Agus Suryadi, SDN Rengasdengklok Ut

Masih belajar menulis dan merangaki kata....

Selengkapnya
Navigasi Web
JODOH YANG TERTUNDA

JODOH YANG TERTUNDA

JODOH YANG TERTUNDA

Aku memarkirkan motor, menyalakannya setelah melewati pagar rumah Diah, tempat teman semasa SMU berkumpul. Kami menyebutnya dengan Reuni Mini. Jujur saja, aku tidak menikmati acara reuni tadi. Menyebalkan!

Sepertinya hanya sebagai objek penderita saja. Gurauan mereka membuat aku tersenyum kecut. Apalagi kalau bukan seputar pertanyaan “kapan nikah?”.

Siapa sih yang mau jika seumuranku yang sudah hampir memasuki usia duapuluh delapan tahun, tapi belum juga menikah? Siapa juga yang mau kalau kemana-mana masih tetap sendiri tanpa ada yang mengantar? Tadi saja sewaktu reunian di rumah Diah, teman-teman perempuan semua diantar oleh suaminya, malah anaknya juga mereka bawa. Aku? Tetap saja jomblo. Jangankan suami atau anak, pacar saja tidak punya. Huh!

Aku memimpikan mempunyai suami yang tampan, gagah, soleh, baik, pintar dan ... banyak dalam daftar calon suami. Saking banyak dan selektifnya, malah menjadikan aku JONES, alias Jomblo Ngenes. Setiap ada laki-laki yang mendekat, selalu saja ada yang kurang menurut penilaianku.

Dalam doa yang di panjatkan, selalu saja kata jodoh yang memenuhi kalimat doa. Malah akhir-akhir ini, dalam doa aku tambahkan satu kalimat pamungkas “ Ya Tuhan, kabulkanlah doaku ... berilah aku jodoh yang terbaik. Terserah Engkau memberikan aku calon suami yang seperti apa, yang penting dia sayang dan mencintaiku apa adanya,” ahhh, pasrah, daripada jomblo seumur hidup!

@@@@@@@

Aku memacu motor dengan kecepatan rendah. Ujung mata melirik jam tangan, hampir pukul lima sore. Pantas saja jika jalan cukup ramai, karena jam segini adalah jam di mana para Karyawan pabrik mulai pulang dan saling mendahului. Aku mengambil jalan paling pinggir, tidak berani mengambil jalur yang agak tengah. Takut kesenggol atau terserempet.

Aku tidak mau jika mimpi tentang suami yang sayang dan mencintaiku apadanya, pupus karena kecelakaan di jalan raya. Hiy!

Ciiitttt ... Brak!

Terdengar suara lumayan keras. Dari kaca spion terlihat motor terguling di pinggir jalan, sekitar limapuluh meter di belakangku. Segera aku melambatkan laju sepeda motor dan berhenti di pinggir jalan. Menoleh ke belakang setelah membuka kaca helm yang aku kenakan. Jalan lumayan ramai, tapi tak satu pun pengendara yang berhenti untuk menolong. Mereka hanya berhenti sebentar, melihat lalu berlalu begitu saja tanpa memberikan pertolongan.

“Benar-benar tidak punya rasa empati sama sekali” aku menggerutu.

Segera aku berlari menghampiri setelah sebelumnya mengamankan motor yang aku kendarai di tempat yang aman.

Susah payah aku mengangkat korban yang ternyata seorang remaja perempuan dibantu oleh beberapa anak muda. Setelah memastikan jika ada luka pada bagian kaki dan tangan, aku membawanya ke PUSKESMAS terdekat.

Masalah muncul ketika keluarga korban datang, tanpa bertanya lagi, mereka semua memarahiku dengan suara yang sangat keras. Apalagi laki-laki muda yang belakangan aku tahu jika dia adalah kakak laki-laki korban, dia begitu marah setelah tahu adik perempuannya berdarah. Mereka mengira akulah yang telah membuat gadis muda itu celaka dan terluka. Aku hanya bisa diam dan mengusap dada. Huf!

Dina, nama gadis itu tidak bisa berkata-kata. Dia hanya menangis menahan sakit ketika jarum tajam menusuk kulitnya. Beberapa jahitan menghiasi tangan dan kakinya.

Setelah kejadian itu, hubungan aku dengan Dina, gadis yang jatuh dari motor menjadi akrab. Kami sering berbagi cerita. Sebagai ucapan terimakasih, Dina menganggap aku sebagai kakaknya. Malah, Dina bercerita jika kakak laki-lakinya merasa sangat bersalah sudah memarahiku tanpa bertanya dulu tentang kejadian yang sebenarnya. Aku langsung memutar memori, mengingat kejadian hari itu. Memang benar, Kakak laki-laki Dina sangat marah, jika saja dia tidak tampan dan gagah ... mungkin sudah aku tampar mukanya. Dih!

************************

Malam minggu. Sama seperti malam sebelumnya. Hampa. Mau main, main ke mana? Aku bukan gadis remaja yang bisa mengisi malam minggu berdua dengan pacar. Pacar? Hadeuh ... pacar dari Hongkong? Hehe ....

Setelah melipat sajadah dan mukena seusai sholat isya, aku berbaring di ranjang. Mengambil telepon genggam dan membuka pesan singkat. Dua pesan singkat dari Dina. Aku tersenyum setelah membacanya. Pesan yang pertama “Akan ada Arjuna yang singgah di Singasana hatimu” aku membaca pesan yang kedua “Dandan yang cantik ya ...”

“Dih, apaan sih Dina ... “ aku tersenyum. Menutup layar telepon genggam.

“Ya Tuhan, bukan mimpi jika aku menginginkan ada laki-laki yang resmi berbaring di sampingku, bukan bantal guling kumel kayak gini,” aku memeluk bantal guling.

Detak jarum jam jelas terdengar di telinga.

Samar aku mendengar ada suara ketukan dipintu depan. Aku bergegas bangkit.

“tok! ... tok! ... tok! ....”

“Assalamuallaikum,”

“Waalaikum sallam ... “ aku bergegas membuka pintu.

Deg!

Aku memandang orang yang berdiri di depan pintu. Mataku beralih ke wajahnya.

“Saya Angga, kakaknya Dina. Maaf, sudah mengganggu,” dia tersenyum. Manis sekali.

“Oh ... eh ... iya, oh ... silahkan masuk” aku jadi salah tingkah.

“Tidak usah, saya duduk di luar saja. Lebih adem,” lagi-lagi Angga tersenyum.

“Ya Tuhan, apa ini?” bisikku dalam hati.

Akhirnya kami berdua duduk di serambi rumah. Kursi jadi saksi bisu pertemuan pertama antara aku dengan Angga. Lama kami saling diam. Jantungku berdetak lebih kencang. Entahlah dengan detak jantung Angga, aku rasa tidak jauh berdeda.

Malam ini terasa begitu panjang. Angga meminta maaf tentang kejadian tempo hari.

“Dina banyak cerita, jujur saja, saya sangat mengagumi Teteh.

“Hah? Dia memanggil aku dengan sebutan Teteh?” batinku.

Aku hanya diam, kehabisan kata-kata. Pujian yang ia berikan membuat hidungku kembang kempis. Apalagi di ujung pembicaraan, dengan jelas Angga mengatakan “Mau kan Teteh jadi pacar saya?”

Setelah kejadian malam itu, malam minggu tidak lagi terasa kelabu. Kelabu telah berubah menjadi biru.

Dua bulan berlalu, Hubungan kami semakin dekat. Jika saja tidak ada halangan, minggu depan kami akan menikah. Mengikat dua hati menjadi satu. Padahal usia kami terpaut cukup jauh. Dia lima tahu lebih muda dari usiaku. Dengan mantap Angga mengatakan jika menerima aku apaadanya.

“Ya Tuhan, Engkau telah mengabulkan permohonanku. Mewujudkan mimpi-mimpi yang telah aku rangkai sedemikian rupa. Kau berikan Lelaki tampan, gagah, muda dan mau menerima kekurangan dan kelebihanku. Kau ganti guling kumel dengan Angga yang putih dan bersih,” aku menutup doa dengan senyum sumringah.

Di samping tempatku berbaring, Angga, lelaki yang sudah resmi menjadi suamiku sejak jam sembilan tadi pagi, mengedipkan matanya dengan genit. Hampir tengah malam. Harum melati memenuhi ruang kamar pengantin.

“Blep, Angga mematikan lampu,”

Entahlah, setelah itu apa yang akan terjadi selanjutnya ....

Tamat

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Hmmm....cerita cinta yang indah

23 Apr
Balas

Selamat Teteh, bahagia selalu.

18 Nov
Balas



search

New Post