Agus Suryadi

Anak bawang...

Selengkapnya
Navigasi Web
Cerita Bersambung DUNIA DI BALIK TIRAI Bagian XIV

Cerita Bersambung DUNIA DI BALIK TIRAI Bagian XIV

TAMAT

KAMAR MAWAR 212

Setelah mendapat petunjuk dan rujukan dari Rumah Sakit Umum daerah, kami pun berangkat menuju Rumah Sakit di Jakarta dengan diantar oleh bapak kepala sekolah dan ditemani juga oleh aparat Desa yang ingin membantu dalam hal pengurusan administrasi kependudukan. Mbok Darmi yang terlihat sangat kelelahan, tertidur di bangku pojok. Mobil merah marun milik Bapak kepala sekolah telah membuat mbok Darmi tidur dengan lelapnya.

Sepanjang perjalanan menuju Rumah sakit, Laisa sepertinya tidak bisa tertidur pulas. Matanya selalu terbuka. Mungkin terlalu banyak pertanyaan yang mengisi relung jiwanya.

Setelah menempuh perjalanan yang lumayan melelahkan, mobil yang membawa kami tiba di Rumah sakit Tujuan. Aku bergegas turun ditemani oleh petugas Desa dengan membawa surat rujukan dari rumah sakit daerah.

Ternyata tidak mudah untuk memasukan pasien ke dalam Rumah sakit, kami harus melewati beberapa tahapan hingga Laisa benar-benar bisa mendapatkan kamar perawatan. Untung saja kami di temani oleh orang-orang yang memang telah terbiasa mengurusi masalah administrasi di Rumah sakit, walau sedikit rumit akhirnya Laisa mendapat kamar perawatan. Kamar MAWAR NO 212.

Hari ke 3 di Rumah Sakit. Aku masih menemani Laisa dan mbok Darmi. Kepala Sekolah yang memang dermawan, sampai saat ini masih mau membiayai keperluan kami selama di rumah sakit sampai hasil diagnosa tentang sakit Laisa benar-benar diketahui. Ketika aku sedang meluruskan kaki sambil berbaring, tiba-tiba telepon genggam berbunyi.

Segera aku bangkit dari tidur dan mengambil telepon genggam dari saku celana. Setelah melihat nomor yang tertera dilayar telepon, segera aku menerima panggilan.

“Halo?” kataku dengan sedikit berbisik. Lalu bergegas keluar kamar. Aku takut jika Laisa terbangun.

“Pa Faisal?”

“Ya, betul, Pa ... dengan pak Harun ya?” kataku sedikit menebak.

“Ya ... saya pak harun. Apa kabar pa Faisal?” jawab pak Harun.

“Alhamdulliah, kabar saya baik, Pak. Saya mau minta maaf tentang kejadian tempo hari ... bukan saya sengaja memutuskan telepon, tapi baterai saya habis, jadi teleponnya terputus.”

“Oh, tidak apa-apa, pa. Saya juga mengerti kok. Melanjutkan pembicaraan yang sempat terputus, saya mau tanya tentang anak yang melukis itu lho ... .” tanya pak Harun.

Aku sedikit tersentak. Aku masih ingat bagaimana pak Harun dengan sedihnya berdiri di depan lukisan karya Laisa. Lalu, bagaimana Pak Harun begitu bersemangat menanyakan tentang Laisa. Apalagi nama Pak Harun pernah di sebut sebut oleh mbok Darmi yang telah membesarkan Laisa. Apakah ini yang dinamakan dengan kebetulan?

“La ... laisa, maksud bapak?” tanyaku dengan sedikit terputus.

“Iya, betul Laisa. Apa kabar dengan Laisa, pak?” tanya Pak Harun.

Aku tidak langsung menjawab. Suaraku sedikit tercekat.

“Laisa sekarang sedang sakit, pak. Kebetulan sekarang sedang di rawat di Rumah Sakit.” jawabku pelan.

“Apa? Sakit? sakit apa Laisa?” pertanyaan pak Harun begitu memburu. Seperti ada kekuatan yang menembus jaringan telepon. Terdengar begitu kuat.

“Menurut dokter, ada benjolan di kepala Laisa, dan dikhawatirkan itu adalah tumor.” Jawabku.

“Sekarang Laisa di rawat di Rumah sakit mana?” tanya Pak harun Lagi.

“Rumah Sakit HARAPAN KASIH.” Jawabku dengan cepat.

“Harapan Kasih? Pa .. pa Faisal tidak salahkan menyebut nama Rumah Sakitnya? Coba yang jelas ... Laisa di rawat di Rumah Sakit mana?” suara pak Harun begitu memburu.”

“Betul, Pak ... Laisa di Rawat di Rumah Sakit Harapan Kasih,” aku menjawab pertanyaan pak harun lalu menyambungnya dengan menyebutkan kamar Mawar no 212.

“kebetulan istri saya juga di rawat di Rumah sakit Harapan Kasih, Pak. Baik ... sekarang juga saya akan mencari Kamar mawar no 212.”

Setelah itu telepon terputus. Aku bergegas masuk kembali ke dalam kamar perawatan yang mulai sepi. Kamar yang hanya ditinggali oleh kami bertiga, aku Laisa dan mbok Darmi.

Baru saja mataku terpejam, terdengar ketukan dipintu kamar perawatan. Aku melirik jam yang menempel di dinding kamar Laisa. Hampir tengah malam. Bergegas aku bangun dan membuka pintu kamar. Setelah pintu di buka, di depan pintu telah berdiri seorang bapak yang sepertinya pernah aku lihat di acara pameran lukisan. Ya, dia adalah pak Harun. Pak Harun datang ke kamar Mawar 212 tempat dimana Laisa di rawat.

Aku mempersilahkan Pak Harun untuk masuk dan duduk di kursi yang memang hanya tersedia dua buah. Pak harun pun masuk dan duduk behadapan denganku. Sementara mbok Darmi terlelap tidur di bawah samping kanan bangsal Raisa, badannya terhalang sehingga tidak begitu nampak dari tempat kami duduk.

“Laisa sudah tidur?” tanya pak Harun pelan.

“Ya,.. dia sudah tidur nyenyak sejak sore.”jawabku.

Mata pak harun memndang sekeliling kamar. Terlihat jarum infus yang menancap di tangan pergelangan tangan Laisa.

Pak Harun bangkit dari duduknya dan menghampiri Laisa. Aku hanya memandang dari tempat duduk. Tidak ada kata-kata yang terdengar. Mata pak Harun terus memandangi Laisa. Entahlah apa yang ada dalam pikiran pak Harun.

“Laisa ... mirip dengan anak saya,” tiba-tiba terdengan kata dari mulut pak Harun.

Aku segera bangkit dan mendekati pak Harun.

“Maksud Bapak,” aku mencoba bertanya.

“Anak saya juga bernama Laisa, dan diapun mempunyai wajah yang sama dengan Laisa. Sejak pertama pertama saya melihat fotonya dalam acara pameran lukisan, entahlah .. ada rasa yang begitu kuat ... rasa .. yang saya sendiri sulit untuk mengungkapkannya dengan kata-kata.” Terlihat air mata pak Harun menetes.

Aku terdiam.

“Laisa anak yang hebat, pak. Walaupun ia harus hidup dengan segala keterbatasan, tapi Laisa begitu tegar. Jujur saja, saya belum begitu lama mengenal Laisa ... tapi melihat semangat dan jalan hidupnya, saya begitu kagum dan bangga.” Kataku pelan.

“Anak saya juga seumuran degannya, tapi saya tidak tahu sekarang ia ada dimana,” jawab pak Harun pelan. “Jika saja saya tidak menuruti kata-kata istri saya ... mungkin, ... “ pak harun tidak melanjutkan kata-katanya. Seperti ada yang menghalangi tengggorokannya. Berat.

Pak Harun masih berdiri di sisi kamar tidur Laisa.

“Itu yang ditidur di bawah, siapa?” tanya pak harun. Matanya menatap perempuan tua yang sedang lelap

“Oh, itu orang yang mengasuh Laisa sejak kecil, Pak.” Jawabku

“Namanya ... mbok Darmi,” sambungku.

“Siapa?” tanya pak Harun lagi dengan nada yang agak tingggi.

“Mbok Darmi, pak. Kenapa memangnya?” tanyaku heran.

Bergegas tuan Harun menghampiri mbok Darmi yang sedang tidur lelap. Tuan Harun menurunkan sedikit badannya di samping mbok Darmi, tangan lembutnya menyentuh pundak Mbok Darmi sambil menyebut namanya. Suaranya sedikit tertahan. Ada rasa yang begitu hebat aku rasakan dalam getar suara pak Harun.

“Mbok ... mbok Darmi? Betulkah ini mbok Darmi? Yang ... .”

Belum selesai kata-yang terucap, mbok Darmi terbangun. Tangannya menyeka matanya yang terlihat berata menahan kantuk dan lelah. Dalam samar Mbok Darmi melihat wajah tuan Harun.

“Eh .. mhh .. siapa ya?” tanya mbok Darmi pelan.

Seketika tangis pecah. Tuan Harun langsung memeluk tubuh Mbok Darmi.

“Ya Allah ... Mbok ... ini aku, Harun Mbok ... orang durhaka yang telah menyia-nyiakan anaknya sendiri. Mbok ... ampuni aku mbok.” Tangis tuan Harun begitu haru. Sementara mbok Darmi hanya diam terpaku. Antara bingung dan tidak percaya. Sepuluh tahun bukan waktu sebentar untuk kembali mengingat dan membuka memori dan kenangan tentang keluarga Harun. Tentang kejadian yang telah membuat buah hatinya jauh terpisah hingga harus merasakan hidup sengsara jauh dari pelukan hangat keluarga tercinta.

“Tuan Harun? Benarkah ini tuan Harun?” tanya mbok Darmi memastikan kata-kata yang tadi terlontar dari lelaki yang ada di hadapannya.

“Iya, Mbok .. saya Harun. Jadi ... yang sekarang terbaring di ranjang itu adalah ....”

Pak Harun bangkit dan berdiri di sisi tempat tidur Laisa, memandangnya dengan sangat dalam. Air matanya terus mengalir dengan suara yang tertahan. Jemari tangannya mengelus pipi Laisa. Tidak berapa lama tangisnya pecah kembali. Dipeluknya Laisa dengan sangat erat.

“Laisa ... ini ayah, Nak ... ini ayah .. maafkan ayah Laisa ... .” tuan Harun terus menangis.

Tubuh Laisa berguncang. Gadis cantik yang sedang merangkai mimpi itu terbangun. Di ciumnya pipi Laisa dengan penuh kasih. Sementara Laisa hanya terdiam. Hanya matanya yang terus menatap tepat di retina tuan Harun, menembus ke dalam jantung dan sanubari hingga mengorek semua kenangan. Tapi apalah daya. Kenangan itu telah sirna oleh perjalanan hidup Laisa yang penuh dengan kenangan pahit.

Aku hanya terdiam menyaksikan kejadian ini. dadaku benar-benar berdetak lebih cepat. Sementara Mbok Darmi tetap duduk di bawah ranjang Laisa, ia belum terlalu sadar dengan kejadian yang ada di depannya.

TAMAT

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wow, terharu jadinya. Kereeeen.tapi kok tamat yah, hehehe. Sukses selalu dan barakallahu fiik

20 Dec
Balas

Terima kasih, bunda. Karena sudah masuk waktu libur sekolah. Jadi ceritanya di "tamat"kan ..

22 Dec



search

New Post