinya dia pintar mudah – mudahan bisa menjadi menantumu kelak.”

Waktu itu aku tak pterlalu mendengarkan perkataan itu, memang di kampung kami banyak orang menikah dengan sepupunya, baik anak dari adek prempuan ayahnya ataupun anak dari saudara laki – laki ibunya. Setelah lelah bekerja, kami mandi keringat, waktu itu kami tak pernah memikirkan harus memakai rexona, kami hidup apa adanya, rasanya jauh dari kepura – puraan. Barang kali orang kampung lebih lugu, polos dan jujur ketimbang orang kota yang selalu tampak kaya walaupun tak punya uang, selalu bersolek walaupun banyak hutang.

Kamipun istirahat di bawah pohon di tepi ladang kasang tersebut. Nikmat rasanya, sarapan bersama yang dalam bahasa Bangkinangnya “ makan lope kobau “, mungkin pada jam itulah biasanya kerbau itu dilepaskan dari kandangnya dibebaskan makan sepuasnya di alam bebas untuk menyantap rumput tebal nan hiajau. Kira – kira pukul 09.00 lah begitu. Orang kota biasa berkata “Break “.Kami pun melanjutkan tugas kami setelah rehat melepas lelah menyambung pekerjaan yang tertinggal sampai datangnya waktu Zhuhur dan makan bersama dengan istilah Bangkinang “ Bakela “ makan bersama.Masih bisa ku ingat, setelah selesai urusan di ladang kami kembali ke rumah masing – masing.

Hari itu tepatnya hari Minggu , Orang Bangkinang mengatakan” aghi ahek”. Di gunakan hari Minggu karena pergi bergotong royong baladang kasang ini melibatkan anak – anak untuk mengisi lubang yang telah dihentakkan tugal ke tanah dengan jarak dua jengkal orang dewasa. Bagi kami anak anak waktu itu kegiatan memasukkan sekitar 3-5 benih padi ke dalam lubang itu serasa sedang bermain congklak.

Pada hari Minggu berikutnya saya di ajak lagi oleh ayah saya, tetapi ternyata tidak ke tempat yang lalu, rupanya pergi menugal di tempat adek prempuan ayah saya.Itulah kegiatan rutin yang terjadi pada masyarakat Kuok – Bangkinang kabupaten Kampar di Riau “Kegiatan menugal di hari libur.”Mungkin anak – anak itu terlalu berani dan tak pernah memikirkan resiko. Itulah yang aku lakukan dalam usia lima tahun tersebut. Ketika padi sudah mulai berisi banyak hama yang akan datang menghampirinya diantaranya pianggang yang selalu membuat padi hampa, babi yang selalu menginjak – injak padi di tengah hutan tersebut. Sehingga tidak cukup hanya semangat menyemai tetapi perlu di rawat, di jaga dari berbagai ancaman yang datang. Ayahku melanjutkan rutinitasnya, pagi hari hingga menjelang siang menyadap karet, dan siangnya, sore bakan sampai malam menjaga padi di aladang kasang di tengah hutan.

Walaupun sudah dibuat orang –orangan di ladang kasang untuk mengecoh mata burung dan babi hutan, kaleng yang berisi paku yang disambung – sambung dengan tali dari pojok Barati ladang ke pojok Timur ladang, dari pojok Utara ke pojok Selatan. Waktu datang angin menimbulkan bunyi yang membuat burung yang semula ingin hinggap menjadi galau dan pergi. Sungguhpun demikian jika ingin hasil panennya maksimal harus dijaga dengan sungguh – sungguh. Masa kecilku yang akrap dengan hutan, sekitar pukul 10.00 WIB , aku berjalan sendirian dari rumahku yang berada di tepi hutan.

Memang aku tak punya tetangga, satu –satunya rumah kami yang ada di sana banyak orang pulang berladang, pulang menyadap karet atau pulang mencari kayu bakar bahkan ada yang pulang berburu selalu singgah di rumah kami sekedar mau istirahat dan minta air putih. Aku berani melangkah berjalan sendiri ke tengah hutan belantara, tanpa memikirkan rasa takut , khuatir cemas. Ketika sampai di dalam hutan menjelang sampai ke ladang kasang ayahku, aku mendengar bunyi suara harimau mengaum, aku melihat babi melintas di depanku. Tetapi aku belajar dari orang tua agar kalau kita merasa sunyi, berbunyilah “ uuuh, aku berkata di tengah hutan itu, “ uuh” ada suara orang yang sedang menyadap karet di hutan itu dengan bunyi “ uuh “ dalam pikiranku, aku tidak sendiri, kan ada orang walaupun tidak kelihatan.

Dan lebih mendebarkan lagi seekor harimau lewat di depanku. Aku teringat ketika aku pergi kehutan bersama ayahku, ketika melihat harimau lewat atau harimau mengaum ayahku berkata, “ jauhlah dari sini nanti bisa menakut- nakut orang lain. Akupun melakukan hal yang sama dengan berkata, “pergilah, jangan ganggu aku.” Hariamau itu yang semula seolah menghalangi langkahku pergi menghilang di tengah hutan.

Bersambung.....

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

tulisannya renyah, lancar, dan enak dibaca. Mangtabs

07 Apr
Balas

Terima kasih pak, insya alaah sy lanjutkan tulisannya

08 Apr
Balas

Bagus, cara penyampaiannya hingga membuatku seperti melayang pada waktu usiaku sd......

06 Apr
Balas

terima kasih suppornya moga jadi bukunya

06 Apr



search

New Post