Agil Ari W, S.Pd., Gr

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
'Anak Piara'
Sumber Foto: Lektur.id

'Anak Piara'

Part_3

Puskesmas masih terlihat lengang dan sepi, tak ada petugas maupun pasien di sana. “Kenapa harus ke puskesmas Pak?” tanyaku heran. Sambil clingak-clinguk seolah mencari seseorang beliau menjawab, “Anak ini sepertinya kena malaria Pak Guru, harus cek darah dolo”, akupun cuma mengangguk-angguk karena memang tak mengerti ilmu medis dan prosedurnya. “Tunggu di sini Pak Guru, beta cari petugasnya” tambahnya lagi. sambil berlalu ku dengar beliau berbicara sendiri seolah kesal, “kemana semua orang kok tidak ada!” gerutunya.

Sudah lewat dari satu jam kami menunggu, tak satupun orang yang datang, bahkan Pak Mantri juga tidak lagi terlihat batang hidungmya. Sejenak kemudian datang seorang perempuan memakai setelan baju olah raga yang sama dengan pak mantra tadi, segera ku korek informasi dari beliau, menurut beliau semua petugas hari ini sedang kerja bakti di ruang rawat inap yang baru saja selesai dibangun, sekaligus mengikuti acara peresmian bangunan. kamipun disuruh menunggu kembali tanpa kepastian.

Karena Bosan terlalu lama menunggu akhirnya kami pergi ke toko sembako milik orang cina yang berada di depan puskesmas, sekedar untuk membeli camilan dan minuman ringan. Namanya toko Angkasa, ramai orang bertransaksi di sana. Saat antri untuk membayar belanjaan ada seorang bapak-bapak berwajah garang menyapaku dengan suara ramah, “Dari mana bung?”.

Berawal dari sapaan dan sebuah pertanyaan itu kamipun larut dalam obrolan, saya bercerita mengenai kejadian di Puskesmas yang baru beberapa saat tadi saya alami, bapak tersebut menjawab dengan suara tinggi dan logat khas maluku, “ Pak Guru, Beta kas tau, ke Puskesmas itu sama saja cari mati, su biasa orang sakit seng ditangani dan di biarkan sa, sampai mati disitu! pegawai-pegawainya begitu sudah, seng mengerti tanggung jawab, Katong samua mau kasih rubuh puskesmas itu!”.

Suara bapak itu keras dan menggebu gebu, wajahnya tampak penuh amarah. sejenak kemudian dia menghela nafas panjang dan berkata, “Bapak mantri itu juga salah satu target yang mau katong kasih mati,” ucapnya sambil mengacungkan telunjuk menunjuk arah rumah Pak Mantri.

Sempat kaget juga mendapat tanggapan seperti itu, namun meskipun begitu, aku menangkap ekspresi senyum-senyum di wajah bapak ini, “ahh mungkin bapak ini cuma bercanda saja,” fikirku dalam hati.

Selesai membeli jajan, kami pun kembali ke Puskesmas, namun setibanya kami di Puskesmas tak satupun petugas terlihat disana, kembali kami duduk di kursi tunggu loket pendaftaran, sambil menunggu, aku dan Jeny (read: Anak piara) menikmati makanan dan minuman yang baru saja kami beli.

Lelah menunggu namun yang diharapkan tak kunjung datang juga. Jeny mulai terlihat gelisah dan seolah menahan rasa kesakitan.

“Pak Guru katong pulang sudah,” ucap jeny dengan ekspresi sungkan mengatakan itu. “Kal sakit malaria katong orang Nakarhamto su ada obat sendiri di kampung,” ucap jeny mencoba meyakinkanku. Sejenak aku berfikir, “Benar juga aku punya obat malaria di mess yang aku bawa dari jawa sebelum berangkat ke sini,” gumamku. Dengan mempertimbangkan kondisi jeny dan keterangan dari jeny serta waktu yang sudah hampir tengah hari, ku putuskan untuk kembali pulang ke Nakarhamto, mencoba positif thinking mungkin saja aku yang salah memilih hari untuk pergi ke Puskesmas, sehingga tidak mendapat pelayanan.

Setiba di rumah, Jeny langsung istirahat dan ku minta untuk minum obat malaria yang saya bawa dari Jawa serta suplemen vitamin yang sempat saya beli di toko cina depan Puskesmas sesaat sebelum pulang tadi. Entah obatnya di minum rutin atau tidak, karena setelah pulang dari Puskesmas dia memilih tinggal di rumah orang tua kandungnya.

Dua hari kemudian si Anak Piara sudah terlihat sehat wal afiat, dia bercerita selain minum obat dan vitamin dari ku, dia juga diberikan obat tradisional ala desa Nakarhamto yang berupa getah daun di teteskan ke mata. menurut jeny setelah getah diteteskan ke mata, mulut dan hidung terasa sangat pahit sampai seharian penuh, oleh sebab itu orang nakarhamto menyebut obat ini dengan nama ‘Getah Daun Pahit’.

Ruang Kerja, 24 April 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post