Achmad Junaidi

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
“JUAL-BELI”  BIJAKAN DAN JABATAN  (MENYONGSONG FAJAR DI NEGERI KABUT)

“JUAL-BELI” BIJAKAN DAN JABATAN (MENYONGSONG FAJAR DI NEGERI KABUT)

“JUAL-BELI” BIJAKAN DAN JABATAN

(MENYONGSONG FAJAR DI NEGERI KABUT)

Oleh: Achmad Junaidi Alfaruqi Almadury

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap jabatan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 7148)

“Lihat sejarah kita, gamblang sekali Republik ini didirikan oleh orang-orang berintegritas. Integritas membuat mereka menjadi pemberani dan tidak gentar terhadap apapun. Bukan pencitraan, tetapi integritas dan keseharian yang apa adanya membuat mereka memesona. Mereka jadi cerita teladan di antero negeri. Kini Republik membutuhkan pemimpin yang berani tegakkan integritas, berani perangi “jual-beli” bijakan dan jabatan. Pemimpin yang mau bertindak tegas melihat APBN untuk rakyat “dijarah” oleh mereka yang punya akses. Pemimpin yang bernyali menebas penyelewengan tanpa pandang posisi atau partai dan bukan pemimpin yang serba mendiamkan seakan tidak pernah terjadi apa-apa

(ANIES: Tentang Anak Muda, Impian, dan Indonesia)”

Mengenaskan!, mengecewakan!, inilah ungkapan yang terungkap dari lubuk hati yang terdalam menyaksikan negeri yang tengah berkabut, negeri yang berselimut kabut ketidakberdayaan menumpas ketimpangan dan penyimpangan yang telah menjadi tabu dan seakan telah menjadi definisi jika mau menjabat “wani piro”. Terkontaminasi, “Wani piro” menjadi paradigma rakyat, harga diri tergadaikan, karena rakyat diming-iming dengan berbagai propaganda (janji-janji, sembako murah. Dll) oleh mereka yang manjadi calon peminpin. Bisa jadi, calon peminpin membeli rakyat untuk suatu kedudukan empuk (sebagai eksekutif, legeslatif) mulai dari perangkat terbawah hingga terhormat. Jika tidak bermodal, rakyatpun berbalik punggung enggan menyapa apalagi kehadirannya di jalan-jalan yang terpampang anggun dan tampan enggan dipandang karena bagi sebagian rakyat “kamu berani berapa”. Tak ada “fulus” tak akan “tulus” dicoblos.

Kedudukan dan jabatan telah terlazimkan dengan istilah “kedekatan” dan “perkoncoan” serta “aksesitas-koneksitas” yang cendrung mengabaikan prestasi, dedikasi, dan kerja keras. Job dan jabatan bisa jadi terisi oleh orang-orang yang seolah-olah berkompeten (fatamorgana) namun setelah diduduki maka seakan menjadi terang-benderang kebingungan dan ketidakmampuan. Pejabat “bersujud” keatas sementara “capek deh” ke bawah. Hingar bingar jabatan menjadi ketar-ketir lantaran takut kedudukannya runtuh bagi pejabat yang kritis koneksitas, sementara seakan terbang meluncur ke atas karena aksesitas baru yang menjanjikan.

Jual-beli jabatan adalah salah satu modus korupsi yang lazim dilakukan oleh oknum kepala daerah. Modus lain adalah suap dalam bidang perizinan, menerima komisi (fee) dari proyek pengadaan barang dan jasa, serta suap dalam penerbitan peraturan (Emerson Yuntho (Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption: http://bit.ly/2Hnh3u5).

Masih menurut Emerson, maraknya fenomena “jual-beli” bijakan dan jabatan tidak saja memprihatinkan, tetapi juga berdampak buruk bagi tata kelola pemerintahan. Tata kelola birokrasi bau amis dan tidak jauh dari optimal karena dijalankan oleh mereka yang bukan ahlinya, akibatnya tugas melayani rakyat akhirnya terbengkalai karena birokrasi digunakan untuk melayani atasan (yang berkuasa, sekobesa). Bentuk “jual-beli” bijakan dan jabatan adalah suap atau pemerasan. Suap bisa terjadi atas inisiatif dari calon pejabat atau karena pejabat yang berupaya memeras bawahan untuk kepentingan mempertahankan posisi atau promosi. Semakin strategis suatu jabatan nilai suap bisa mencapai puluhan juta hingga miliaran rupiah. Bahkan, dalam posisi yang strategis praktik jual beli jabatan tak ubahnya seperti "balai lelang". Siapa yang mampu membayar tinggi akan berpeluang menempati posisi tersebut. Semakin besar anggaran yang dikelola oleh pemegang jabatan, semakin tinggi nilai jual posisi tersebut.

Masih segar diingatan kita kasus di kaum “yudikatif “ tidak juga “steril” dari prilaku koruptif yang semestinya menjadi benteng terakhir bagi tegaknya hukum yang berkeadilan dan kesejajaran, dan bahkan kasus terkini dengan ditangkapnya “Romi” dengan dugaan kasus “jual-beli” jabatan seakan menjadi bukti bahwa “negeri ini berkabut” karena sangat kuat tautannya dengan lembaga yang idealnya menjaga moral dan integritas, sehingga menggema suatu teori “jika lembaga penjaga moral saja sudah begitu lantas yang lainnya bagaimana?”. Ku lihat ibu pertiwi sedang bersusah hati. Air matamu berlinang mas intanmu terkenang. Hutan sawah gunung lautan, simpanan kekayaan. Kini ibu sedang susah, merintih dan berdoa.

Sungguh, kita tidak berharap bahwa “hari-hari setelah mereka menjabat yang kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah sekadar mengobral janji kosong dan ucapan dusta yang menipu. Bahkan yang ada, mereka berbuat zalim dan aniaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika belum mendapatkan posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanya kebaikannya. Namun ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya, mereka lantas mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkannya dari jabatan tersebut” tidak akan terjadi di antero negeri. Karena jika demikian tentu benar ungkapan ‘serigala berbulu domba’. Ini sungguh merupakan perbuatan yang memudaratkan diri mereka sendiri dan nasib orang-orang yang dipimpinnya. Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang menginginkan jabatan ini, sehingga Nabi SAW telah menggambarkan kerakusan terhadap jabatan melebihi dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau bersabda:

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ

“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.” (HR. at-Tirmidzi no. 2482, disahihkan asy-Syaikh Muqbil dalam ash-Shahihul Musnad, 2/178)

Nah…! dapatkah kabut di negeri ini sirna? Masihkah ada fajar yang menyongsung, fajar yang pelan tapi pasti kembali menyinari negeri? Penulis berkeyakinan dan sangat optimis bahwa sang fajar hadir itu pasti hadir dengan ikhtiar dan kerja keras. Penulis berkeyakinan kabut negeri itu akan sirna cukup dengan tiga hal (teori), yakni 1) terwudutnya masyarakat (warga bangsa) beriman (berketuhanan yang Maha Esa) dan bertaqwa, 2) ikhtiar revolusi kultur positif, dan 3) hadirnya kepemimpinan kuat dan berintegritas. Penjelasan mengenai kedua teori itu adalah sebagai berikut:

Terwujudnya warga bangsa yang beriman dan bertakwa

Warga bangsa yang beriman adaalah warga yang menyadari harkat dan jati dirinya di hadapan Allah SWT. Warga beriman yang dapat menjalankan nilai-nilai keagamaan mampu menjalankan perintah dan meninggalkan larangannya inilah warga bangsa yang bertakwa. Warga yang beriman dan bertaqwa adalah warga bangsa yang mendapat anugrah dan ridlo Allah SWT. “Jikalau sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami (Allah) akan melimpahkan kepada berkah dari langit dan bumi, (QS: Al ‘Araf:96)”

Ikhtiar revolusi kultur positif

Ikhtiar revalusi kultur adalah gerakan masal membangun dan membentuk budaya dan sistem yang “cek and balance”. Revolusi kultur membentuk sistem dan tatanan yang mampu mengakar bagi seluruh warga dan rakyat dengan sasaran setiap orang dari warga masyarakat menjelma menjadi model (uswah) dan contoh (keteladanan) positif untuk menggerakkan perubahan dari tatanan yang negatif menuju tatanan positif (berintegritas). Revolusi kultur memastikan terbangunnya peradaban yang berkemanusiaan dan berkeadilan sosial yang terbingkai oleh persatuan, senasib-sepenanggungan dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia. Revolusi kultur adalah dari dan untuk seluruh anak bangsa.

Kepemimpinan yang kuat yang berintegritas

Kepemimpinan yang kuat adalah sifat para peminpin yang teruji dan mendapat legitimasi yang mengakar kuat pada orang-orang yang dipimpinnya. “Teruji”mengandung makna bahwa kepemimpinannya lahir dari seleksi ilmiah dan alamiah dengan menggunakan instrumen yang beradap dan mengedapankan kapasitas, kompetensi, dan integritas. “Legitimasi” mengandung makna bahwa kepeminpinan yang mengayomi, melayani, apa adanya (bukan pencintraan), dan mencintai dan dicintai oleh orang-orang yang dipimpinnya.

Kini saatnya, Republik ini membutuhkan pemimpin yang berani tegakkan integritas, berani perangi “jual-beli” bijakan dan jabatan. Pemimpin yang mau bertindak tegas melihat APBN untuk rakyat “dijarah” oleh mereka yang punya akses. Pemimpin yang bernyali menebas penyelewengan tanpa pandang posisi atau partai dan bukan pemimpin yang serba mendiamkan seakan tidak pernah terjadi apa-apa, inilah kepemimpinan Sang Fajar (keluarga hingga presiden) yang sanggup mengepak dan membuka kabut negeri menjadi negeri terang benderang tenteram loh jinawe gemah ripah loh jinawe baldatun thoyyibatun warabbun ghafur. Amin ya Rabbal Alamin.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Itulah kondisi sebagian pejabat2 negara kita, semoga kita Dan pejabat yg lain di tolong Dan di jaga oleh Allah swt. Amin....

20 Mar
Balas



search

New Post