Agus Pramono

adalah perangkai katakata yang lebih suka disebut sebagai penulis pembelajar seorang wernicke yang punya hobi travelling numismatik kecilkecilan dan m

Selengkapnya
Navigasi Web
Eunos di Mojokerto
mengantar pulang babeh eunos asah

Eunos di Mojokerto

Mojokerto, Selasa, 04 Agustus 2020

Kisah sebelumnya, karena mungkin akhir pekan sehingga rencana menginap di dekat Borobudur tidak ada tersedia. Semua penginapan yang diuji lacak menggunakan aplikasi ditandai full booked. Akhirnya rombongan harus menginap di masjid AL Muhajirin yang beralamat di Jalan Puntodewo No.25, Dusun XI, Borobudur, Kec. Borobudur, Magelang, Jawa Tengah 56553.

Asyik juga dapat pengalaman unik begini. Alhamdulillah. Ternyata masjid ini punya kisah menarik.

Pagi itu, 3 Agustus satu tahun lalu, kami antar babeh ke Borobudur. Sengaja kami berangkat pagi sekalian membantu membuka pintu masuk yang merupakan gerbang buat para pengunjung. Disini babeh sempat bingung mau masuk lewat tamu lokal atau tamu mancanegara.

“Babeh kan orang pribumi” gurau saya

“Benar juga, mas Agus. Nanti bayarnya beda dan lebih mahal itu.” jawab babeh yang membuat kami ngakak.

Rombongan tidak semua yang masuk. Beberapa ada yang masih ngantuk dan memilih ingin rehat di mobil di parkiran, termasuk Sinyo. Saya urus pembayaran (tentu saja buat pengunjung lokal) di loket dan langsung masuk lokasi supaya tidak ada dusta di antara kita telah membawa turis dari negara tetangga.

Sisa kabut masih menyelimuti candi. Babeh seperti langsung menikmati suasana dan aura Borobudur. Nyaris setiap jengkal kami berfoto mendokumentasi perjalanan yang tidak biasa ini.

“Sampai jam berapa kita disini?” tanya Babeh

“Sampai Babeh merasa puas dan lega, kita keluar dan melanjutkan perjalanan.” jawab saya

“Memang setelah ini kita akan kemana?”

“Malioboro.”

“Wahh, bagus banget itu. Saya suka banget.”

“Memangnya sudah pernah?”

“Belumlah. Tapi pernah mendengar nama itu. Kan populer, ya … ”

Perjalanan keliling candi masih separo. Berlagak paham dengan diorama di dinding candi, Babeh menjelaskan gambar-gambar itu pada saya. Tentu akhirnya jadi anekdot tersendiri. Justru sang turis yang menjadi guide. Sampai di selasar stupa utama, matahari mulai menghangatkan suasana. Itu tidak disia-siakan babeh buat merekam jejaknya. Selanjutnya perlahan kami mencari jalan keluar candi yang memutar dan terlihat cukup melelahkan. Berkali saya konfirmasi ke babeh apakah baik-baik saja telah berjalan jauh tapi tak terasa dan tak terlihat. Beliau bilang no problem. Padahal bulir keringat pun mulai memamerkan keberadaannya. Tak terhitung kami menyeka muka.

Akhirnya sampai di jalur pasar yang berliku. Beberapa pemilik lapak menjajakan dagangannya. Saya tanyai apakah ada yang hendak dibeli untuk dibawa pulang ke Singapore?

“Belum ada yang menarik” jawabnya. Kami pun santai berjalan perlahan menuju pintu keluar. Hingga nyaris di ujung dan terlihat tulisan “pintu keluar”.

“Mas Agus tidak beli sesuatu?”

“Kami kan sering banget kesini, Babeh.”

Tiba-tiba babeh masuk sebuah lapak dan memilih beberapa rok.

“Buat ibu di rumah.” katanya.

“Mantap, Babeh.” jawab saya mengomentari pilihannya.

“Mas, can we bargain?”

“Bolehlah asal wajar, Babeh.”

“Ingatkan saya kalau harganya terlalu tinggi, ya.”

“Inggih, Babeh. Tapi jangan pakai Inggris, nanti dikira turis … ”

“Memang Bapak ini dari mana?” si punya lapak ikut nimbrung.

“Saya? Dari Mojokerto … ” jawab babeh santai sambil senyum.

Lapak itu jadi riuh sejenak. Setelah barang incaran dikumpulkan lalu dihitung. Sang pemilik lapak sebelumnya saya bilang agar memberi harga yang sewajarnya. Kalkulatornya ditunjukkan saya dengan rincian yang bisa dipahami. Kemudian saya tunjukkan pada Babeh.

“Mas, is it fair?”

“Inggih, Babeh. Kados pundi, pripun? Too expensive menurut babeh?”

“Sebentar, Mas”

Sesaat Babeh memilih beberapa blangkon. Lalu meletakkan pada belanjaan tadi.

“Giliran Mas Agus. Pilih satu blangkon, I pay.”

“Saya sudah punya di rumah, Babeh.”

“Please, Mas. Ambil satu.” katanya sambil mengambil satu blangkon dan dicobakan pada kepala saya, lalu ketika dirasa pas ditaruh blangkon itu pada belanjaan.

“Berarti tambah dua blangkon, ini jumlah totalnya.” kata ibu itu sambil menunjukkan kalkulatornya.

Babeh tidak menawar lagi, langsung dibayar. Belanjaan tadi pun ditenteng sembari menarik tangan saya

“Ini kembaliannya, Bapak.”

“Buat ibu saja. Matur suwon …” jawabnya.

“Matur suwun, Babeh” kata saya.

“Ahh, iya. Matur suwun.”

Sambil ngakak puas, kami menuju mobil yang di parkir. Sesampainya, kami sejenak meredakan penat dengan segelas kelapa muda. Sekali lagi, babeh yang membayari. Sementara Shomad dan anak-anak masih mencari sesuatu. Tak lama kami pun berpindah destinasi menuju Malioboro.

Dalam perjalanan Shom mencoba browsing untuk penginapan yang bisa dijadikan tempat menginap sehingga tidak lagi menginap di tempat ibadah.

Akhirnya dia dapat tempat incaran yang sepertinya bagus. GPS terus disetting menuju TKP. Butuh waktu lumayan kami menjelajah relung jalanan Yogya yang makin padat sepertinya.

Kami sempat singgah di masjid Jogokariyan untuk sejenak mengingat Sang Maha Pemberi Rezeki. Tentu kami tidak hendak menginap di tempat itu, meskipun ada tersedia tempatnya. Berikutnya singgah ke keraton sejenak ketika terlintasi juga dalam perjalanan. Waktu tidak disia-siakan buat bergambar menitipkan jejak. Tidak berbeda juga ketika kendaraan melintas Jalan Malioboro. Babeh kami ajak turun untuk sekalian merekam suasana di area gerbang jalan yang legendaris itu, meskipun nanti malam juga akan balik ke tempat itu. Mumpung dilewati.

Pada tampilan GPS tampak bahwa tempat penginapan itu sudah dekat. Beberapa waktu berlalu, kami pun sampai pada tempat yang diberikan google map. Sinyo berkeliling melihat suasana sekitar. Seperti ada yang kurang pas menurut penilaian dia. Maka kami beranjak mencari tempat lainnya.

Agak lumayan kami dapat tempat yang dianjurkan google map. Ternyata kurang sesuai selera menurut Sinyo. Terakhir, pilihan pamungkas itu jatuh pada hotel Pandanaran yang beralamat di Jl. Prawirotaman No.38, Brontokusuman, Kec. Mergangsan, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55153. Semalam kami booking dan menikmati suasana Yogyakarta.

Setelah melepas penat, rehat dan mencoba kolam renang, malam hari kami kembali jelajah Malioboro. Seperti biasa kami disulitkan dengan menemukan tempat parkir mobil yang nyaman karena saking padatnya. Jadi, cukup lumayan jauh juga tempat parkirnya. Kami menemani babeh jalan-jalan lagi. Sekali lagi kami konfirmasi apakah babeh tidak ada masalah dengan jalan kaki yang lumayan lagi. Padahal paginya sudah dihajar jalan kaki di Borobudur. Untunglah berkali Babeh bilang, I’m fine. Saya sangat menikmati. Kami merasa lega, apalagi melihat babeh juga memborong banyak suvenir buat oleh-oleh.

Keesokan harinya, agak siang – setelah menikmati jatah sarapan dari hotel – kami meninggalkan kota berjuta kenangan itu. GPS disetting menuju Ngawi. Kami harus mampir ke Pondok Gontor Putri 2 dimana Centilun belajar. Tentu mobil agak laju kencang buat memburu jam berkunjung ke pondok yang tidak bisa sewaktu-waktu.

Sungguh beruntung waktu pas ketika sampai di pondok. Sinyo langsung daftar pada ruang balai penerimaan tamu (Bapenta). Tidak lama kemudian Centilun datang berseri-seri melihat kunjungan yang tidak diduganya.

“Ini anak sudah kenal dengan bunda Anie Din, Babeh.” saya menjelaskan.

“Ohh, begitu, ya.” Centilun pun sungkem pada Babeh

“Bertambah jadi dua orang Singapura yang dikenal Centilun.” gurau saya.

Waktu kunjungan berasa menggelinding lebih cepat dan anak itu sudah harus kembali masuk ke area pondok. Kami pun melaju kembali ke Mojokerto. Rencananya Babeh akan langsung dibawa keluarga Shomad lalu besoknya diantar balik ke Singapura.

Mobil memasuki jalan Tribuana menjelang sore. Shomad langsung meletakkan punggungnya seenaknya di ruang tamu yang saya jadikan suang serba guna dan serba fungsi itu. Dia harus rehat sembari charging energi buat melanjutkan pulang ke Sidoarjo. Babeh Eunos tak tampak menunjukkan lelah. Mungkin menikmati semua layanan yang kami berikan dengan segala keterbatasan dan kekurangan

“Mas Agus …” kata Babeh tiba-tiba

“Kalau misalnya menginap di Mojokerto, bagaimana?”

“Oke, Babeh. Siap. Kami carikan hotel yang dekat rumah.”

“Wah, saya makin merepotkan ini.”

“Sama sekali tidaklah, Babeh. Kami suka, senang banget karena Babeh mau kesini. Mungkini yang kami berikan tidak memuaskan, kami mohon maaf.”

“Justru itu, saya sangat senang bisa ke Mojokerto. Punya sahabat seperti mas Agus.”

Akhirnya, Sinyo dan saya mohon izin keluar buat order hotel yang layak buat tamu istimewa ini. Berdua kami meluncur ke Jalan Benteng Pancasila buat pesan Hotel. Oleh pihak hotel itu kami justru disarankan ke hotel satu grup yang ada di Embong Tekuk. Kami pun meluncur. Setelah memesan dan membayar, kami pulang.

Sesaat kemudian keluarga Shomad berpamitan untuk pulang duluan, tidak jadi membawa babeh ke rumahnya. Besok hari, kalau Babeh sudah lega dengan Mojokerto, Sinyo dan saya yang akan bolos kerja dan mengantar Babeh ke Juanda. Malam itu Babeh sudah berada di hotel dan kami di rumah. Melihat posting di Facebook-nya, ternyata babeh ini tidak punya lelah. Beliau masih jalan-jalan malam hari di area sekitar hotel. Ada warung, STMJ, lapak terang bulan yang di posting di akunnya.

Paginya, saya sekali lagi bekerja setengah hari dan mohon pengertian buat mengantarkan tamu pulang. Beruntung saya pas tidak ada jam mengajar. Masih sempat juga mengajak sarapan kedua lalu jalan-jalan ke alun-alun, sesuai permintaan beliau. Sinyo pun mengabarkan bahwa dia siap. Saya yang sedang jalan-jalan keliling kota mengantar babeh membeli beberapa kerudung hijab harus segera balik.

Hogwarts sudah bersiap dikendarai Sinyo. Sebelum habis masa check out kami tinggalkan hotel. Mendadak Babeh minta berhenti buat menikmati durian, buah kegemarannya. Beliau melarang Sinyo membayar, dia yang akan bayar. Tentu tidak sempurna kalau tidak singgahkan ke pabrik onde-onde Bo Liem yang dilewati di jalan Empu Nala. Tak lupa juga babeh minta didokumentasikan. Perfecto! Lengkap sudah semua agenda dan kekuatan kami.

“Ini buat mas Agus.” kata babeh sembari melepas kacamata yang selalu dipakai selama perjalanan.

“Ini kacamata kesukaan babeh. Semoga mas Agus suka memakai dan menyimpannya, buat kenang-kenangan dan persahabatan.” tambahnya. Saya terkesiap saja dan tidak menyangka. Tentu saya terima dengan rasa bangga.

“Ini buat mbak Ifa.” katanya sambil meletakkan sesuatu terbungkus rapi di jok tengah sebelah saya. Ternyata masih ada saja yang ditinggalkan buat kami.

Waktu cukup luang buat perjalanan ke Juanda, tapi Sinyo tetap laju dengan kecepatan yang lumayan karena antisipasi macet. Siang itu babeh pulang ke negaranya dengan berjuta kenangan, buat beliau dan buat kami.

Entah kapan kami sanggup membalas kunjungannya. Mungkin harus mimpi dulu …

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post