ADRIANUS YUDI ARYANTO

Adrianus Yudi Aryanto, kelahiran 49 tahun yang lalu ...

Selengkapnya
Navigasi Web

SERTIFIKASI : SEBUAH PROSESI ATAU PROFESI?

“PENELITIAN DAMPAK SERTIFIKASI GURU JUARA” demikian sebuah judul berita dalam KILAS berita DAERAH yang dimuat dalam kolom Kompas, Senin, 4 Oktober 2010. Jika dilihat dari kaca mata positif, secara fonetis judul ini dapat dimaknai bahwa : Penelitian terhadap guru-guru yang ikut program Sertifikasi Guru (yang) akhirnya mendapat juara. Namun, secara sisindiran, judul tersebut dapat dimaknai secara negatif : dengan adanya program sertifikasi dari pemerintah terhadap guru berimbas pada terbengkalainya proses mengajar (kewajiban) guru tersebut jelas membawa dampak negatif (sesuai dengan hipotesa yang dibuat oleh kelompok penulis belia dari pelajar SMP Negeri 5 Yogyakarta, yang menjadi peserta lomba “Lomba Penelitian Ilmiah Remaja tingkat nasional bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan”)

Nah, lho….. ada apa nih? Apakah sedemikian parahkah mental para guru pengikut program sertifikasi? Atau apakah sebegitu menggebunyakah motivasi dari guru-guru peserta sertifikasi? Apakah yang membuat dua faktor tersebut muncul?

Wacana yang sudah menjadi rahasia umum adalah dorongan atau motivasi para guru yang ikut dalam program sertifikasi ini adalah tidak lain untuk mengejar honorarium dari program tersebut jika dinyatakan lulus sertifikasi. Honorarium yang katanya dihitung sesuai dengan masa kerja dan golongannya. Wah, ya… memang lumayan! Itu yang ada di benak sebagian guru. Akan tetapi, impian honorarium yang tinggi itu memang harus dibayar dengan harga mahal pula (maaf, kalau ada yang masuk dalam golongan ini) yang kenyataannya berdampak langsung terhadap proses berlangsungnya KBM. Ini merupakan dampak yang membawa petaka atau minimal image ataupun citra terhadap sosok guru secara umum menjadi jelek.

Sejak bergulirnya program sertifikasi dari pemerintah yang semula sebagai pengukur mutu pendidik(an) di Indonesia ‘jauh panggang dari api’ masih jauh dari harapan yang sesungguhnya. Lalu apa yang salah? Jelas maksud baik dari pemerintah dari adanya program sertifikasi ini sungguh mulia (meskipun meng-adop program dari luar negeri/ negara-negara maju). Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan pendidikan (SD-SMP-SMA) menuai beragam persoalan, dimulai dari ‘pengadaan’ sertifikat-sertifikat yang mendadak ‘dapat disulap’ menjadi sebuah kertas yang dilegalitaskan secara instan atau ‘perburuan’ seritifikat atau ijazah dalam forum-forum ilmiah atau seminar-seminar, yang signifikan atau yang asal-asalan (untuk menggantikan istilah ‘sertifikat-sertifikatan’? Memang dari beragam pengadaan atau pengumpulan sertifikat itu bagi beberapa guru sekian persen jujur dalam pemenuhan persyaratannya, dari sisi yang lain justru banyak yang tidak jujurnya alias katebelece alias diada-adakan. Belum lagi dari pihak penilai (asesor) yang terkesan masih ada ‘KKN’ dengan guru-guru yang bersangkutan dalam proses penilaian yang benar-benar jujur.

Sungguh ironis, kan? Dampak dari program sertifikasi ini ternyata tidak saja berdampak pada berkurangnya waktu mengajar di sekolah seperti yang terekam dalam penelitian tersebut.

Melihat kenyataan empiris di atas timbul pertanyaan baru; sertifikasi berorientasi ke mana, ke arah profesional individu guru ataukah sekedar mengejar credit point guru yang bersangkutan?

Dua pertanyaan sederhana yang wajib dijawab dan dimaknai oleh masing-masing individu dan tentunya tidak hanya terpaku pada ranah intelektual semata, namun harus dibuktikan dalam KBM keseharian di lapangan. Justru merupakan sebuah tantangan baru bagi guru apabila dapat menemukan sebuah terobosan atau inovasi pengembangan ilmu yang lebih demi perkembangan ilmu pengetahuan ataupun kemajuan peserta didik di sekolah bukan sebaliknya, guru bahkan tidak berinovasi atau tidak berubah orientasi mengajarnya dari sebelumnya.

Sekedar prosesi ilmu?

Dunia pendidikan dalam era sekarang bertumpu pada orientasi formula CTL (Conseptual Teaching Learning), hal ini berarti selayaknya orientasi tujuan pendidikan diharapkan dapat berubah dari era sebelumnya. Bila orientasi program sertifikasi guru dalam jabatan bisa sejalan dengan formula tersebut, maka harapan bahwa dunia pendidikan akan lebih banyak ditemukan inovasi-inovasi dalam dunia pengajaran.

Yang menjadi persoalan dalam kaitan program sertifikasi ini sangat disayangkan apabila 2 aspek (CTL dan hasil program sertifikasi) ini tidak berjalan atau tidak ditemukan perubahan seperti yang diharapkan. Dengan demikian akan berimbas pada kemandegan yang stagnan, tidak dapat memberikan apa-apa. Dengan kenyataan ini bisa berarti program sertifikasi dapat dikatakan hanya sekedar prosesi (perarakan) sosok guru yang hanya menjadi peran kecil, lurus berjalan ke depan, namun tidak memberikan sumbangan dalam bentuk sesuatu yang baru bagi dunia pendidikan atau pengajaran.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post