Agil Ari W, S.Pd., Gr

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Cincin 'Teteruga'
Cincin Teteruga. Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi

Cincin 'Teteruga'

Part_2

“Selamat Sore Pak Guru,” terdengar suara renta dari luar rumah dinas diiringi ketukan pada pintu kayu. Ternyata Tete Deki, seorang kakek (‘tete’ dalam bahasa Maluku) yang tinggal di sebelah rumah dinas yang kutempati. Kupersilahkan beliau untuk masuk dan kutanyakan maksud kedatangannya, namun tanpa mengeluarkan sepatah katapun tiba-tiba beliau memegang jari manisku, timbul perasaan tidak enak di hatiku, “Ada apa dengan kakek tua ini?” gumamku dalam hati. Tiba-tiba sepatah kata meluncur dari mulut kakek itu “Ohh segini, tunggu ya Pak Guru?” seketika beliau berlalu begitu saja meninggalkanku tanpa berpamitan. Beberapa hari selanjutnya aku merasa aneh dengan Tete Deki akibat kejadian ini.

Suatu sore Aku melihat Tete Deki sedang menggergaji sesuatu, ternyata beliau sedang membuat cincin teteruga (Cincin dari cangkang penyu laut). Ku lihat proses pembuatan cincin ini sangat rumit dan menguras banyak tenaga, karena bahan bakunya yang keras dan sulit untuk dibentuk. Ternyata sesuatu yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya, Tete Deki membuat cincin itu untuk ku, beliau bilang sebagai kenang-kenangan dan agar aku tetap mengingat beliau saat sudah selesai bertugas disini nantinya.

Karena bentuknya yang unik dan pemberian yang tulus dari seorang kakek, Aku dengan senang hati menerima dan memakainya, suatu hari ada beberapa warga yang melihat aku memakai cincin itu dan berkata “Pak Guru pung cincin paling gagah e” (cincin pak guru paling keren ya), membuat saya semakin Percaya Diri memakainya.

Diam-diam ternyata ada warga lain yang menyiapkan cincin teteruga untuk ku. Saat acara ulang tahun Eta yang pertama, aku diundang di acara tersebut. Tiba-tiba Kak poly (Ayah Eta) duduk disebelahku kemudian menyodorkan sebuah cincin teteruga dan berbisik, “Coba Bapak Guru pakai dolo, pas ga seng di Pak Guru pung jari?”. Ternyata ukurannya pas di jariku. “Mantap pas Kak,” ucapku sambil mengacungkan jempol dan tersenyum. lalu kak poly juga tersenyum dan berkata “itu buat Bapak Guru”. Hanya ucapan terimaksih yang bisa meluncur dari mulutku. Sebuah nilai kehidupan yang positif aku peroleh dari tempat ini, meskipun berbeda keyakinan dan suku bangsa, mereka seolah tidak menjadikan hal itu sebagai penghalang untuk menjalin rasa persaudaraan denganku, bahkan meskipun hidup serba kekurangan mereka tetap berbagi sekedar apa yang bisa dibagi dengan sesama.

Pulau Seribu Masjid, 13 April 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post