Agus Salim

Anak pertama dari sepasang suami istri yang hidup di desa terpencil, desa Gunung Malang Kec. Suboh Kab. Situbondo, Jawa Timur. Menjadi guru sejak tahun 1989. Da...

Selengkapnya
Navigasi Web
PAK KETUA - Tantangan hari ke-76
Gambar: www.gambarkartun.pro

PAK KETUA - Tantangan hari ke-76

Mataku tak hentinya mengusap hamparan plafon itu. Setiap kali melihat fitting lampu, kuamati dengan seksama. Semuanya masih dalam kondisi baik dan lengkap. Kemudian kuhampiri saklar yang menempel ditembok sisi selatan. Clak..clak! Lampu-lampu itu pun menyala kecuali lampu bagian depan. Kuulangi mengotak-atik saklar. Tetap. Dua lampu di plafon bagian depan itu padam Mereka-reka aku dalam pikir. Mungkin filamen wolfram atau komponen lain pada lampu itu rusak, atau mungkin juga ada kabel yang terputus. Tapi kok bisa, dua lampu rusak bersamaan.

Aku beranjak dari tempatku berdiri. Coba hendak melihat lampu-lampu lain di kamar mandi. Khawatir kalau-kalau lampu-lampu itu pun ada yang tidak menyala.

“Cari apa, Pak?” tiba-tiba Kang Seger ada di belakangku.

“ Oh, kang Seger. Kaget saya. Wa’alaikumussalam Kang,” jawabku spontan. Kang Seger tersenyum.

“Assalamu’alaikum Pak. Ha...ha...ha...,” timpal Kang Seger memancing tawaku.

“Ha...ha...ha..., Kang Seger ini bisa aja. Itu lho Kang, barangkali Kang Seger tahu, lampu bagian depan plafon itu kok tidak nyala?”

“Itu tah pak. Hemmm..., kemarin saya disuruh pak ketua untuk mematikan lampu-lampu itu. Tapi saya tidak mau. Katanya sih untuk ngirit biaya listrik. Yang nyumbang katanya merasa keberatan bayarnya.”

“Ooo.. gitu. Kalau Kang Seger tidak mau, kok lampunya padam? Mungkin rusak, Kang. Perlu diganti,”

“Ah, Bapak ini. Seperti tidak tahu kebiasaan Pak Ketua. Lagian, yang perlu diganti itu bukan lampunya, tapi ketuanya.”

“Jangan gitu lah Kang. Mosok, gara-gara lampu aja kok harus ganti ketua segala,” jawabku.

“Masalahnya bukan hanya itu kan, Pak. Pak Ketua ini selalu membuat orang lain kesal. Hasil kerja orang lain tidak ada yang cocok buat dia. Kalau nyuruh orang, harus seperti apa yang dia mau, padahal kemauannya itu sering tidak masuk akal,” lanjut lelaki berkulit negroid itu, seakan tak peduli kata-kataku.

Mendengar ucapan Kang Seger, aku seperti tidak bisa berucap apa-apa lagi. Ada sesutu yang kurang nyaman. Dari gelagat dan warna suaranya, aku rasa Kang Seger sedang kesal. Kesal terhadap sikap Pak Ketua yang selama ini mungkin dianggap selalu arogan dan memaksakan kehendak.

“Saya sudah ngomong dengan pak Polo tentang hal ini, Pak. Sebentar lagi Ustad Kholik, Aba Anang, Cak Sumar akan ke sini. Sholat berjemaah sekaligus mengantarkan undangan dari pak Polo.” Tambah Kang Seger sambil melangkah menuju ruang utama masjid.

Ngomong dengan pak Polo? Undangan dari pak Polo? Pertanyaan ini mengusik pikiranku. Apakah kekesalan Kang Seger juga kekesalan para warga? Perasaan yang sama sebenarnya pernah aku alami. Tapi perasaan itu segera aku tepis dan aku buang jauh-jauh. Pak Ketua bersikap seperti itu, mungkin karena dia ingin hal terbaik untuk semua warga dan tempat ibadah ini. Di sisi lain aku yakin, apa yang dia lakukan sudah melalui pemikiran dan pertimbangan yang matang. Sebagai mantan guru agama, pasti dia tahu dengan apa yang dia lakukan. Tapi bagaimana dengan sikap para warga.

Rupanya waktu sholat maghrib telah tiba. Suara khas Kang Seger telah menggema mengumandangkan adzan. Para jemaah juga sudah mulai berdatangan termasuk Pak Ketua. Setelah menyalamiku, dia berdiri di belakang Kang Seger yang sedang adzan. Setelah Kang Seger adzan, kami melaksanakan sholat sunnah dua rakaat. Di sebelahku rupanya ada Ustad Kholik, Aba Anang, dan Cak Sumar. Selang beberapa menit, Kang Seger berdiri untuk iqomah. Pak Ketua kemudian maju sebagai imam.

“Pak..!” aba Anang memanggilku sambil berjalan ke arah kamar mandi. Rupanya ada sesuatu yang ingin disampikan. Aku pun mengikutinya dari belakang.

“Begini, Pak. Kemarin saya dan beberapa warga menghadap pak Polo Membicarakan pe-ngurus masjid ini.”

“Lho, memangnya ada apa dengan pengurus masjid ini Ba...?” tanyaku heran.

“Saya juga kurang paham. Tapi yang jelas para warga menghendaki pergantian ketua.”

“Lho, kok sampek segitunya sih, Ba. Apa salah beliau. Bukankah sejauh ini, beliaulah yang menjaga kesejahteraan masjid ini. Selain itu, beliau juga yang telah banyak memberikan pemahaman tentang agama kepada warga? Jadi selain ketua takmir, beliau sekaligus juga sebagai guru bagi warga kampung Gebangjati ini, kan Ba?” aku mencoba mempengaruhi Aba Anang supaya bisa membatalkan acara.

“Yang Bapak katakan itu memang benar. Tapi bagaimana lagi, warga menghedaki pak ketua diganti. Alasan mereka, pak ketua terlalu sering bersikap arogan dan mau kuasa sendiri. Saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengikuti kemauan warga.. Tapi sudahlah, Pak. Ini undangan Bapak, mari kita ke depan atau langsung ke rumah pak Polo.” rupanya Aba Anang tidak mau berbicara panjang lebar lagi. Dia mulai membalikkan badan perlahan.

“Pak Ketua juga diundang?” tanyaku sambil membuka kertas undangan.

“Ya, undangannya diberikan Ustad Kholik, di depan.” jawab Aba Anang sambil bergegas melangkah meninggalkanku.

Di luar masjid aku lihat sudah ada beberapa orang berkumpul. Aba Anang sudah bergabung dengan Ustad Kholik, Cak Sumar dan beberapa orang warga kampung lainnya. Sementara di serambi masjid ada pak ketua sedang membaca isi surat undangan yang baru diterimanya.

“Assalamualaikum,” sapaku

“Walaikumusalam. Ini gimana sih Pak Guru, kok tahu-tahu ada undangan seperti ini?” jawab pak ketua sekaligus mengajukan pertanyaan yang aku sendiri kesulitan menjawabnya. Laki-laki berbadan dan berperut besar itu kemudian duduk di sebelah tiang teras.

“Kalau ada apa-apa tentang masjid ini, harusnya pak Polo itu memberi tahu saya dulu, saya ini kan ketua takmir di majid ini. Kalau seperti ini caranya, saya tidak akan mendatangi undangan ini, Pak Guru” gumamnya sebelum aku sempat memjawab pertanyaannya.

“Tapi, Pak. Undangan ini sudah kita terima. Kita harus datang, apalagi ini atas desakan warga.” jawabku merayu pak ketua agar mau memenuhi undangan pak polo.

“Masalahnya, saya sebagai ketua takmir merasa tidak ada masalah apapun, demikian juga dengan pengurus yang lain. Tapi kok terus ada musyawarah tentang kepengurusan ini, gimana?”

“Makanya, kita harus datang biar tahu duduk persoalannya. Siapa tahu, di sana nanti kita menemukan jalan terbaik. Bukankah kita harus husnudzon, Mari kita berangkat, Pak.”

Pak Ketua hanya diam mendengarkan paerkatannku. Tapi aku tetap tidak tahu apa yang dipikirkannya. Aku kemudian berlalu meningglaknnya.

Aku jalan kaki ke arah rumah pak Polo. Aku telusuri sinar remang di jalanan kampung itu. Pikiranku juga remang dalam gumam. Aneh. Kenapa pak Ketua harus diganti? Bukankah selama ini dia telah berbuat banyak untuk kemajuan kampung ini? Dia paham tentang agama, bahkan yang paling paham di kampung ini. Tapi kenapa mereka hendak menggantinya. Lalu siapa yang akan menggantikan kedudukanya sebagai ketua. Padahal menjadi ketua takmir masjid bukanlah perkara mudah. Sehingga untuk memilih pengganti pak Ketua tentunya juga bukan perkara yang mudah.

Tanpa terasa aku sudah sampai di depan rumah Pak Polo. Di ruang tamu sudah banyak yang hadir. Semua ketua RT dan beberapa tokoh masyarakat sepertinya juga sudah hadir. Setelah melepas sandal yang aku pakai, aku memasuki ruang tamu rumah pak Polo. Seusai mengucap salam aku menyalami hadirin satu persatu sekaligus mencari tempat kosong untuk aku duduk. Akhirnya aku mendapat tempat persis di sebalah pintu masuk ke ruang utama rumah itu. Aku duduk menghadap ke selatan. Dari tempat itu, aku bisa melihat ke luar sampai ke pinggir jalan. Syukurlah, rupanya pak Ketua pun berkenan hadir memenuhi undangan Pak Polo. Ia mengendarai motor honda Vario warna merah. Setelah menyelami beberapa orang, dia menuju ke arahku. Seperti biasa, dia selalu berusaha berdekatan denganku. Dia duduk di sebelah kiriku.

Sekilas aku lihat mereka yang hadir sedikit agak tegang. Hanya sedikit yang sempat berkelekar sekedar mengisi kekosongan waktu. Pertemuan malam ini tidak seperti biasanya, makanan dan minuman yang disajikan Pak Polo masih utuh. Rupanya mereka yang hadir masih enggan menyentuhnya. Padahal makanan yang ditaruh di tengah pertemuan itu beraneka ragam, ada buah dan gorengan. Semangka, rambutan, jeruk, pisang goreng, ote-ote, dan kerupuk opel lengkap dengan solet-nya. Makanan-makanna itu diapit oleh dua teko berisi kopi hangat. Keduanya disandingi dengan setalam gelas berukuran sedang. Sebenarnya aku ingin sekali segara meneguk kopi hangat itu. Tapi selera ini aku tahan, nunggu acara pertemuan ini usai.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” upanya Cak Sumar hendak memulai acara pertemuan.

“Walaikumussalam,” jawab hadirin serentak.

Cak meneruskan kalaimat-kalimat pengantarnya dengan encer. Mulai pembukaan, pangantar awal sampai menuju tema utama pertemuan malam ini. Aku mendengarkannya dengan cermat. Dia makin mahir menjadi pembawa acara pertemuan sehingga peserta bagai terhipnotis mendengar dengan hikmat dan seksama. Tidak terlalu banyak sambutan pada acara ini, sehingga tidak terlalu banyak basa-basi. Acara demi acar meluncur cepat hingga pada acara poko, musyawarah pergantian ketua.

“Nah, sekarang silakan Pak Polo menyampaikan pendapat-pendapatnya sehubungan dengan acara pertemuan ini,” kata Cak Sumar.

“Baiklah, Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh,” pak Polo memulai berbicara.

“Sebelumnya saya mohon maaf, sebeanranya semula saya tidak tahu persoalan ini. Tapi beberaapa warga datang menghadap saya, menyampaikan keluhan.perihal pergantian ketua. Lah, ini kebetulan para ketua RT juga hadir. Saya nanya, apa benar warga menghendaki pergantian ketua?”

“Yaaaa..benar,” jawab hadirin serentak.

“Alasannya apa, Njenengan semua menghendaki pak ketua diganti? Bukankah beliau ini, sudah punya banyak jasa di kampung kita,” lanjut pak Polo.

“Benar Pak Polo, tapi kelakuannya itu lho, “ Pak Adnan ketua RT 20 menjawab singkat.

“Dia sering bersikap arogan, berbuat semaunya, memerintah orang seenaknya, karenanya dia perlu diganti” lanjutnya dengan kalimat yang lebih tajam.

Peserta musyawarah yang lain kulihat memberikan reaksi yang berbeda. Ada yang manggut-manggut, ada yang berbisik-bisik. Ada bergumam lirih, “Benar.” Sementara Pak Ketua kelihatan gelisah. Kelihatan mulai tidak sabar untuk segera berunjuk kata. Tapi segera aku usap pahanya, sebagai tanda agar dia bersabar. Usahaku untuk membuatnya diam rupanya gagal.

“Lho, Maksud Pak Adnan, saya arogan gimana?” pak Ketua mulai bicara dengan suara yang berat.

“Maaf pak ya, ini keluhan yang saya terima dari warga saya, RT 20. Coba Ger jelaskan lagi di forum ini keluhanmu waktu di rumah saya kemarin, biar jelas,” jawab Pak Adnan sambil meng-alihakn pandangan ke arah Kang Seger yang sedang duduk di pojok sebelah barat.

“Ya, Pak. Saya memang mengeluh ke pak Adnan. Selaku ketua RT saya tentang sikap pak Ketua terhadap saya. Waktu itu pak Ketua menyuruh saya mematikan lampu yang ada di tempat wudlu. Tapi saya tidak mau. Karena kalau dimatikan lokasi tempat wudlu kurang terang. Tapi Pak Ketua malah mentang-mentang,” Kang Seger menjelaskan duduk perkaranya. Peserta musyawarah yang lain diam, memperhatikan penjelasan kang Seger itu.

“Lho, Ger kamu tidak mau, saya ini ketua di masjid ini. Saya punya hak untuk mengatur masjid ini. Kamu harus mengikuti apa yang saya kehendaki. Itu yang dia katakan waktu itu,” tukas kang Seger menirukan ucapan Pak Ketua. Pak Ketua menarik nafas dalam mendengar penjelasan Kang Seger itu

“Wah! itu nggak bener, yang dikatakannya itu fitnah,” jawab pak Ketua bereaksi.

“Sudahlah Pak. Tidak usah mengelak. Yang merasakan sikap arogan sampean itu bukan hanya Seger. Dan yang mengeluhkan sikap sampean itu ya bukan hanya Seger. Malah hampir semua orang yang bermaksud membantu sampean di masjid itu juga sudah merasakan, “ tiba-tiba pak Marto nyerobot pembicaraan.

“Dan kalau orang-orang itu disuruh ngomong, saya rasa kok kurang etis. Makanya mari kita fokus pada tujuan pertemuan ini. Mengganti ketua Takmir Masjid. Ini yang harus dibicarakan,” lanjutnya pula.

“Setujuuu..,” jawab hadirin serentak.

Suasana pertemuan ini sepertinya memang kian panas. Apa yang dikatakan Pak Marto itu juga ada benarnya. Karena jika keadaan seperti ini dibiarkan maka pertemuan ini akan menjadi ajang hujat menghujat. sehingga akan sulit menemukan solusi. Aku melirik dan memberi kode pak Polo agar menetralisr keadaan.

“Bapak dan saudara sekalian. Apa yang dikatakan Pak Marto itu tidak salah. Mari kita fokus pada tujuan pertemuan ini. Tapi sebelum menentukan perlu tidaknya Pak Ketua diganti, saya rasa perlu memberikan kesempatan pada pak Ketua untuk mengklarifikasi,” ungkap Pak Polo kepada semua yang hadir. Mereka semua kemudian diam walaupun ada sebagian yang menggerutu.

“Mari kita dengarkan penjelasan Pak Ketua. Silakan Pak!” lanjut pak Polo.

Kulihat pak Ketua lagi-lagi menarik nafas. Dia kemudian sedikit bergeser agak ke depan seakan mengisyaratkan bahwa dia siap melakukan klarifikasi.

“Baiklah. Terima kasih Pak Polo. Bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian. Terus terang saya merasa tidak nyaman dalam pertemuan ini. Lebih-lebih setelah mendengar penjelasan-penjelasan tentang sikap saya. Sungguh saya tidak bermaksud seperti itu. Apa yang saya lakukan selama ini semata-mata karena saya ingin yang terbaik untuk masjid kita dan untuk warga kampung Gebangjati ini. Tapi, jika sikap saya itu membuat tidak nyaman Bapak-bapak dan Saudara-saudara sekalian, saya minta maaf. Sekali lagi, maaf,”

“Huuu..., udah gak usah basa basi. Ganti ya ganti,” kata beberapa orang hadirin mengeluarkan kekesalannya.

“Tapi soal pergantian ketua takmir masjid, bukannya saya tidak mau, tapi jujur saja, saya belum bisa, saya belum ikhlas. Karena sampai saat ini, saya belum menemukan figur yang pas untuk nangani masjid kita,” lanjut pak Ketua seakan tanpa peduli dengan gumaman di sekitarnya.

“Kalau memang saya akan diganti, coba tunjukkan siapa penggantinya?” tanya Pak Ketua.

Mendengar pertanyaan seperti itu, hadirin sempat terdiam. Lalu mereka saling pandang satu sama lain Seakan mereka baru menyadari bahwa sebelum pertemuan mereka tidak sempat memi-kirkan siapa orang yang pantas menggantikan pak Ketua sebagai ketua takmir.. Sebagian ada melirikku, sebagian ada yang menoleh ke Aba Anang. Tiba-tiba Cak Bambang mengangkat tangan pertanda ada sesuatu yang akan disampaikan.

“Kalau dikatakan tidak ada figur yang pas, menurut saya itu salah. Saya sangat setuju kalau Aba Anang atau pak guru Sukis dicalonkan menjadi ketua. Saya yakin, beliau-beliau itu mampu menjadi ketua,” kata lelaki yang bertugas di bagian kebersihan masjid itu.

“Ya, setuju,” timpal Pak Adnan, yang diikuti peserta pertemuan yang lain. Aku dan Aba Anang seketika saling pandang.

“Bagaimana Aba Anang, juga Pak Sukis, setujukah?” tanya pak Polo.

“Jangan sayalah, nggak sanggup. Saya bagian bantu-bantu aja. Saya setuju kalau pak Sukis yang menggantikan Pak Ketua,” jawab Aba Anang tegas sambil menoleh ke arahku.

“Gimana Pak?” tanya Pak Polo pula.

Aku menggeser sambil membenahi posisi dudukku. Entah kenapa kemudian aku menarik nafas panjang. Ini kesempatanku untuk berbicara, pikirku. Walaupun, sebenarnya aku merasa keberatan menerima tugas dan tanggung jawab sebagai ketua.

“Baiklah. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” aku langsung uluk salam sembari mengalihkan perhatian peserta pertemuan.

“Waalaikumussalam.”

“Bapak dan Saudara sekalian, ijinkan saya menyampaikan pendapat sehubungan dengan masalah pergantian ketua ini,” lanjutku. Mereka semua mengalihkan pandangan ke arahku seakan mereka siap mendengarkan apa yang akan aku sampaikan

“Secara pribadi saya setuju kalau ketua takmir Masjid kita diganti. Sepertinya memang sudah waktunya regenerasi. Tapi perlu kita ingat bahwa menjadi ketua takmir masjid itu bukan pekerjaan mudah. Yang diurusi kan bukan hanya bangunan, ataupun lampu misalnya lebih-lebih pertang-gungjawabnnya kan dunia akherat.,“ aku menghentikan bicaraku sejenak. Kuperhatikan, semuanya diam merunduk. Aba Anang dan Ustad Kholik terlihat manggut-manggut, entah apa yang sedang mereka pikirkan.

“Karenanya, harap maklum kalau Pak Ketua kemudian bersikap yang mungkin dirasa kurang nyaman. Kemudian kita maklumi juga kalau pak Ketua menyatakan belum bisa diganti untuk sementara ini dengan alasannya tadi. Soal kepercayaan Bapak-bapak dan Saudara-saudara yang hendak mencalonkan saya sebagai ketua, saya ucapkan terima kasih sekaligus saya minta maaf. Saya sama seperti Aba Anang. Saya merasa kurang layak untuk menduduki jabatan mulia ini. Nah, sekarang begini saja. Ini kalau saya boleh usul,” lanjutku.

“Ya silakan, Pak,” jawab pak Polo dan ustad Kholik bersamaan.

“Bagaimana kalau Pak Suud ini kita beri kesempatan untuk tetap menjadi ketua? Sekalian biar beliau mencari calon penggantinya. Ya, kita bantu juga tentunya.” tukasku singkat. Pak Ketua sekilas menoleh ke arahku.

Suasana pertemuan hening sejenak. Lagi-lagi mereka saling pandang satu sama lain. Pada wajah-wajah mereka tersirat rasa kecewa.Tapi untunglah suasana kembali mencair ketika Ustad Kholik menyampaikan pendapatnya.

“Bapak-bapak, saya kira usulan Pak Sukis ini ada baiknya. Sementara Pak Ketua tetap saja pada posisinya. Dengan syarat, Pak Ketua mau mengubah sikap atau perilakunya,” katanya dengan kalem

“Pak Ustad, saya setuju pendapat ini,” kata Pak Adnan.

“Sebenarnya, saya masih percaya kok Pak Suud tetap jadi ketua. Kami para warga sebanarnya menyadari kalau jasa Pak Suud sudah banyak untuk kampung ini. Kami juga masih butuh ceramah-cearmahnya. Tapi kalau sepak terjangnya masih tetap seperti itu, ya untuk apa?” lanjutnya.

“Ya benar,” kata Kang Seger. Sementara peserta yang lain mulai terlihat seperti menjadi penonton bulu tangkis yang hanya menolah-nolehkan kepala.

“Saya butuh ketua yang tidak hanya pinter ngomong, tapi juga bisa mengerti dan menghargai orang lain. Setidaknya sikap, perkataan, dan perilakunya itu bisa dicontoh. Bukan begitu Bapak-bapak?” lanjutnya seraya mengajak perserta pertemuan untuk menyepakati pendapatnya itu.

“Ya, betul,” kata sebagian orang serentak.

“Sekarang, terserah Pak Ketua. Mau berubah atau tidak?” ucap kang Seger lagi seraya melirik Pak Ketua yang sedari tadi hanya diam dan merunduk.

“Pak Polo,” kata Pak Ketua tiba-tiba sambil mengacungkan tangan. Pak Polo menyilakannya dengan isyarat.

“Baiklah Bapak-bapak. Ijinkan saya untuk menyampaikan tanggapan terhadap dan pandangan yang disampaikan tadi. Sekali lagi saya minta maaf. Barangkali apa yang saya lakukan selama ini memang kurang berkenan. Terus terang, saya baru sadar, saya sebagai ketua takmir sepertinya telah termakan oleh dogma dan prinsip saya sendiri. Sehingga saya kemudian bersikap ego atau mau menang sendiri. Karenaya sekali lagi saya minta maaf. Lalu, masalah pergantian ketua, bukannya saya tidak mau diganti, tapi selama ini saya memang merasa belum menemukan figur yang tepat. Tapi kalau Bapak-bapak memang menghendaki pergantian itu dilakukan sesegera mungkin, silakan.Saya sungguh tidak berkeberatan. Karena seperti yang disampaikan pak guru Sukis tadi, memang sudah saatnya regenerasi. Soal siapa yang akan jadi, nanti kita bicarakan bersama lagi dan teknisnya sepenuhnya saya serahkan pada Pak Polo,” para hadirin diam mendengar penjelasan Pak Suud yang panjang lebar itu. Suasana pertemuan ini benar-benar hening.

Jujur, aku merasa agak lega melihat tensi pada pertemuan ini mulai menurun. Aku baru menyadari, kalau ternyata para warga hanya bermaksud memberikan pelajaran pada Pak Ketua. Dan sepertinya berhasil. Pak Ketua menyadari kekurangannya dan dengan jantan meminta maaf. Segalanya telah terang. Lampu-lampu kembali menyala. Lampu-lampu yang sempat buram hanya karena karat pada sebagian fitting-annya. Sinar-sinarnya pun telah menyala di setiap wajah orang yang hadir di tempat itu.

Mojokerto, 14 Juli 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Seru abah ceritanya.. Keren

15 Jul
Balas



search

New Post