A.Faizin

Nama ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Cintaku Terukir di Jam Gadang bagian#7

Cintaku Terukir di Jam Gadang bagian#7

Dengan langkah cepat, aku keluar dari ruangan dokter, menuju bangsal UGD. Dalam benakku hanya terpikir, besok pulang. Belum satupun urusan pribadiku selesai kukerjakan. Bagaimana dengan tanggungjawabku? bukankah sampai saat ini aku belum memberi kabar keberadaan ku kepada orang tuaku?

Aku di didik oleh orang tua ku dengan limpahan kasih sayang. Walau jatah uang saku dibatasi ketat. Tapi tidak satupun dari permintaanku ditolak oleh kedua orang tuaku.

Pesan ayahku begitu melekat dalam benakku. Setidak-tidaknya ada dua yang sampai saat ini aku pegang dengan erat. Suatu ketika, sesudah shalat maghrib berjamaah beliau pernah berpesan “Berbuatlah semaumu, asal kamu tidak malu dengan diri dan Tuhanmu”.

Pesan pendek ini membuatku tidak mampu berbuat apapun. Karena pada hakikatnya setiap gerak diri di kehidupan ini selalu dalam pengawasan Tuhan. Tidak sejengkalpu langkah kita yang luput dari pengawasan Rakib-Atid.

Kalua dikaji lebih lanjut pesan pendek tersebut di atas menjadi sebuah ilustrasi Panjang dan akan memenuhi lembaran-lembaran kertas yang tak terbatas. Kendali inilah yang membuatku hati-hati dalam bertindak dan menyampaikan pembicaraan pada orang lain.

Pada kesempatan lain ayahku juga berpesan dalam kondisi yang sama. Setelah shalat Maghrib berjamaah. Kali ini beliau menyampaikan setelah makan malam.

“Nak, banyak yang hendak mengatakan dirinya tinggi dengan cara merendahkan orang lain, banyak yang hendak mengaku dekat dengan Tuhan sambal menjauhkan orang lain dari Tuhan, banyak yang hendak menunjukkan kesalehannya dengan mengatakan orang lain salah” pungkasnya.

“Kehidupan bermasyarakat itu harus saling tepo seliro saling menghargai orang lain. Ketika kita menghargai orang lain, pada hakikatnya kita sudah menghargai diri kita sendiri”. Lanjutnya, sambal memainkan asap rokok.

“Selamat malam, nak”, tiba-tiba seseorang menyapaku dengan hangat. Membuyarkan lamunanku dalam perjalanan menuju ruang UGD.

“Selamat malam juga pak”, jawabku singkat.

“Bagaimana kabar putri bapak” lanjutku memulai pembicaraan.

“Kita duduk disana saja ya, biar enak ngobrolnya. Kebetulan Mutiara sedang tidur pulas”, kata pak tua menunjuk bangku kosong di taman samping rumah sakit.

Aku berjalan dalam diam bersama pak tua, yang mengaku sebagai ayah dari Mutiara. Gadis yang baru kukenal Namanya beberapa menit yang lalu, walaupun aku sudah berbuat lebih dari pengabdian teman kepada sahabat karibnya. Bagaimana tidak seseorang yang belum kukenal Namanya sanggup menggerakkan jiwa untuk mengurbankan waktu dan tenaganya.

“Silahkan duduk, nak”. Kata pak tua membuka pembicaraan sambil mempersilahkan duduk di taman rumah sakit yang Nampak indah terawat.

Aku langsung duduk berhadapan. Ada tanda tanya besar dalam diriku. Apa yang akan disampaikan pak tua ini. Terus terang aku melakukan semuanya ikhlas lilahi ta’ala.

PD amat, jadi orang”, tepisku dalam hati.

“Namamu siapa, nak?” tanya pak tua membuka pertanyaan.

“Abdurrahman Ahmad” Jawabku singkat.

“Alamat” tanya pak tua meneruskan. Seperti polisi menginterogasi pesakitannya.

“Dharmasraya, pak” jawabku tanpa ekspresi.

“Baik nak, saya panggil kamu Rahman ya?” pintanya tanpa menghiraukan persetujuanku.

“Begini nak, aku tahu kamu ikhlas dalam pengabdianmu” pak tua menghela napas sebentar.

“Apakah kamu tahu siapa yang kamu tolong itu?” tanya pak tua, penuh selidik.

“Apa yang kamu minta dari pertolongan yang telah kaamu berikan” kata pak tua menguji.

“Maaf pak, orang tua ku pernah berpesan kepadaku, mungkin ini bisa membantu bapak dalam menggali jawabanku” aku tertunduk malu, oleh satu kekuatan kasih sayang kedua orang tuaku.

Betapa tidak, pak tua ini merasa tertolong olehku dan tidak tahu setiap saat keduanya memberikan limpahan kasing sayang. Diberi makan tiga kali sehari. Diberi uang sekali seminggu. Setiap saat di doakan sehat jiwa dan raga.

Betapa naifnya aku, apabila suatu saat nanti aku berkhianat dan durhaka kepada keduanya. Apa yang tidak diberikan oleh ayah dan ibuku.

“Ayah pernah berpesan kepadaku” aku berkata sendu oleh rasa penyesalan masa lalu dari ulahku pada kedua orang tuaku.

“Allah ujikan derita kepadamu agar sabar, karena dalam sabar ada cinta-nya” nafasku sesak.

“Allah anugerahkan nikmat padamu agar kamu bersyukur, dalam syukur ada kasih sayang-Nya” kutelan ludah untuk menghilangkan rasa bersalah dan kerinduan.

“Allah anugerahkan taat padamu agar dalam taat kamu menyaksikan takdirnya. Allah takdirkan maksiatmu agar taubat”.

“Dalam taubat ada pelukan-Nya” pungkasku dengan suara bergetar.

Pak tua jatuh tersungkur bersujud di rerumputan basah karena embun. Sujud syukur. Terdengar suara lirih tak jelas diselingi isak tangis.

Aku heran, apa yang membuat pak tua sampai begitu terharu dalam sujud.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

09 Feb
Balas

Dewiiii

09 Feb

Keren

09 Feb
Balas

tq mom

09 Feb

Pak tua kaget dan terharu valon mantuku org yg brriman, salut pak tua. Pak tua..ca met Abdurrahman

08 Feb
Balas

ha ha ha mantap nampaknya

08 Feb

Pak tua bangga berhadapan dengan calon mantu soleh...

08 Feb
Balas

nunggu takdir bun

08 Feb



search

New Post