Agus Suryadi, SDN Rengasdengklok Ut

Masih belajar menulis dan merangaki kata....

Selengkapnya
Navigasi Web
KERA LUGU DAN KANCIL PENIPU (DONGENG ANAK)

KERA LUGU DAN KANCIL PENIPU (DONGENG ANAK)

Siang lumayan panas. Matahari yang sepenggalah, memancarkan sinarnya dengan cukup menyengat. Padahal, belum juga tengah hari. Musim kemarau kali ini memang cukup menyiksa bagi para penghuni hutan. Air sungai yang mulai mengering, rumput yang mulai menguning, dan daun-daun yang juga mulai jatuh dari pohonnya.

“Ke mana lagi aku harus mencari air? Tenggorokanku benar-benar sudah kering.” kata Kancil, dalam hatinya.

Kancil berjalan dengan langkah yang mulai melambat. Keringat membasahi badannya. Kancil terus berjalan. Matanya sibuk mencari-cari, siapa tahu ia bisa menemukan sedikit air, sekedar untuk menghilangkan rasa hausnya. Tiba-tiba saja, matanya tertuju pada Kaka, si Kera kecil. Kaka si Kera sedang sibuk memukul-mukul batok kelapa dengan batu. Kaka si Kera berusaha memecahkan batok kelapa.

“Hey, Kaka ... kamu sedang apa?” tanya Kancil. Matanya penuh selidik.

“Eh, kamu, Cil. Aku sedang memecahkan buah kelapa. Aku rasa, air kelapa lumayan segar jika diminum disiang yang lumayan panas seperti ini,” kata kaka si Kera. Tangannya sibuk memukul-mukul batok kelapa.

Kancil mendekat.

“Hmmm ... air kelapa? Tentu saja air kelapa sangat nikmat jika diminum di hari yang panas seperti ini, Kaka ...” gumam kancil. Timbul niat jahat dalam hati kancil.

“Hey, kaka. Apakah kamu tahu, jika air kelapa akan menjadi racun jika diminum disiang hari?” kata kancil dengan wajah yang sangat serius. Kakinya melangah mendekati Kaka si Kera.

“Benarkah? Kok aku baru tahu ya? Bukankah air kelapa itu menyehatkan dan menyegarkan?” kata kaka si Kera kecil dengan penuh tanya.

“Aku tidak bohong. Biasanya, kita akan sakit perut, lalu muntah-muntah ... makanya, lebih baik kamu jangan minum air kelapa itu. Tapi ... itu juga kalau kamu percaya dengan omonganku.” Kata kancil lagi, meyakinkan Kaka. Padahal kancil sudah tidak sabar ingin menikmati air kelapa yang sudah mulai terbelah bagian atasnya dan mengeluarkan air.

“Hiyyy ... aku tidak mau sakit!” ujar Kaka. Tangannya melepaskan buah kelapa. Lalu pergi meninggalkan Kancil. Setelah Kaka tidak terlihat lagi. Buru-buru kancil mengambil buah kelapa dan meminum airnya.

... glek .. glek .. glek ...

“Hmmm ... segarrr ... .” kata kancil, wajahnya terlihat senang. Hausnya sudah hilang sekarang. Kancil sudah membohongi Kaka si Kera kecil.

“Dasar Kera bodoh! Mau saja aku tipu ... hahaha” kata Kancil.

Kancil melanjutkan langkahnya. Kali ini perutnya mulai terasa lapar. Padahal, rumput sudah tidak ada lagi yang hijau. Kancil terus berjalan, dan lagi-lagi Kancil bertemu dengan Kaka si Kera kecil yang sedang sibuk bergelantungan di atas pohon mangga.

“Eh ... kaka, kamu sedang apa?” kata Kancil. Matanya sibuk memandang Kaka yang berpindah-pindah dari dahan satu ke dahan yang lain.

“Aku sedang mencari buah, siapa tahu ada buah yang bisa aku makan.” Kata kaka si Kera.

“Oh, begitu ya? Bolehkah aku menunggu di bawah sini? Siapa tahu ada buah yang jatuh,” Kata kancil. Matanya terus memandang ke arah kera.

“Tentu saja boleh.” Kata kaka si kera.

“Horeee! ... ada buah mangga yang besar dan masak!” teriak Kaka si kera. Tangannya sibuk memetik buah mangga yang lumayan besar.

Mendengar teriakan kaka si Kera, kancil bangun dari duduknya. Rasa lapar lagi-lagi membuat ia memutar otak untuk membohongi kaka si Kera kecil.

“Kaka! Jangan kau makan buah mangga itu!” teriak kancil.

“Lho? Memangnya kenapa Kancil?” tanya Kaka dengan wajah keheranan. Matanya memandang Kancil yang berdiri di bawah pohon mangga. Tangan mungilnya mendekap buah mangga.

“Yang aku tahu, jika kita memakan buah mangga di musim kemarau, apalagi buah itu hanya ada satu, maka tubuh kita akan gatal-gatal. Tapi ... itu juga kalau kamu percaya dengan omonganku. Aku sarankan, lebih baik kamu buang jauh-jauh mangga itu!” Kata Kancil setengah berteriak. Matanya tajam memandang wajah Kaka si Kera yang mulai ketakutan.

“Hiyyy ... aku tidak mau sakit!” kata Kaka si kera, lalu melemparkan buah mangga dari dekapannya.

Kaka si Kera kecil yang lugu, lagi-lagi terpedaya oleh omongan kancil.

Mata kancil terus memandang ke arah Kaka si kera yang pergi menjauh dari pohon mangga. Setelah Kaka tidak terlihat lagi, bergegas Kancil mencari buah mangga yang tadi dilemparkan oleh kaka si Kera

“Aha ... ketemu! Nyem .. nyem .. buah mangga yang masak dan besar! Cukup untuk mengganjal perutku yang sudah lapar,” ujar Kancil. Lalu memakan buah mangga dengan lahapnya.

Setelah kenyang memakan buah mangga, Kancil kembali melanjutkan perjalanannya. Belum jauh Kancil berjalan, lagi-lagi ia bertemu dengan Kaka si Kera kecil. Kaka sedang duduk manis. Di depan Kaka ada banyak sekali buah-buahan. Ada pisang, apel, jeruk dan pepaya. Semuanya terlihat segar.

“Wah, kaka! Darimana kamu dapatkan buah-buahan ini?” kata kancil. Bergegas ia mempercepat langkah kakinya, menghampiri Kaka si Kera kecil.

“Ini bukan milikku.” Kata kaka.

“Ah, kamu jangan bohong, Kaka. Aku tahu .. kamu pasti tidak mau berbagi denganku, betulkan? Kamu memang serakah, Kaka. Padahal tadi aku sudah baik hati mengingatkanmu tentang air kelapa dan buah mangga. Tapi apa balasannya?. Kamu memang jahat!” kata kancil dengan wajah yang ia buat sesedih mungkin.

“Aku tidak bohong. Ini memang bukan milikku. Silahkan saja kalau kamu mau, ambil sendiri.” Kata Kaka si Kera kecil. Lalu pergi meninggalkan Kancil sendirian.

“Hmm ... banyak sekali buah-buahan di sini. Kaka memang kera yang baik, tapi bodohnya minta ampun. Mau saja aku bohongi ... hahaha” kancil berjalan mendekati buah-buahan. Mendekat dan semakin mendekat. Tiba-tiba ... sreeeetttt .... braakkkkk!!! Seketika tubuh kancil bergelantungan di antara buah-buahan. Tubuh kancil terperangkap dalam jaring!

Ternyata itu adalah perangkap yang sengaja dipasang untuk menjebak binatang.

Tentu saja kancil sangat kaget.

”Toloongggggg ... tolong aku ....” kancil berteriak sekuat tenaga.

Tapi tidak ada yang menolong kancil. Kaka si kera kecil telah jauh pergi. Bergelantungan didahan pohon, di temani Riri si burung Nuri. Kaka baru tahu jika ia telah dibohongi oleh Kancil dari Riri si burung Nuri yang terus memata-matai Kancil dari kejauhan. Dari air kelapa dan buah mangga yang sebenarnya dinikmati oleh Kancil.

Sementara itu, kancil terus meminta tolong. Ia telah menyesali perbuatannya. Berbohong dan serakah telah membuatnya terjebak dalam jaring pemburu.

“Maafkan aku Kaka ... .” kata kancil dalam hati kecilnya.

Rengasdengklok 10-06-2016

PUTRI BUTA DAN PEMUDA JUJUR

Tidak seperti biasanya. Halaman istana kerajaan penuh dengan orang yang berkerumun. Riuh rendah penduduk berteriak terdengar bersahut-sahutan. Seperti ada sebuah pertunjukan.

Ternyata di halaman istana sedang diadakan sayembara.

Dan hadiah bagi siapa saja yang dapat melalui ketiga ujian tersebut, maka ia akan menjadi pewaris takhta kerajaan sekaligus menikah dengan tuan putri yang cantik jelita. Bernama putri Nara.

Walaupun semua orang sudah tahu jika sang putri tidaklah normal seperti gadis yang lainnya. Putri cantik jelita, tetapi ia buta.

Tak ada yang disembunyikan tentang kebutaannya. Semua orang tahu. Tetapi, di balik kekurangannya itu, tuan putri bukanlah gadis yang hanya mampu bermanja dan berdiam diri. Ia gadis yang sangat pintar.

Karena itulah, semua putra mahkota rela datang dari jauh hanya untuk mengikuti sayembara agar kelak dapat menjadi suaminya.

Sang Raja tidak membatasi hanya putra mahkota saja yang dapat ikut serta, rakyat jelatapun boleh ikut sayembara. Asal mereka mampu melewati syarat-syarat yang telah di tentukan oleh sang Putri. Syaratnya yaitu pandai berkuda, jago memanah dan pandai memahat kayu menjadi ukiran yang cantik.

Dari tiga peserta yang ada ternyata ada satu peserta dari golongan rakyat biasa. Dia adalah pemuda bernama Sundana.

Sundana tidak kalah tampan dengan putra mahkota lainnya. Tetapi karena dia dari kalangan rakyat biasa dengan pakaian dan penampilan yang sederhana, maka ia tampak biasa-biasa saja. Tidak ada kesan mewah sama sekali. Sangat jauh bila dibandingakan dengan penampilan para putra mahkota.

Sundana pemuda yang gagah berani. Sangat dikenal sebagai pemuda yang suka menolong dan juga pekerja keras. Tak sedikitpun kesan sombong tergambar di wajahnya.

Sayembara yang pertama adalah uji ketangkasan menunggang kuda. Tiga peserta telah siap di lintasannya masing-masing.

“Baiklah, semua peserta siap-siap” kata ponggawa kerajaan yang menjaga garis awal perlombaan.

“Satu ... dua ... tiga ...”

Ketiga peserta memacu kuda dengan kekuatan penuh. Tak ada yang mau mengalah. Semua saling kejar dan saling adu kekuatan. Ajaibnya, ketiganya sampai di garis finis yang sama. Semua penonton bersorak gembira.

“Benar-benar pemuda yang sangat hebat. Mereka sangat cocok memimpin dan menggantikannku sebagai penguasa kerajaan” guman sang Raja.

“Siapa yang menang ayahanda” tanya sang putri.

Dia tidak dapat melihat jalannya perlombaan. Hanya dapat mendengar sorak-sorai para penonton saja.

“Semuanya menang, tak ada yang mau mengalah. Aku bingung dengan kehebatan mereka putriku.

Tak mungkin aku memilih di antara mereka” kata sang Raja.

“Bukankah masih ada ujian selanjutnya?” tanya putri Nara

“Ya, masih ada dua lagi” jawab sang raja. wajahnya tersenyum bangga.

Selanjutnya para peserta akan melaksanakan lomba memanah. Mereka akan di biarkan pergi berburu kedalam hutan dengan waktu hanya satu jam. Siapa saja yang membawa hasil buruan yang paling besar, maka dialah yang akan memenangkan perlombaan.

Setelah aba-aba diucapkan oleh ponggawa, berlarilah para peserta kedalam hutan. Mereka berpencar. Mencari tempat yang mempunyai hewan buruan paling besar. Tak ada yang dapat dipungkiri tentang kehebatan para peserta. Mereka adalah orang-orang yang paling hebat dan jago berburu.

Hampir satu jam.

Para penonton mulai terlihat tegang. Siapakah kira-kira yang akan keluar dari dalam hutan dengan membawa hasil buruan yang paling besar.

Sebenarnya para penonton berharap Sundana-lah yang akan memenangkan sayembara ini. Karena mereka tahu jika Sundana adalah orang yang sangat mereka kenal kesehariannya.

Ada semak yang bergerak. Ternyata para peserta mulai keluar hutan dengan hasil buruan yang disimpan dipundaknya. Ada anak panah tepat menancap di tempat yang sama dihasil buruan mereka.

Ajaibnya mereka hampir keluar dengan bersamaan. Dan dengan hasil buruan yang juga sama besarnya.

Ini membuat penonton semakin bersorak. Karena mereka membayangkan akan dipimpin oleh raja yang gagah berani dan juga jago memanah.

“Siapa yang memenangkan lomba Ayahanda?” tanya putri Nara. Ia sangat penasaran.

“Hebat! Tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang dalam uijan memanah anakku. Mereka sama-sama pandai memanah dan berburu. Aku kagum pada mereka.” Kata sang Raja penuh takjub.

“Berarti mereka harus melewati ujian terakhir ayahanda. Yaitu ujian kejujuran. Aku ingin kelak kerajaan ini akan dipimpin oleh orang yang jujur. Karena kejujuran adalah penopang kehebatan dan kekuatan. Kehebatan dan kekuatan tidak akan abadi jika tidak di barengi dengan kejujuran. Ayahanda, ijinkan aku yang akan menguji kejujuran mereka” pinta sang putri.

“Silahkan anakku. Ayah mengijinkan engkau yang menguji. Karena kelak engkaulah yang akan mendampingi raja dalam memimpin kerajaan ini,” kata sang Raja dengan sangat bijaksana.

“Wahai calon pemimpin kerajaan. Aku minta kalian membawa hasil ukiran yang menjadi persyaratan terakhir yang aku ajukan untuk menggenapi tiga syarat” putri Nara berkata dengan lantang diatas panggung kehormatan.

Ketiga peserta naik ke atas panggung dengan membawa hasil ukiran. Ukiran yang sangat indah dan halus. Tapi sayang putri Nara tidak dapat menikmati keindahan hasil ukiran dari ketiga peserta. Karena putri Nara memang buta.

Ketiga peserta berjajar di atas panggung. Para penonton yang dengan setia menunggu hasil lomba berkerumun di bawah panggung.

Sundana berdiri di deretan paling terakhir.

“Sebelum aku menilai, ijinkan aku bertanya. Dan aku ingin kalian menjawab dengan jujur.” Kata sang putri. Bibirnya tersenyum.

Hening. Semua terdiam.

“Ya aku akan berkat jujur. Aku adalah anak Raja dari kerajaan Daruga yang terkenal dengan kesuburan tanahnya,” jawab peserta yang pertama.

“Akupun demikian. Tak mungkin anak Raja Kumara yang gagah berani pandai bersilat lidah.” Kata peserta yang kedua.

“Dan selanjutnya? Siapa namamu?” tanya putri Nara. Wajahnya menoleh kesebelah kiri setelah peserta yang kedua.

“Aku Sundana. Anak petani sederhana yang hanya mempunyai kesetiaan pada sang Raja” jawab Sundana.

Putri Nara hanya tersenyum. Senyum yang penuh dengan kecerdasan seorang putri yang sudah sangat teruji.

“Baiklah, aku akan memegang hasil karya ukiran kalian satu persatu. Dan apakah ini ukiran yang kalian buat sendiri tanpa bantuan orang lain?” tanya putri Nara.

“Tentu saja tuan putri. Mana mungkin aku berani berbohong. Ini aku buat dengan tangan aku sendiri dengan kayu yang aku tebang dan aku potong hingga akhirnya menjadi ukiran indah. Dan ukiran inilah yang akan aku berikan kepada putri sebagai hadiah jika nanti aku terpilih menjadi pemenang,” kata pemuda dari kerajaan Daruga.

“Ya, aku pun demikaian tuan putri. Akulah yang membuat sendiri dari awal ukiran ini,” kata anak Raja Kumara.

“Lalu yang satunya lagi bagaimana?” tanya sang putri.

“Aku tidak pandai berkata-kata tuan putri. Tapi yakinlah jika akupun sama dengan mereka. Membuat ukiran ini dengan sepenuh hati dan sekuat raga” jawab Sundana.

“Baiklah. Semua dengan jawabannya masing-masing. Tapi aku mempunyai cara lain untuk menilai. Ucapan tidak dapat diukur, tapi hati tidaklah dapat dibohongi. Bolehkah aku memegang telapak tangan kalian?” tanya sang putri.

“Tentu saja boleh,” jawab mereka serempak

Tuan putri berjalan mendekati para peserta. Tangan halusnya memegang telapak tangan para peserta. Setelah selesai memegang telapak ketiga peserta, tuan putri kembali ketempat semula.

“Baiklah, aku sudah menemukan siapa pemenangnya. Aku harap tidak ada yang kecewa dngan keputusanku. Perlu kalian ketahui, mataku memang buta. Tak dapat menkmati indahnya warna. Tapi aku dapat merasakan kata-kata hati. Ada dua diantara kalian yang berbohong. Dan aku tahu siapa saja mereka,” kata tuan putri.

Suasana menjadi hening.

“Mana mungkin seorang yang menebang kayu, memotongnya, membuatnya menjadi balok serta mengukirnya seindah itu, tetapi memiliki telapak tanagn sehalus sutra? Sungguh hal yang sangat tidak masuk di akal!” kata sang putri.

Putra Raja Kumara dan putra mahkota Duraga tersentak kaget. Ia tidak menyangka jika putri Nara akan secerdas itu dalam menilai ujian yang ketiga.

Memang mereka berdua tidaklah membuat ukiran dengan tangannya sendiri. Ada orang yang membuatkannya. Wajah mereka berdua pucat pasi. Ada rasa malu yang tergambar di wajah mereka. Mereka sudah tidak jujur dengan perbuatannya.

“Maapkan aku tuan putri. Aku memang telah berbohong tentang ukiran ini. Untuk itu aku undur diri” putra raja Kumara meninggalkan panggung kehormatan.

“Aku juga demikian. Aku sungguh sangat tidak ksatria. Mampu berdusta dihadapan sang raja yang amat bijaksana. Ukiran ini bukan aku pembuatnya. Aku pamit undur diri.” Ucap putra raja Daruga.

Mereka berdua pergi meninggalkan arena sayembara. Pergi dengan membawa rasa malu karena ketidakjujurannya.

Tinggal satu orang peserta lagi. Dia adalah pemuda sederhana yang bukan dari keturunan Raja manapun. Sundana.

“Bagaiman dengan Dia wahai Putriku? Apakah dia pemenangnya?” tanya sang Raja.

“Aku tidak meragukan Dia sebagai pemenangnya ayahanda. Dia jujur dengan perbuatannya. Dan aku mau menjadi pendampingnya jika kelak ayahanda memberikan takhta kerajaan padanya.” Tuan putri tersenyum.

Seluruh rakyat bersorak. Mereka merayakan kemenangan Sundana. Sekaligus menyambut calon pemimpin mereka.

Terlihat senyum bahagia di bibir Sundana. Kejujuran telah membawanya kedalam kebahagiaan. Dan berkat kecerdasan sang Putri dalam menentukan kemenangan peserta lomba, membuat kagum ayahanda tercinta.

Rakyat terus bersorak dan berpesta. Pemuda sederhana nan gagah berani, kuat dan jujur akan di dampingi oleh putri buta yang cerdas dan pandai dalam memeimpin kerajaan.

=SELESAI=

Rdk-25-02-15

BONEKA TELUR DILA

“Pokoknya Dila tidak mau kesekolah. Dila tidak mau satu kelompok dengan Ratih. Lagian juga, kenapa sih bu guru malah memilih Ratih jadi anggota kelompok Dila? Sebel banget .. “gerutu Dila

“lho, memangnya kenapa dengan Ratih? Memangnya Ratih jahat, hingga Dila tidak mau satu kelompok dengan Ratih?” tanya ibunya.

Dibelainya dengan sabar rambut putri bunggsunya itu, ada raut kesabaran yang tersirat. Ibu Dila sudah sangat paham dengan sifat Dila yang sangat manja.

Dilihatnya jam yang menempel di dinding. Sudah hampir jam tujuh. Dengan senyum kesabaran dibujuknya Dila agar mau berangkat kesekolah.

“Dila, sudah hampir jam tujuh, ayo berangkat kesekolah. Nanti bisa-bisa Dila terlambat datang kesekolah. Bukankah sekarang hari sabtu. Katanya Dila mau praktek membuat boneka telur dengan bu guru. Ayo sekarang bangun pakai sepatunya” dengan sabar ibu Dila terus membujuk Dila.

“Itulah bu, Dila tidak mau kesekolah karena hari ini adalah hari sabtu. Dila tidak mau ikut pelajaran keteramplan. Dila tidak mau satu kelompok dengan Ratih” ucap Dila dengan wajah yang masih cemberut.

“Memangnya ada apa dengan Ratih Dila? bukankah Ratih anak yang baik? ... kasihan Ratih, dia kan teman Dila juga. Apapun alasannya, Dila tidak boleh pilih-pilih teman. Tidak baik itu” ibu Dila menatap wajah anakknya.

“Tapi bu, kalau Dila satu kelompok dengan Ratih, Dila takut nanti Ratih malah akan merepotkan saja. Pasti Ratih tidak membawa alat-alat keterampilan seperti yang bu guru minta” ujar Dila.

“Dila, tidak baik kita berburuk sangka seperti itu. Mungkin saja Ratih juga akan membawa alat-alat dan bahan keterampilan lengkap seperti yang ibu guru minta. Lagian juga, bukankah kita lebih baik membantu Ratih jika memang Ratih tidak membawa alat dan bahan untuk praktek keterampilan?. Dila sayang, membantu teman yang kesulitan adalah perbuatan yang sangat disukai oleh Tuhan. Sudah sekarang Dila bereskan alat dan bahan keterampilannya, pakai sepatu dan segera berangkat sekolah, nanti takut kesiangan” Ibu Dila menasihati anaknya.

“Baiklah bu. Tapi dila tetap ga’ ngerti kenapa bu guru memilih Ratih masuk kelompok Dila ...” gerutu Dila.

“Dila ... tidak baik menggerutu seperti itu” ibu Dila tersenyum sambil matanya melirik kearah Dila yang sedang memakai sepatunya. Wajahnya Dila terlihat masih cemberut.

“Dila pergi dulu bu, Assalamualaikum...” Dila berpamitan. Didorongnya sepeda lipat berwarna merah muda keluar dari pagar rumah.

“Waalaikumsallam ..” ibu menjawab salam Dila

Diperjalanan menuju sekolah, pikiran Dila terus berkecamuk. Selalu saja teringat nama Ratih yang satu kelompok dengannya.

“Ih ... kenapa harus dia yang satu kelompok denganku? Padahal masih ada Rio atau Desi, apakah bu guru sengaja memilih Ratih sekompok denganku” pikiran Dila terus berkecamuk.

Ratih anak yang sangat sederhana, memang sudah tidak mempunyai orang tua lagi. Ratih tinggal bersama pamannya. Selama ini Ratih dikenal sebagai anak yang sangat pandai dan sangat sederhana. Setiap hari Ratih selalu berjalan kaki ketika berangkat kesekolah. Jarak dari rumah Ratih kesekolah lumayan jauh. Satu jurusan dengan rumah Dila. Satu hal yang membuat Dila sepertinya tidak menyukai Ratih. Ratih selalu berada diatas Dila dalam bidang Akademik. Ratih selalu menjadi juara kelas. Sedang Dila berada satu angka dibawah Ratih.

Hampir kesiangan Dila sampai di sekolah, pintu gerbang nyaris ditutup. Buru-buru Dila memarkirkan sepedanya. Setelah itu Dila masuk kedalam kelas.

Tak berapa lama bel tanda masuk berbunyi. Tak berapa lama ibu guru masuk ke dalam kelas.

“Selamat pagi anak-anak...” bu guru menyapa murid-murid

“Selamat pagi buu..” hampir kompak anak-anak menjawab.

“Wah ... sepertinya kalian sudah tidak sabar ingin membuat boneka telur ya? ...” kata bu guru

“Iya bu,kami sudah tidak sabar ... penasaran ih ... kayak gimana sih boneka telur itu?” suara anak-anak saling bersahutan.

“Ya sudah, karena hari ini hari sabtu, jadi kita bisa langsung praktek keterampilan. Tapi sebelumnya, buatlah dulu kelompok dengan cara menyatukan dua buah meja. Masing-masing kelompok diisi oleh anggota kelompok yang sudah ibu pilih kemarin. Dan ibu harap, kalian bisa saling bekerja sama dan membantu” kata bu guru

“Baik bu ...” jawab anak-anak.

Semua anak sibuk membereskan meja.Termasuk kelompok Dila. Selain Dila ada juga Ratih,Novi dan Bagas. Mereka berempat satu kelompok.

“Teman-teman, nanti kita kerja sama ya. Supaya hasilnya nanti bagus semua. Inikan kerja kelompok, jadi nilainya juga pasti akan sama satu sama lain” Ratih membuka pembicaraan.

“Apa? Kerja sama? Enak aja ... kita kerja masing-masing aja ... aku ga mau nilai kita sama” gerutu Dila dalam hatinya. Dila masih tetap tidak nyaman satu kelompok dengan Ratih.

“Anak-anak coba kalian keluarkan alat dan bahan untuk keterampilan. Setelah itu tolong perhatikan tahap pembuatan boneka telurnya. Awas, jangan sampai kalian tidak mengerti dan salah dalam pengerjaannya. Nanti hasilnya akan tidak bagus” bu guru berkata kepada anak-anak.

Tangannya bu guru sibuk mempraktekan tahapan membuat boneka telur. Anak-anak dengan antusias memperhatikan bu guru. Tak terkecuali kelompok Dila.

Tiba saatnya mempraktekan pembuatan boneka telur, anak-anak terlihat asik membuat boneka telur. Mereka saling bekerja sama dengan rekan satu kelompoknya. Tapi tidak dengan Dila. Dila asik sendiri membuat Boneka telur. Dila tidak mau bekerja sama. Dila pikir ia ingin nilainya lebih bagus dibanding dengan teman satu kelompoknya. Terutama Ratih.

“Dila, ayo mengerjakannya bareng kita ... kok kamu sendirian aja sih. Kan kata bu guru juga kita harus kerja kelompok” kata Ratih.

“Aku ga mau, kamu aja kerja bareng yang lain. Aku pingin sendirian bikin boneka telurnya” jawab Dila ketus.

“Ya sudah kalau kamu ingin membuatnya sendirian, aku ga’ maksa” kata ratih lagi.

Hampir tiga jam anak-anak mengerjakan boneka telur. Tibalah saatnya untuk dikumpulkan. Banyak boneka telur yang bagus dan lucu. Ada boneka yang berambut merah, kuning, hitam bahkan putih.

Mereka terlihat sangat puas dengan hasil pekerjaannya. Begitu pula dengan Dila. Dila sangat puas dengan hasil kerjanya,boneka telur dengan rambut dari benang wol berwarna hitam lengkap dengan pita merahnya.

Dila hendak membereskan alat kerjanya, ketika tiba-tiba ... KREEEKK ... boneka telur Dila jatuh tersenggol tangannya sendiri dan jatuh kelantai. Ditambah dengan ketidaksengajaan kaki Dila yang menginjak boneka telurnya. Hancur. Boneka telur Dila hancur.

“Aduh ...” teriak Dila setengah tak percaya.

Suaranya Dila tercekat. Matanya memandang kearah boneka telur yang sudah hancur. Serasa tak percaya. Mata Dila mulai berkaca-kaca. Teman satu kelompok Dila sangat kaget dengan kejadian itu.

“Wah ... boneka telur Dila rusak” kata Ratih

“Padahal Dila Satu kelompok dengan kita. kalau Dila tidak mengumpulkan, berarti kelompok kita kurang satu boneka telurnya. Itu berarti nilai kitapun akan dikurangi oleh bu guru. Bagaimana ini?” kata Novi

“Aku ada ide ...”suara Ratih terdengar pelan

“Bagaimana kalau kita buat boneka yang baru lagi untuk mengganti boneka Dila yang rusak. Toh kalua kita membuatnya bersama-sama bonekanya akan lebih cepat selesai. Lagian jugakan masih ada bahan yang masih tersisa” kata Ratih, memberi solusi untuk mengganti boneka Dila yang Rusak.

“Aku setuju ...” kata Novi

“ Ya, aku juga setuju ...” jawab Bagas

“Bagaimana Dila? Apakah kamu setuju jika kami membantu membuat boneka kamu yang sudah rusak. Kami ga’ maksa lho, soalnya dari tadi kamu kerjanya sendirian aja, tidak mau gabung dengan kami ... mau kan kami bantu?” tanya Ratih

Dila hanya tertunduk, ia malu dengan perbuatannya sendiri yang selalu iri dan benci dengan Ratih. Padahal selama ini Ratih tidak pernah membenci atau iri kepada Dirinya.

Buktinya hari ini Ratih dengan baik hati mau mengganti membuatkan boneka telurnya yang sudah rusak.

“Maafkan aku teman-teman. Aku tadi sudah bersikap egios dan tidak mau bekerja sama. Aku minta maaf ya..” Dila tertunduk

“Kami sudah memaafkan kamu kok Dila. Ya sudah, lebih baik kita sekarang mulai membuat boneka telur untuk Dila. Mumpung masih ada waktu” Kata Ratih

“Maafkan aku Ratih, ternyata kamu memang baik. Selama ini aku selalu iri dan membencimu” ujar Dila dalam hatinya.

Dila menyesal dengan perbuatannya. Ternyata berburuk sangka itu hal yang sangat tidak baik.

Dan melaukan pekerjaan secara berkelompok atau bekerja-sama itu akan mempercepat selesainya suatu pekerjaan. Dila berjanji dalam hatinya, tidak akan berburuk sangka lagi kepada siapapun. Terutama kepada Ratih sahabatnya sendiri.

=selesai=

LETY, PENY DAN BONEKA SAWAH

Senja mulai menepi. Sebentar lagi malam mulai datang. Lety dan Peny, si burung pipit kecil mulai pulang setelah seharian pergi mencari makan. Mereka hinggap di ranting pohon randu, dekat sawah Pak Uci.

“Uh, lumayan pegal sayapku. Sekarang, untuk mencari makan saja kita harus terbang jauh. Padahal di depan tempat tinggal kita juga terhampar sawah yang luas milik Pak Uci,” kata Lety, sambil mengepakkan sayap kecilnya. Sekedar mengusir pegal.

“Iya, semenjak sawah Pak Uci ada yang menjaga, aku jadi takut. Hiyy! tampangnya saja seram. Matanya besar! Bajunya compang-camping. Aku benar-benar takut!” kata Peny. Matanya menatap ke arah sawah Pak Uci.

Memang, sudah beberapa hari ini sawah Pak Uci dijaga oleh boneka sawah yang lumayan besar. Terpasang tepat di tengah sawah. Boneka sawah lengkap dengan gantungan kaleng dan botol bekas yang diikat tali dan terbentang ke gubuk yang berada di pinggir sawah. Jika tali itu ditarik, maka akan terdengar bunyi klontang! ... klontang! ... klontang! Itulah sebabnya, Lety dan Peny lebih suka mencari makanan di tempat lain. Mereka sangat takut dengan boneka sawah milik Pak Uci.

“Tidur yuk? hari sudah mulai malam. Aku sangat lelah,” kata Lety. Matanya sudah mulai sayu menahan kantuk.

“Iya ... aku juga ngantuk. Lebih baik kita tidur, mudah-mudahan bisa mimpi indah,” Peny tersenyum.

Akhirnya mereka bedua mulai tertidur lelap. Angin malam yang sejuk dan suasana hening membuat tidur mereka begitu lelap.

“Hey ... Lety, bangun ....” bisik Peny.

Sayap mungilnya menggoyang-goyangkan tubuh Lety.

“Uh, ada apa kamu membangunkan aku, Peny? Kamu tidak tahu kalau aku sedang mimpi indah ya?” kata Lety sambil mengucek-ngucek matanya.

“Ssttt ... maaf jika aku mengganggu tidurmu. Coba dengar, sepertinya aku mendengar ada yang menangis. Siapa ya?” bisik Peny. Matanya mencari-cari arah suara.

Lety terdiam. Lety memasang telinganya. Benar saja, Ia mendengar ada suara tangis. Matanya mencari-cari sumber suara.

“Ya, betul ... itu memang suara tangis. Ayo kita cari, Peny. Ayo bangun!” Lety dan Peny terbang di remang malam. Untung saja rembulan bersinar terang, jadi Lety dan Peny bisa leluasa melihat sekeliling.

Lety dan Peny menemukan sumber suara. Suara itu berasal dari tangis boneka sawah milik Pak Uci.

“Huuu ... uuu huuu ... uuuu ....”

Air mata boneka sawah menetes. Matanya sembab. Tidak tampak wajah sangar dengan mata yang melotot seperti yang Lety dan Peny lihat setiap hari. Yang ada hanya wajah sedih.

“Itu suara boneka sawah. Kita pulang saja ah! Aku takut!” kata Lety. Wajahnya terlihat ragu-ragu untuk mendekat.

“Jangan! Lebih baik kita mendekat. Sepertinya dia benar-benar sedih. Ayo, kita hampiri dia,” kata Peny.

Akhirnya Peny dan Lety terbang mendekat ke arah boneka sawah. “Mmmm ... mengapa kamu menangis?” tanya Peny.

Boneka sawah terlihat kaget dengan kedatangan Peny dan Lety. “Oh ... kalian. Maaf jika tangisku mengganggu tidur kalian,” kata boneka sawah. Dia berusaha menyembunyikan wajahnya.

“Bolehkah kami hinggap di pundakmu, kawan?” pinta Peny.

“Tentu saja boleh! Ayo ... sini, hinggaplah di pundakku,” kata boneka sawah lagi.

Peny dan Lety hinggap di pundak boneka sawah. Sebenarnya mereka agak sedikit takut, tapi ketika melihat kesedihan yang tampak di wajah boneka sawah, mereka jadi berani hinggap.

“Boleh aku bertanya kawan, mengapa kamu tampak begitu sedih?” tanya Peny lagi.

“Aku ... aku ... mmm ...,” boneka sawah tidak menyelesaikan perkataannya. Boneka sawah terlihat ragu-ragu untuk menjawab pertanyaan Peny.

“Kamu kenapa? Ayo jawab saja. Siapa tahu kami bisa membantumu,” tanya Lety. Matanya menatap wajah boneka sawah.

“Jujur saja teman-teman, aku ... aku begitu kesepian. Setiap malam aku sendirian. Tidak ada teman untuk berbicara atau bercanda. Jika siang hari aku selalu di jauhi oleh kalian. Sepertinya aku adalah makhluk yang sangat menakutkan! Aku lelah, capek dan kesepian. Aku juga ingin punya sahabat,” kata boneka sawah. Wajahnya menunduk sedih.

Peny dan Lety terdiam. Mereka bisa merasakan kesedihan yang dialami oleh boneka sawah.

“Oh, itu masalahnya. Memang betul, kami sangat takut dengan tampangmu yang ... mmm ... maaf ya, seram dan menakutkan,” kata Peny pelan.

“Huss! Sebenarnya kamu tidak menakutkan, tapi kaleng-kaleng itu yang membuat kami takut,” kata Lety. Matanya mengedip ke arah Peny.

Lety takut perkataan peny menyinggung perasaan boneka sawah.

“Memang wajahku menakutkan, aku mengakuinya. Tapi apakah itu berarti aku tidak boleh mempunyai teman?” kata boneka sawah. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Jangan khawatir, jika memang kamu ingin punya sahabat ... kami mau kok menjadi sahabatmu. Bukan begitu peny?” tanya Lety. Matanya melirik ke arah Peny.

“Ya, aku juga mau kok jadi sahabatmu,” Peny tersenyum.

“Benarkah? Kalian mau menjadi sahabatku? Oh ... terima kasih ya teman-teman. Aku benar-benar merasa senang,” kata boneka sawah. Bibirnya tersenyum bahagia.

“Yap! Mulai sekarang, kita menjadi sahabat,” kata Peny.

“Terima kasih ya, kalian begitu baik hati. Sebagai tanda terima kasihku, Kalian boleh tidur di atas pundakku, atau di dalam bajuku yang penuh dengan jerami. Supaya lebih hangat!” kata boneka sawah sambil tersenyum.

“Wah! Asik dong. Kita punya tempat tidur hangat!” kata Peny bahagia.

“Ayo ... kalian masuk ke dalam bajuku. Malam semakin larut, udara sudah mulai dingin. Aku takut kalian nanti sakit,” kata boneka sawah.

“Baiklah, kami masuk dulu ya. Selamat malam sahabat baruku, selamat tidur,” ucap Peny dan Lety. Mereka terbang dan menyelusup di sela-sela baju boneka sawah.

“Ssstt ... kamu yakin jika boneka sawah tidak akan mencelakai kita, Peny?” bisik Lety ragu.

“Hus! Kita tidak boleh berprasangka buruk dulu. Kita juga tidak boleh menilai sesuatu dari luarnya saja. Belum tentu orang yang kelihatan jahat, mempunyai hati yang jahat pula. Aku yakin jika boneka sawah akan menjadi sahabat baik kita. Mempunyai sahabat yang banyak berarti kita mempunyai banyak saudara. Sudah, sebaiknya kita tidur saja,” kata Lety. Matanya mulai terpejam.

Malam semakin larut. Lety,Peny dan sahabat baru mereka tertidur lelap. Ada senyum yang tampak jelas di wajah boneka sawah. Senyum bahagia karena mulai malam ini tidak akan kesepian lagi.

Selesai.

15 Juli 2015

Top of Form

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Luar biasa, saya perlu belajar banyak dari pak Agus. Maestro fabel dan cerpen anak..

22 Sep
Balas

upsss ..saya masih anak bawang, pa sigit ...

24 Sep
Balas



search

New Post