Abdurrauf Shaleng

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Peralihan SPG ke SMA, Guru-Guruan Sebelum Jadi Guru (Menyongsong HGN2020, bagian-5)
Dok.Pribadi: Saat memberi kata-kata perpisahan pada Penammatan SPG 1991, di Lantai 3 Wahyu, Pusper Soppeng

Peralihan SPG ke SMA, Guru-Guruan Sebelum Jadi Guru (Menyongsong HGN2020, bagian-5)

Anda berprofesi Guru? Apakah Anda pernah mengenyam pendidikan keguruan setingkat SLTA, katakanlah Sekolah Pendidikan Guru (SPG)? Kalau Anda alumni SPG, saya ingin berkata bahwa ‘didaktik metodik’ Anda kemungkinan besar pada kategori diatas memadai. Maaf, tulisan ini bukan berarti menutup mata terhadap kemampuan didaktik metodik Anda yang bukan alumni SPG, samasekali bukan seperti itu.

Tulisan ini hanya ingin mengkilasbalik pengalaman pribadi, sebagai alumni SPG. Bahwa ‘doeloe’ pelajar SPG lebih awal dipatron untuk menjadi ‘guru-guruan sebelum jadi guru beneran’. Pelajar SPG lebih duluan dikenalkan teori-teori belajar dan ilmu jiwa (psikologi). Pelajar SPG lebih awal diajari manajemen keguruan dan administrasi kelas. Pelajar SPG lebih awal dibimbing cara merancang dan membuat perangkat pembelajaran sebelum mengajar. Pelajar SPG lebih awal dicekoki materi, metode dan penilaian (MMP) semua mata pelajaran. Pelajar SPG lebih awal menjalani ujian praktek mengajar sebelum diberikan selembar ijazah. Jadi ponco’na bacae (baca; pendek kata) pelajar SPG lebih duluan diisi kepalanya tentang apa, mengapa, dan bagaimana proses belajar mengajar, teori-teori kependidikan dan perkembangan manusia.

Masih tersimpan di memori kepala bahwa saat beranjak ke kelas dua, ada materi pelajaran ‘Observasi Pembelajaran”. Maka saat itu para siswa SPG dipencar ke sekolah-sekolah terdekat untuk melakukan obsevasi pembelajaran. Tujuannya bukan langsung mengajar anak-anak, tapi mengenalkan bagaimana guru mengajar. Jadi kami hanya duduk-duduk dalam kelas memasang mata dan telinga, melihat, mendengar, mengamati dan mencatat bagaimana ‘guru beneran’ memulai dan mengakhiri pelajaran. Pengalaman observasi inilah yang dibawa pulang ke sekolah sebagai bahan untuk dikaji dan dibuatkan laporan.

Membuat perangkat pembelajaran beserta alat peraganya sampai pelaksanaan ‘simulasi mengajar’ di depan kelas adalah ‘makanan hari-harinya’ pelajar SPG. Tak sedikit kejadian lucu menggelitik saat mendapat tugas ini. Berperan sebagai guru yang mengajar di depan kelas dan teman sekelas sebagai siswanya. Perasaan grogi campur malu-malu kucing menyatu saat pertama tampil sebagai ‘guru-guruan’. Tapi lambat laun kegiatan ini menjadi hal biasa seiring pembiasaan mengajar sering dilakukan. Mengajar di depan teman sekelas, kemudian sesudahnya didiskusikan, dikeritik oleh teman sekelas tentang cara mengajar kita adalah hal lumrah bagi anak SPG. Kesemua itu mengkristal pada pribadi anak SPG hingga terbawa ke dunia nyata menjadi ‘guru beneran’.

Persyaratan akademik yang tak kalah serunya saat di awal kelas tiga. Yakni tugas ke sekolah-sekolah untuk melaksanakan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL). Kegiatan ini dilakoni selama tiga bulan bertindak sebagai guru-guruan di depan peserta didik. Wali kelas (guru beneran) tempat PPL adalah sebagai guru pamong, yang sering juga memberi masukan kepada siswa PPL. Mendapat predikat sebagai ‘Guru Praktek’ memberikan sensasi luar biasa yang hanya dirasakan oleh guru praktek tersebut. Bercengkerama dengan peserta didik dalam PBM dan ekstrakurikuler adalah hal yang menyenangkan.

Sebelum menyelesaikan pendidikan di SPG, para siswa harus melalui ujian praktek mengajar. Ujiannya tak tanggung-tanggung, harus menempati ruang khusus. Seingat saya ada namanya ‘Ruang Off Theme’. Yakni ruangan berbentuk kotak dibagi tiga bagian, dengan sekat berupa kaca hitam full sebelah menyebelah. Yang boleh masuk pada rungan off theme adalah siswa yang akan ujian praktek dengan didampingi oleh guru pembina selaku penilai. Sementara kedua ruang yang mengapit disebelahnya, adalah ruang untuk semua siswa atau teman sekelas menyaksikan kita sedang simulasi mengajar. Dalam ruang off theme simulator dapat melihat temannya di luar, sementara penontonnya tidak dapat melihat simulator.

Siswa SPG yang satu letting dengan saya dilabel sebagai ‘SPG Faccappureng’ (baca; SPG terakhir). Karena pada 1989, keluar Edaran Menteri P & K tentang penutupan SPG di seluruh Indonesia. Alumni SPG dipandang kurang layak mengajar sebelum melalui perkuliahan diploma pada Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di IKIP. Ini artinya mulai dari tahun masuk (1988) hingga selesainya pendidikan kami di SPGN 109 Watansoppeng (1991), tidak ada lagi penerimaan siswa baru. Beberapa SPG dialihkan menjadi SMA, dan sebagiannya menjadi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Oleh Prof. Dr. Hasan Walinono (Dirjen Dikdasmen) saat itu menghendaki agar SPG 109 Watansoppeng dialihkan menjadi salah satu LPTK di Sulawesi Selatan. Entah apa penyebabnya sehingga rencana tersebut gagal di tengah jalan. Di Sulawesi Selatan hanya ada tiga SPG yang berhasil dialihfungsikan menjadi LPTK yakni SPG Parepare, SPG Bone dan SPGN 1 Ujungpandang. SPG itu menjadi naungan dan bagian dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Ujungpandang (UNM sekarang).

Pasca selesainya pendidikan kami di SPG pada 1991, maka SPGN 109 Watansoppeng resmi ditutup dan beralih status menjadi SMA. Dua lokasi gedung di alamat yang berbeda dialihfungsikan. Gedung tua (SPG lama) di Jalan Merdeka Lapajung, menjadi tempat Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) dan sekarang beralih lagi menjadi bagian dari SMKN 1 Watansoppeng. Sementara gedung baru (SPG baru) di Jalan Malaka Raya dialihkan menjadi SMAN 3 Watansoppeng (sekarang SMAN 8 Soppeng).

Andaikan saat itu kami-kami alumni SPG bisa besuara, mungkin kami suarakan “Jangan tutup sekolah kami, karena marwah pendidikan di kabupaten ini banyak terlahir dari sini. Kalaupun ‘chasingnya’ Anda mau ubah okelah, tapi nuangsa keguruan jangan sama sekali sirna didalamnya. Chasing SPG boleh saja tak dipakai tapi SPG bisa saja bermetamorfosis menjadi SMK Keguruan. Kalaupun alumninya dianggap ndak level dengan jaman kekinian, alangkah bijaknya regulasi menyetop pengangkatan guru berbekal selembar ijazah SPG. Alumninya diarahkan untuk lanjut menyelesaikan perkuliahan sarjana keguruan. Bukankah SPG yang bermetamorfosis menjadi SMK keguruan membuka peluang lebih awal bagi siswa siswi SMP yang terpanggil nuraninya menjadi guru? Bukankah dengan melakoni gemblengan ‘didaktik metodik’ lebih awal di jenjang SLTA, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi keguruan, akan menghasilkan “guru yang lebih mumpuni”? SPG Bisatonji...he he he...Wallahu a’lam bisshawab…Bersambung..EWAKO

-------------------------------

# Soppeng, 24 November 2020

# Salamaki Tapada Salama

# Tantangan Menulis 365 hari

# Tagur Hari ke-247

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terima kasih pencerahannya, Pak. Salam literasi

24 Nov
Balas

Trims pak..Slm literasi

24 Nov

Mantap dan keren tulisannya pak. Mencerahkan dan inspiratif. Semangat ki terus berkarya untuk berjaya. Salam literaai tiada yang.

24 Nov
Balas

Trims pak Ali..slm literasi tiada ujung ewako

24 Nov

Benar Bapak. SOG dan PGA telah dibekali dg didakti metodik. Juga ada PL ngajarnya juga. Sayadulu itu PL di MIN(Madrasah Ibtidaiyah Neger). Keren salam Literasi

24 Nov
Balas

Thanks bu Hasna...slm literasi..ewako

24 Nov

Keren Pakwas. Saya suka tulisan-tulisan ta'. Semangat berkarya pak...

25 Nov
Balas

Keren Pakwas. Saya suka tulisan-tulisan ta'. Semangat berkarya pak...

25 Nov
Balas



search

New Post