AFIDA SAIDIYAH

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
TRAGEDI SERTIFIKASI  (1)

TRAGEDI SERTIFIKASI (1)

Masih kuingat betul. malam itu,setelah sholat tarawih, aku tadarus. Dering telepon rumah menghentikan lantunan ayat suci Al Quran ku. Kuangkat gagang telepon.

“Assalamualaikum,”

“Waalaikum salam,“

“Apakah benar ini dengan rumah Bu Fida ?”

“Ya Pak,” kupanggil Pak, karena yang terdengar memang suara seorang lelaki yang ternyata kepala sekolahku.

“Saya Pak Darto Bu,”

“Oh ya Pak, ada apa ya ?”

“Ibu besok harus menghadiri sosialisasi peserta sertifikasi di aula STKIP.”

“Apa tidak salah berita ini Pak ?” tanyaku lagi

“Tidak Bu, ini ada nama Ibu di surat panggilan “

“Datang ya Bu, ini penting sekali untuk masa depan Ibu.”

“Insya Allah Pak. Saya usahakan. Trimakasih informasinya”

“Loh, jangan saya usahakan, Ibu harus hadir ! “

Setelah menjawab salam penutup dari Bapak kepala sekolah,aku terdiam dan merenung. Apa ini karunia Allah di bulan penuh berkah ?

Aku tak pernah sekalipun membayangkan. Apalagi bermimpi mengikuti program sertifikasi guru. Memang akhir-akhir ini teman-teman guru di sekolah selalu membicarakan tentang program pemerintah yang baru ini. Sepertinya menggiurkan, dengan tambahan tunjangan yang berlipat-lipat jumlahnya. Tapi saya selalu tidak peduli dan tidak pernah nimbrung dalam percakapan teman-teman.Karena bagiku program itu seperti panggang jauh dari api. Apalah yang dapat saya harapkan. Aku hanyalah guru honorer. Mana mungkin itu terjadi padaku.

Keesokan harinya dengan beribu tanda tanya aku berangkat ke gedung STKIP. Kebetulan di sekolahku yang mendapat undangan hanya aku dan kepala sekolah saja. Kok bisa aku yang mendapat undangan juga ? Aku hanyalah seorang guru honorer. Masih banyak senior-seniorku yang PNS. Mereka lebih pantas dan tepat. Kenapa bukan mereka ? sungguh , aku tak habis pikir.

Saat tiba di gedung STKIP, ruangan hampir penuh. Segera kuisi daftar hadir. Aku segera berjalan menyusuri ruangan utnuk mencari tempat duduk. Hampir seluruh isi gedung ini tidak ada yang kukenal. Bapak Kepala Sekolahku telah mendapat tempat duduk rupanya. Tapi Beliau tidak melihat kehadiranku.

Tiba-tiba namaku dipanggil seseorang. Rupanya Bu Dini teman mengajar di SMP desa sebelah yang sudah kukenal. Beliau telah datang lebih awal. Ditawarkannya tempat duduk yang masih kosong di sampingnya. Akhirnya aku duduk bersebelahan dengan Bu Dini.

Kami saling bercerita kenapa sampai di gedung ini. “Saya juga tidak tau Dik, kenapa saya dipanggil juga.” Kata Bu Dini. “Lebih baik kita tunggu saja , apa yang akan terjadi Bu.” jawabku. Tak beberapa lama acarapun dimulai.

Sampailah pada acara pengarahan oleh Kepala Dinas Pendidikan. Beliau menyampaikan maksud dan tujuan hadirin diundang ke gedung ini. Beliau mengatakan bahwa kami-kami yang diundang ini adalah calon peserta sertifikasi guru angkatan kedua. Peserta saat ini dibagi dalam dua kategori. Yaitu guru PNS dan guru non-PNS. Salah satu diantara calon peserta guru non-PNS itu adalah saya.

Betapa terkejutnya diriku. Mendengar penjelasan Bapak Kepala Dinas Pendidikan, bahwa mulai tahun kedua ini, guru honorer yang telah mengabdi lebih dari sepuluh tahun berhak untuk mengikuti sertifikasi. Ooooh...... itu ternyata alasannya. Berbagai macam rasa campur aduk dalam hati ini. Antara sedih dan gembira. Sedih, karena saya tidak yakin dapat menyelesaikan tugas portofolio yang menjadi persyaratan peserta sertifikasi guru. Gembira, karena rasanya seperti mimpi menghadapi kenyataan ini.

Esoknya saat masuk sekolah. Beberapa teman berubah sikapnya padaku. Disinilah tragedi itu dimulai. Ada yang mengucapkan selamat padaku, bahkan ada yang menyindir dengan nada sinis. “Kalau begini caranya tidak adil, masak yang honorer bisa diikutkan sertifikasi lebih dulu. Nggak usah rajin-rajin bekerjalah sekarang !!!” kata salah satu teman guru PNS. Belum lagi rentetan sindiran lain yang tak henti-hentinya menyerangku saat itu. Duuuh ...... Aku menjadi bingung dan sedih mendengarnya . Aku hanya diam, tak bisa berkata apa-apa , meski terasa panas di telinga dan menyesakkan dada. Ingin menangis, tapi kutahan.

Berhari-hari aku menyiapkan berkas porto folio. Ini hal baru bagiku selama aku menjadi seorang guru honorer. Sehingga tidak mudah bagiku untuk menyusunnya. Tapi aku harus tetap membuatnya dan mengikuti program sertifikasi ini. Agar tidak mengecewakan Bapak Kepala Sekolahku dan teman-teman guru yang telah memberi semangat.

Pak Yono dan Pak Ari, adalah guru SMP ku, yang sekarang menjadi teman mengajarku. Kebetulan aku mengajar di SMP almamaterku sekarang. Beliau selalu memberi semangat dan menasehatiku untuk selalu bersabar menghadapi sikap teman-teman yang belum dapat menerima kenyataan ini.

Sudah seminggu berlalu, tapi suara tak sedap teman-teman masih santer. Hal ini terjadi karena beberapa teman memang belum faham, dengan sistem perekrutan program ini.Tidak seperti tahun pertama yang pesertanya hanya diambil dari guru PNS saja.

Hingga suatu hari, setelah selesai jam mengajar. Kepala sekolah mengadakan rapat mendadak. Saya tidak menyangka sama sekali. Dalam rapat saati itu, Kepala Sekolah marah besar kepada teman-teman yang tidak setuju dengan keikutsertaan saya dalam program sertifikasi guru. Beliau mengatakan “ Bapak, Ibu......... silahkan angkat tangan, siapa yang tidak setuju kalau Bu Fida mengikuti program ini...... monggo !!!!, saya tidak pilih kasih, yang menentukan semua ini adalah Dinas Pendidikan.” Sejenak kesenyapan melanda ruangan dewan guru. Tak satupun yang berbicara dan angkat tangan. “Kalau tidak ada yang angkat tangan, berarti semua setuju. Saya harap tidak ada lagi suara-suara miring tentang hal ini !!!”

Kepala sekolah juga mengumumkan bahwa ada kuota tambahan di sekolah kami. Satu guru PNS dan satu guru non-PNS. Yang semula dua orang , kepala sekolah dan saya. Sekarang menjadi empat orang. Pak Hakim guru PNS dan Bu Yani guru honorer. Alhamdulilah, saya mendapat teman seperjuangan sekarang. Saya tidak sendiri lagi menghadapi situasi yang runyam ini.

Berkas portofolio sudah selesai kami kumpulkan. Tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Suatu hari , saat dalam perjalanan ke Malang untuk menjenguk famili. Di dalam bis, HP ku berbunyi. Ternyata sms dari Pak Ari . mengabarkan bahwa saya , Bu Yani, dan Pak Hakim, tidak lulus portofolio. Kami harus mengikuti diklat PPPG di Batu Malang. Hanya Bapak Kepala Sekolah yang lulus portofolio.

(bersambung)

SAGUSABU PASURUAN

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post