afrilya susanti

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
EPISODE GURU BUDI

EPISODE GURU BUDI

Afrilya Susanti.

Sebuah nama yang tidak seterkenal Einstein. Tak ada teori hebat yang mampu ia buat. Sekedar opini, dan jauh dari sebuah teori hebat. Sore itu pada layar smartphone yang sedang tergeletak pada karpet hijau ruang tengah menyala. Pertanda ada informasi yang masuk melalui whatsApp. Secara otomatis tangan meraih dan mata mulai membaca deretan aksara.

Bertahun lalu masih jelas ingatanku membekas pada neuron tempat save as data masa kecilku.

" I N I B U D I"

" I N I I B U B U D I"

" I N I A Y A H B U D I"

Kalimat itu terukir rapi pada papan tulis hitam yang warnanya tak hitam lagi karena bekas hapusan kapur. Namun, masih nampak jelas. Tulisan yang rapi dan indah. Bu Endang, berdiri disamping kanan papan tulis sambil memegang rotan panjang. Rambutnya disanggul rapi dengan rok dibawah lutut. Raut ikhlasnya selalu ia bawa tiap harinya. Ingatanku jelas, dia galak namun ramah. Ia disegani oleh seluruh guru lainya. Kemampuannya diatas rata-rata guru lainnya. Karena kepiawaiannya membuat siswa nurut dia selalu dipercaya Kepala Sekolah untuk mengajar kelas satu. Alasannya tepat. Karena kelas satu adalah dasar, dan dasar ilmu harus kuat. Selain itu, karena ia galak maka secara otomatis murid yang diajarkannya akan nurut. Bertahun-tahun lamanya, ia berhasil. Semua murid didikannya memiliki sifat yang pintar, penurut, dan disiplin. Kini bu Endang sudah tidur pada pusaranya. Ada pahala ilmu yang bermanfaat yang terus mengalir kesana.

Sekarang.

" I N I G U R U B U D I"

Bukan deretan aksara itu yang harus kami baca. Tapi ada pelajaran hidup. Setelah kisah tragis guru Budi viral. Khayal nakalku memberikan signalnya. Akan ada guru Budi episode selanjutnya. Seperti sinetron Tersanjung yang entah sampai berapa episode. Itu miris. Saat profesi pak Budi sama denganku. Profesi yang aku pilih sejak 2009.

Kisah pilu guru Budi akan terus terulang. Karena para ahli menyebutnya kita berada pada masa kemerosotan atau kebobrokan moral. Moral anak bangsa sudah menipis. Berbanding lurus dengan lapisan ozon pada atmosfer. Lalu bagaimana mengatasinya?.

Ini hanya sebuah opini.

Peran orangtua yang harus perhatian terhadap anak. Zaman dimana teknologi sudah mudah diraih, ternyata berbading terbalik dengan rasa ingin diperhatikan. Karena semakin ia sering memegang gadged itu artinya dia haus akan perhatian.

Stop pembiaran. Biasakan mendidik anak dengan sanksi. Karena jika kita biarkan begitu saja maka ia tidak akan tahu dimana letak kesalahan yang ia perbuat.

Serahkan pendidikan anak di sekolah kepada guru. TRUST. Karena tidak ada keikhlasan dan kepercayaan orangtua saat memilih sekolah. Mohon maaf orangtua zaman dulu tidak sayang mengeluarkan hartanya untuk sekolah anaknya. Tapi, sekarang karena program sekolah gratis atau bantuan pendidikan yang tujuannya mencerdaskan anak bangsa ternyata salah. Atas dasar sekolah murah, sekolah gratis, sekolah yang memberikan bantuan pilihan sekolah itu jatuh. Bukan sekolah dengan kualitas agama baik, kualitas guru pilihan itu jatuh.

Karena sebenarnya dalam kitab ta'lim muta'lim dijelaskan secara gamblang bahwa syarat menuntut imu ada 6, yaitu :

1. cerdas

2. rakus dalam berusaha mencari ilmu

3. Penuh perjuangan dan sabar

4. Bekal/Biaya

5. Bersahabat dengan guru

6. Membutuhkan waktu yang lama

Syarat adalah kewajiban yang harus dipenuhi. Salah satu saja tidak terpenuhi maka tidak sah. Begitupun menuntut ilmu. Salah satu saja tidak dipenuhi, maka ilmu anti melekat pada otak. Mari kita kembali renungi. Jika kita mau mengakhiri episode guru Budi maka kita kembali kepada syarat tersebut.

Cerdas, kita sebagai penuntut ilmu pasti memiliki kapasitas otak yang sama. Hanya kualitas saja mungkin yang berbeda. Dan kualitas akan semakin baik jika kita asah, kita gunakan seluruh kapasitas untuk meningkatkan kualitas. Tak ada yang tidak mungkin. Hei siapakah Einstein?. Dialah murid yang dianggap lamban dalam menangkap pelajaran. Kini dia menjelma menjadi tokoh abadi. karena E= mc2 nya.

Rakus dalam menuntut ilmupun harus kita tanamkan dizaman sekarang ini. Kita buang malas yang menghantui diri. Kita hadirkan semangat dengan optimal.

Penuh perjuangan dan sabar adalah syarat mutlak. Nikmati prosesnya. Allah tidak akan tidur. Dan hukum kekekalan Energi juga masih berlaku. Bahwa:

Energi Keluar = Energi Masuk

Paling tidak jika kita sadari. Semakin kita berusaha maka hasilnya pun akan melimpah. Sukses didepan mata.

Bekal/Biaya. Hmmmm, inilah pembahasan spesial. Orangtua zaman dulu lebih parah usahanya. Seorang janda mampu mengantarkan ke lima anaknya menjadi orang sukses. Kenapa orangtua zaman sekarang tidak mampu. Semakin banyak bantuan semakin senang. Padahal sebaik-baiknya rezeki yang asalnya dari keringat kita sendiri. Bukan dari belas asih orang lain. Orangtua zaman dulu, pantang menyampaikan kesulitan pada oranglain. Mereka, berusaha menyelesaikan masalah ekonomi sendiri dibantu dengan tawakal. Dan saat sukses hanya senyum tipis dengan mata yang berkaca-kaca.

Berbanding terbalik dengan Orangtua zaman now. Susah sedikit langsung diunggah ke khalayak ramai melalui akun sosmednya. Belomba-lomba mencari komentar. Semakin banyak komentar kasihan. Semakin bangga.

Jika sukses. Difoto barang berharganya, diunggah kembali. Semakin banyak jempol semakin bahagia. Kebahagiaan yang maya menurut saya. Tidak ada air mata keikhlasan yang tersemat pada kelopak matanya. Potret nyata masa kini.

Dan bersama-samalah duduk dalam majelis. Sebagai penuntut ilmu harusnya kita kejar kemanapun pergi guru kita saat ilmunya belum kita pahami. Kemudian ta'zim lah dengannya. Jangan justru mengumpatnya dari belakang. Guru A beginilah. Guru B begitulah. Bla-bla bla itulah yang akhirnya membuat kita semakin jauh dari kata ta'zim. Jadikan guru sahabat. Layaknya sahabat adalah tempat berbagi. Berkeluh kesah, dan saling membantu. Menghargai, adalah bagian terpenting dalam persahabatan. Bukan malah guru dijadikan musuh bebuyutan. Hanya satu nasihat. Diangggap pengiris hati dan tangan maju. Bogem kasar mampir dipipi sang guru. Padahal menurut bahasa, guru adalah orangtua saat disekolah. Haram bau surga untuk manusia yang melukai hati orangtuanya. Ironis.

Terakhir adalah waktu yang lama. Indonesia sekolah dasar saja memakan waktu 6 tahun, kemudian menengah 3 tahun, dan atas 3 tahun. Untuk menjadi profesional tambahan 4 tahun lagi. Enam belas tahun adalah kurun waktu yang masih kurang untuk mengantarkan kita sebagai ahli. Kemudian ditambah dengan empat atau enam tahun lagi sehingga kita-benar benar ahli yang profesional. Ternyata itu sebuah perintah bahwa menuntut ilmu harus sampai akhir hayat. Ilmu tidak harus diperoleh dari lembaga akademik saja. Bukan hanya titel yang menghiasi nama. Apa yang sudah kita ketahui. Kita aplikasikan dalam kehidupan nyatapun sudah termasuk menuntut ilmu. Apalagi disertai dengan perbaikan diri.

Senyum tipis degan binaran air mata. Guru Budi. Episodemu berakhir hari ini. Semoga. Ternyata masih sebuah harapan tulus. Untukmu. Muridku sayang.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Luar biasa tulisannya, teruslah menulis

15 Feb
Balas



search

New Post