Suherman, C.DAI., M.A., M.Pd

Riwayat Pendidikan : S.1 Fakultas Dirosat Islamiyyah UIN Syarief Hidayatullah Jakarta S.2 Dirosat Islamiyyah SPS UIN Syarief Hidayatullah Jakarta S.2 Pendidi...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kelemahan kualitas pendidikan yang berfokus pada hafalan
Sesungguhnya yang sangat mempesona dari kehidupan para ulama kita terdahulu bukanlah kekuatan hafalan mereka, melainkan kemampuan mereka dalam menerjemahkan ilmu dalam kehidupan mereka sehari-hari sehingga ilmu itu tidak hanya terlihat dari apa yang mereka ‘katakan’ tapi dari apa yang mereka ‘lakukan’

Kelemahan kualitas pendidikan yang berfokus pada hafalan

Banyak orang menganggap bahwa alim itu adalah orang yang paham masalah agama. Sebagian lagi bahkan menganggap bahwa alim itu adalah orang yang banyak hafal ayat, hadis dan matan. Semakin banyak hadis yang dihafalnya berarti keilmuannya semakin diakui walau terkadang pemahamannya terhadap hadis itu cenderung leterlek.

Ibnu Khaldun rahimahullah menegaskan bahwa hakikat dari ilmu itu bukan sekedar pemahaman, apalagi hanya hafalan, melainkan apa yang disebut dengan malakah (ملكة). Malakah adalah potensi yang dimiliki oleh seseorang sehingga ilmu sudah menjadi bagian dari dirinya. Seolah ilmu itu sudah menjadi naluri baru dalam dirinya. Dari sinilah lahi berbagai kreativitas, ide dan pemikiran yang fresh, yang boleh jadi tidak ‘terterima’ oleh mereka yang baru menginjak tangga pertama keilmuan dan masih ‘terpasung’ dengan berbagai istilah dan kaidah-kaidah.

Ibarat seorang yang baru belajar nyetir. Awalnya tentu ia sangat kaku. Ia akan lakukan semua teori mengemudi yang diajarkan sang pelatih. Tapi setelah menguasai teori-teori itu, yang tentu saja diperlukan sebagai sebuah tahapan untuk bisa, ia mulai ‘membebaskan’ diri dari teori-teori baku itu. Bukan ia meremehkannya, tapi karena ia sudah sampai ke tahap yang lebih tinggi. Di tahap ini, menyetir sudah menjadi skill baginya. Ia akan lebih banyak menggunakan feeling daripada teori-teori yang pernah dipelajarinya.

Bagaimana cara mendapatkan malakah itu? Ibnu Khaldun mengatakan :

وأيسر طرق هذه الملكة فتق اللّسان بالمحاورة والمناظرة في المسائل العلميّة

“Cara yang paling tepat untuk menumbuhkan malakah ini adalah dengan membiasakan lidah berdiskusi dan berdialog dalam masalah-masalah ilmiah.”

Karena itu, Ibnu Khaldun dan banyak tokoh pendidikan Islam lainnya, mengingatkan para pendidik untuk tidak berfokus kepada hafalan semata, termasuk yang berkaitan dengan al-Quran. Menghafal al-Quran tentu sangat mulia dan penting, apalagi di usia dini. Namun, mencukupkan dengan hafalan saja, justeru akan memberikan dampak yang negatif terhadap objek didik.

فتجد طالب العلم منهم بعد ذهاب الكثير من أعمارهم في ملازمة المجالس العلميّة سكوتا لا ينطقون ولا يفاوضون وعنايتهم بالحفظ أكثر من الحاجة فلا يحصلون على طائل من ملكة التّصرّف في العلم والتّعليم

“Engkau lihat seorang penuntut ilmu yang menghabiskan waktu di dalam majelis ilmu dengan diam saja, setelah usianya beranjak dewasa, tidak bisa bicara dan berdiskusi. Hal itu karena perhatian mereka kepada hafalan lebih besar, bahkan lebih dari yang dibutuhkan, sehingga mereka tidak memperoleh sama sekali malakah dalam keilmuan dan pengajaran.”

Seorang pakar pendidikan Mesir ; Syekh Abdul Aziz Jawisy Bek menulis :

يجب على المعلم أن يتجنب ما استطاع طرق الخطابة مع الأطفال خصوصا حديثي السن منهم فلا يستمر يتلو على التلامذة القواعد أو المسائل من غير مشاركة بل يجب أن يناقشهم ويسائلهم حتى يوجد فيهم ملكة التأمل والتفكر والقدرة على الاستنتاج ، وبالجملة إن الغرض هو تربية وتنمية الحركة الفكرية فى نفوس الناشئة حتى تصير ملكة لهم (غنية المؤدبين ص 50).

“Seorang guru sebisa mungkin mesti menghindari cara ‘ceramah’ pada anak-anak, terutama yang berusia dini. Mereka tidak boleh hanya dicekoki dengan kaidah-kaidah atau masalah-masalah tanpa ada keikutsertaan dari mereka. Yang semestinya dilakukan adalah mereka mesti diajak dialog, diskusi dan ditanya, agar malakah (kompetensi) mereka dalam berpikir, menganalisa dan menyimpulkan sesuatu bisa tumbuh berkembang. Pada intinya, tujuan dari pendidikan adalah menumbuhkembangkan potensi berpikir yang dinamis dalam diri anak-anak agar kelak hal itu menjadi sesuatu yang melekat dalam diri mereka.”

Ia juga menambahkan :

وينبغي أن يكون السؤال مما يجاب عنه بعبارات من لدن التلامذة لا من عبارات الكتب حذرا من حمل التلامذة على الحفظ عن ظهر قلب

“Semestinya pertanyaan yang diajukan guru kepada murid adalah pertanyaan-pertanyaan yang bisa dijawab oleh murid dari analisa dan pemikiran mereka sendiri, bukan menukil dari buku, karena hal itu hanya akan memaksa mereka untuk menghafal buku di luar kepala.”

Secara lebih tegas dan gamblang, Syekh Abdul Aziz menulis :

وإنما حذرنا هنا من حمل التلامذة على حفظ عبارات الكتب لأنهم يحفظونها بلا تعقل

“Kenapa kita mewanti-wanti guru memaksa murid menghafal isi buku? Karena mereka akan menghafalnya tanpa dipahami.”

Sesungguhnya yang sangat mempesona dari kehidupan para ulama kita terdahulu bukanlah kekuatan hafalan mereka, melainkan kemampuan mereka dalam menerjemahkan ilmu dalam kehidupan mereka sehari-hari sehingga ilmu itu tidak hanya terlihat dari apa yang mereka ‘katakan’ tapi dari apa yang mereka ‘lakukan’.

Yang kita idamkan saat ini bukan lahirnya para penghafal, atau bahkan para pemaham, melainkan para ulama sejati yang ilmunya sudah menjadi malakah dan amalan dalam keseharian.

Suatu ketika Ibrahim bin Adham rahimahullah pergi haji. Di Arafah, para hujjaj memanjatkan doa dengan penuh khusyuk. Mereka melantunkan doa-doa yang ma`tsur ; diambil dari ayat-ayat al-Quran dan Hadis.

Di samping Ibrahim bin Adham ada seorang a’jamiy (non-Arab) yang tertunduk sedih dan tidak berdoa. Ibrahim bin Adham, yang juga seorang a’jamiy dan paham bahasa orang ini, bertanya: “Saudaraku, kenapa engkau tidak ikut berdoa seperti para hujjaj lainnya?”

Ia menjawab, “Saya tidak bisa berdoa seperti mereka. Saya tidak hafal doa-doa dari al-Quran atau pun hadits. Saya juga tidak bisa berbahasa Arab.”

Ibrahim berkata, “Tidak apa-apa. Berdoalah dengan bahasa yang engkau bisa dan tundukkan hatimu pada Dzat Yang Maha segala-galanya.”

Setelah itu, orang a’jamiy ini pun berdoa. Beberapa saat kemudian, Ibrahim bin Adham tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat malaikat turun dari langit. Malaikat itu berkata: “Allah Swt menerima doa hujjaj tahun ini untuk memuliakan orang a’jamiy ini yang jujur dalam doanya.”

Jangan biasakan menerima sesuatu yang tidak Anda pahami, kecuali yang terkait dengan hal-hal ghaib yang memang berada di luar wilayah akal.

Jangan biasakan mengajarkan sesuatu kalau tidak bisa memahamkan. Karena sesuatu yang tidak dipahami akan memandulkan potensi akal yang telah dikaruniakan Sang Pencipta.

Biasanya, orang yang gagal memahamkan itu karena ia sendiri sesungguhnya juga belum paham.

اللهم ارزقنا العلم والتعليم والفهم والتفهيم

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen ulasannya, Pak. Salam literasi

24 Nov
Balas

Subhanalloh super duper dan komplit Ust. Mantul Alim.

24 Nov
Balas



search

New Post