Part_2

“Treteek, tek, tek, tek,” deru sampan terengah-engah memecah gelombang laut yang tak begitu besar. Kilauan terik matahari berpendar menyilaukan mata, panas matahari pukul 10.00 ini begitu menyengat seolah matahari tak hanya satu di atas horizon, namun hal ini tak menyurutkan tekad kami untuk menjemput bola, dalam rangka memberikan pelayanan pendidikan di tengah pandemi yang entah kapan akan berakhir.

Jarak Gili Belek dan Gili Re sekitar 300 m, ketika laut sedang surut anak-anak biasa menyeberang tanpa menggunakan sampan, namun karena kondisi air sedang pasang, maka kami harus sedikit berjuang untuk berlayar mengitari pulau, hal ini karena tidak ada dermaga pada jarak terdekat dari kedua gili ini. Meskipun Lombok Timur termasuk wilayah zona merah Covid-19, akan tetapi masyarakat Gili Re dan Gili Belek sudah melakukan karantina secara mandiri, terlebih lagi lokasi keduanya terpisah dari daratan Pulau Lombok.

Sesuai anjuran pemerintah daerah untuk menjaga jarak dan tidak berkerumun lebih dari sepuluh orang, maka kami memecah rombongan dalam menjalankan tugas sesuai program dan jadwal yang telah di sepakati bersama, serta berkoordinasi dengan orang tua siswa dan tokoh masyarakat setempat.

Tibalah kami di Gili Re, pulau kecil dengan luas 1,9 ha, yang padat dengan penduduk dan rumah-rumah berhimpitan.

Tersirat di wajah anak-anak akan rindunya suasana belajar bersama di sekolah.

“Pak Guru kapan kita belajar lagi di sekolah?” ucap salah seorang siswa dengan antusias, “Sudah kangen sama teman-teman, kangen sama Pak Guru dan semuanya!” tambahnya lagi.

Pulau Seribu Masjid, 15 April 2020

Koordinasi salah satu rekan guru dengan orang tua siswa

Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi