A.Faizin

Nama ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Cintaku Terukir di Jam Gadang Bagian#4

Cintaku Terukir di Jam Gadang Bagian#4

Suara istirjak ku memaksa pak tua yang duduk di serambi mushalla, berlari mendatangiku. Tergopoh-gopoh pak tua garin mushalla membungkuk memeriksa urat nadi di lengan dan lehernya, tanpa menghiraukan aku yang jatuh terduduk lemas.

“ Apa yang kau pikirkan !” pak tua membentak keras. Membuatku terperanjat.

“ Panggil ambulan atau apapun untuk membawanya ke rumah sakit ”. lanjutnya serius. Seperti kerbau di cucuk hidungnya, aku berlari kencang ke arah jalan raya, tanpa memikirkan keselamatan diriku sendiri.

Aku berdiri tegak dipinggir jalan sambil melambaikan tanganku. Menghambat setiap mobil yang lewat.

“ Tolong pak, tolong ... ”. Pintaku memelas kepada sopir mobil pick up, yang berhasil kuhentikan.

“ Tolong pak, ada orang meninggal. Tolong bawa ke rumah sakit ” .

“ Penyakit dikasihkan orang ”. Jawab sopir pick up ketus, sambil tancap gas.

Beberapa kali, kuberhasil menghentikan mobil, tapi tidak satupun yang tersentuh hatinya. Begitulah kebanyakan sifat manusia. Tidak ingat bahwa harta hanya titipan, suatu saat akan lenyap tak berbekas.

Aku berpikir keras, tapi tidak ada ide sama sekali.

Aku jatuh terduduk.

“ Ya Allah ..., Ya Rabbi ..., berikan petunjukmu” aku merintih memelas.

Tiba-tiba aku ingat supra X 125 ku. Aku bergegas berlari. Beberapa kali hampir tertabrak mobil.

“ Wooiii, nyebrang hati-hati ” teriak sopir angkot.

“ Bosan hidup kau ! ”, bentak sopir minibus.

Aku tak perduli. Nyawanya lebih berharga dari nyawaku.

Tidak sampai sesrutupan kopi, aku sampai di tempat parkir. Ku sibak mereka yang sedang ngobrol di pinggir jalan.

“ Permisi ... , Minggir ...., numpang lewat !” . Aku tak perdulikan lagi makian mereka. Aku starter “ kuda bututku”, tanpa menghiraukan larangan petugas parkir.

“ Maaaaf..., ” . Teriakku keras, ketika pemuda gembul terjengkang masuk dalam parit karena ulahku.

Aku tak perduli lagi dengan suasana disekitarku. Dalam benakku hanya ada gadis belia yang terkapar di mushalla.

Beberapa kali aku hampir terjatuh ditikungan tajam. Beberapa kali pula rem motorku menjerit keras. Hanya dalam hitungan menit aku sampai ditujuan.

“ Assalamu .... alaikum ”, salam ku terenggah-enggah.

“ Dasar bodoh ”. Bukannya menjawab salam, pak tua malah membentakku.

“ Bagaimana mungkin, membawa gadis ini dengan motor bututmu ”, lanjutnya meradang. Aku tidak lagi memperdulikan ucapannya. Dengan kaki masih bersepatu, aku angkat badan gadis yang masih tergeletak lunglai. Memang tidak sopan su’ul adab . Tapi dalam kondisi darurat seperti ini, pasti Tuhan memaklumiku.

Aku merasakan badannya masih menghangat, semangatku bertambah seratus persen.

“ Cepat pak ! ”

“ Atau bapak akan menyesal” ucapku kelihatan aslinya.

Pak tua segera menyambut tubuh mungil itu dengan hati-hati.

Tanpa berfikir panjang, aku hidupkan motorku dan berusaha secepat mungkin membawa ke rumah sakit. Aku sempat berfikir jelek, tapi aku tak berani membayangkan. Aku geleng-gelengkan kepalaku, untuk mengusir pikirin jelek yang menghantuiku, sambil ku geber motor tuaku.

Tidak sampai sesrutupan kopi, motorku membawaku ke Rumah Sakit Ahmad Muhtar. Aku tidak mempedulikan lagi larangan motor untuk masuk ke halaman UGD.

Kedatanganku disambut dengan emergensi bed, oleh perawat yang terlihat selalu bugar dan sehat.

“ Tolong urus administrasinya”. Teriak perawat, sambil mendorong keras bersama lima kawan lainnya. Aku berlari ke resepsionis.

Deg, hatiku bergetar ketakutan. Ketika aku berpapasan dengan pasien bersimbah darah. Mengerang kesakitan, dalam emergensi bed yang di dorong perawat dengan terburu-buru.

“ Dasar bodoh !”. Ucapku lirih, ketika petugas jaga bertanya nama pasien, alamat rumah, identitas keluarga, dan lain-lain yang tak kumengerti artinya. Tanpa berpikir panjang segera aku membalikkan badan untuk mencari pak tua.

Pada saat yang sama, muncul dibelakangku pak tua yang sedari tadi mengikuti kemana aku berjalan.

Bruk ... . Suara badanku terpental menumbur meja resipsionis.

“ Makanya, jangan terburu-buru nak ?” kata pak tua lembut, sambil membimbingku bangun, dan mendudukkanku di kursi tunggu.

Kepalaku terasa berputar-putar, tapi berusaha untuk tetap tegar.

“ Tidak usah kuatir nak, Insya Allah Tuhan selalu bersama hambanya yang beriman ”, pak tua menasihatku.

“ Sudah ... , kamu tunggu di pintu UGD, biar bapak yang urus administrasinya”, ucap pak tua lembut.

Sampai depan UGD aku disambut senyuman manis perawat yang menyapaku.

“ Ada yang bisa saya bantu pak ? ” ucap perawat santun.

“ Tenang ..., isteri anda sudah dapat penanganan” lanjunya.

Keningku berkerut, sambil menjawab sekenanya.

“ Terima kasih, ibu ?”, mulutku kencong menjawab.

Enak saja, orang umur tujuh belas tahun saja belum cukup, sudah dibilang bapak. Pakai menjodoh-jodohkan lagi. Apakah aku sudah kelihatan tua ?

Kutatap ruang UGD, yang samar-samar kudengar teriakan dokter memberikan aba-aba hitungan. Aku tak tahu apa yang dilakukan dokter didalam. Belajar berhitung kok dirumah sakit.

Aku berjalan gontai menuju ujung ruangan, duduk lemas dilantai, sambil memegang kedua keningku. Muncul pikiran konyolku. Hei, memang kamu itu siapa ? dia itu siapa ? jangankan ada hubungan keluarga, namanya saja kamu tidak tahu. Sudah kejar kesenanganmu. Bodoh dipiara.

Disisi yang lain, muncul nasihat guruku semasa dipesantren. Ketika itu guruku pernah membacakan tafsir dari surat Az-Zumar ayat 42.

“ Allah memegang jiwa ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya, maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”

Guru saya berpendapat “Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan” itu disebut dengan mati suri. Sebagian lagi berpendapat dalam menafsirkan ayat tersebut ketika orang bermimpi di tengah tidurnya, sehingga bermimpi bisa melayang-layang kemana-mana.

Sungguh beruntung aku pernah mengenyak pendidikan pesantren walaupun hanya bisa ngliwet tanpa kerak. Rupanya barokah nyantri bisa muncul kapan saja. Seperti saat ini.

Cess ...,

Hatiku adem, tenteram dibuatnya. Artinya masih bisa bertemu kembali untuk meminta maaf kepadanya.

“ Ya Allah, hilangkanlah penyakitnya, Engkau adalah Dzat yang memberi kesembuhan. Tidak ada yang dapat menyembuhkan kecuali Engkau, dengan kesembuhan yang tanpa ada rasa sakit sama sekali”.

Allahumma Rabban naasi adzhibil ba’sa isyfi wa antasy syafi la syaifa a illa syifauka syifa an la yughadiru saqaman”. Doaku terucap tulus, mengalir dalam kebeningan hati, meluncur dengan ikhlas dengan iringan air mata.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mudah mudahan bisa terikuti cerita selanjutnya . Yg 1 sampai 3 dimana ya?

05 Feb
Balas

diatasnya bun

05 Feb

Nyambung lagi ya, mo.... hehehe ditunggu

05 Feb
Balas

demi kamu, sayang

05 Feb

Masih menanti kelanjutannya romo........sengitnya cerita bersambung kayak gini ni..."Gantung" tertahan di kerongkongan ga bisa ditelan...

05 Feb
Balas

Wasyik

06 Feb
Balas



search

New Post