Agus Buchori

Saya guru paruh waktu disela sela tugas resminya sebagai arsiparis. Mengajar Seni dan Budaya serta Bahasa Jawa MTs M 02'dan SMAM 06 di Ponpes Karangasem Paciran...

Selengkapnya
Navigasi Web
Mengajar Seni Bukan Monopoli Sarjana Seni

Mengajar Seni Bukan Monopoli Sarjana Seni

Menarik sekali membaca tulisan Bapak Djuli Djatiprambudi pada rubrik ruang putih tanggal 29 Agustus 2010 yang berjudul "Seni Rupa Belum Merdeka". Ketertarikan saya sekaligus juga mengundang koreksi terhadap substansi tulisan Bapak Djuli yang dalam tulisan tersebut menciptakan istilah “guru siluman”, yaitu guru bidang studi seni yang bukan berasal atau mempunyai latar belakang pendidikan seni.

Dalam tulisan tersebut, Bapak Djuli merasa trenyuh melihat pengetahuan para guru seni yang mengikuti pelatihannya tidak mengetahui sama sekali isu-isu yang sekarang berkembang di jagat seni rupa Indonesia.

Ketika dalam suatu tatap muka, beliau mengajukan nama-nama seniman (pelukis) seperti, I Nyoman Masriadi, Dipo Andy, Alit Sembodo, Jumaldi Alfi dan teman-teman segenerasinya yang sekarang menguasai pasar seni lukis internasional ternyata banyak para pendidik seni tersebut yang tidak tahu.

Berdasar asumsi inilah beliau akhirnya mengetahui bahwa ternyata para guru seni tersebut banyak yang berlatar belakang bukan dari pendidikan seni, dan olehnya, mendapat sebutan yang cukup “menakutkan” bagi saya, yaitu guru siluman.

Sebagai salah satu guru “siluman” di bidang seni rupa, saya kurang sependapat dengan penilaian Djuli bahwa mereka ini dianggap tidak mampu mengajarkan mata pelajaran seni dengan baik karena tidak memiliki kompetensi keilmuan di bidang seni.

Bapak Djuli terlalu cepat menyimpulkan hanya karena melihat kompetensi sebagian peserta diklatnya yang kebetulan kurang wawasan seninya. Beliau tidak melihat bahwa di luar masih banyak guru siluman yang kapabel dan kompeten untuk mengajarkan mata pelajaran seni.

Bila saya boleh menganalogikan sebagai berikut; seorang lulusan fakultas sastra tidak serta merta menjadi sastrawan. Perlu pengalaman panjang dan intensitas yang dalam untuk menjadi sastrawan. Dan kondisi ini tentunya dipengaruhi oleh pergaulan serta minat yang besar terhadap sastra sehingga akhirnya lulusan fakultas sastra pun bisa menjadi sastrawan.

Pun banyak sastrawan yang lahir dari kondisi tersebut walaupun ia bukan lulusan fakultas sastra. Demikian juga di dunia seni rupa bahwa alumni pendidikan seni rupa tidak akan serta merta kapabel di dunia seni rupa perlu keseriusan yang tinggi dan intensitas yang dalam agar mampu menguasainya.

Dari sini, Bapak Djuli bisa melihat mantan mahasiswanya apakah semuanya kompeten dan terjun menggeluti dunia seni rupa? Saya yakin hanya sebagian saja, yaitu mereka-mereka yang tertarik dan mengelutinya dengan seriuslah yang berhasil.

Untuk menjadi pengajar kesenian pun tiada beda. Perlu seseorang yang mempunyai ketertarikan tinggi dan berwawasan luas dalam bidang kesenian.

Kondisi ini tidak bisa hanya diharapkan dari seorang yang mempunyai latar belakang pendidikan seni. Kemampuan dan wawasan yang berkembang tidak akan diperoleh oleh pribadi-pribadi (guru siluman) yang malas. Perlu kerja keras dan selalu merefresh informasi di dunia yang digelutinya.

Sebagai seorang kurator, Bapak Djuli tentu sangat akrab dengan nama Sindhunata. Beliau termasuk kurator handal yang tulisannya termasuk sering saya baca juga tulisan Bapak Djuli tentunya.

Beliau adalah salah satu contoh konkret bagaimana seorang yang bukan berlatar belakang pendidikan seni bisa begitu kompeten mengulas karya seni rupa masa kini. Dan banyak pelukis yang mengakui ketajaman tulisannya.

Kalau bisa saya ambil contoh lain adalah mantan menteri pendidikan kita, Bapak Daoed Joesoef dan Bapak almarhum Fuad Hasan. Kita bisa membaca kemampuan kedua tokoh ini dalam mengulas karya seni rupa seorang seniman bagaimana mereka menganalisa teknik seseorang mulai dari cara goresan kuas, komposisi warna, baik yang sengaja tercipta maupun tak sengaja hingga bisa menjadi ciri seorang pelukis. Mereka bisa menganalisanya walaupun mereka bukan berlatar belakang pendidikan seni.

Tentunya kemampuan ini tidak serta merta tercipta begitu saja. Ada intensitas dan pergulatan panjang dengan jagat seni rupa. Dan, selain itu, adalah kepekaan estetis yang mereka asah tentunya.

Mengakhiri tulisan ini, saya hendak mengisahkan pengalaman pribadi saya.

Sebagai guru siluman di bidang seni, yang pada tahun awal diluncurkannya KBK (kurikulum berbasis kompetensi) mengikuti pelatihan sosialisasi KBK guru bidang studi yang diadakan oleh Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Ketintang Surabaya. Saya adalah guru kesenian yang bukan berlatar belakang seni sementara kebanyakan yang hadir adalah guru kesenian yang berlatar belakang pendidikan kesenian.

Di akhir diklat selama satu minggu tersebut, ada pemilihan peserta terbaik dari masing-masing kelompok bidang studi dan saya terpilih menjadi peserta terbaik di bidang kesenian. Saya heran dan kaget, kok saya? Sedangkan banyak peserta lain yang berlatar belakang pendidikan seni malah tidak terpilih. Ada apa dengan guru seni yang asli tersebut?

DAFTAR BACAAN

Muhidin M Dahlan, dkk., Gelaran Almanak Seni Rupa Jogja 1999-2009, Yogyakarta: Gelaran Budaya, 2009

Daoed Joesoef, Dia dan Aku Memoar Pencari Kebenaran, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

mantap, suhuuu

26 Feb
Balas

Kau itu gudangnya ilmu. Seni mengajar. Seni betulan. Saya remekan rengginang.

26 Feb
Balas

ojo nggalang tho diguyu komentator duwurmu lho....

26 Feb



search

New Post