Agus Suryadi

Anak bawang...

Selengkapnya
Navigasi Web
Cerita Bersambung DUNIA DI BALIK TIRAI Bagian XlI

Cerita Bersambung DUNIA DI BALIK TIRAI Bagian XlI

KEAJAIBAN-KEAJAIBAN KECIL

Pikiranku terus melayang kepada pak Harun.

Sepanjang perjalanan pulang hingga sampai di rumah, isi kepalaku terus berkecamuk tentang nama pak Harun. Banyak seandainya-seandainya yang ada di benakku.

Setelah selesai mandi untuk sekedar menyegarkan tubuh dari rasa lengket karena keringat, aku bergegas pergi untuk menemui Laisa. Aku ingin menyampakan kabar bahagia mengenai nasib lukisan-lukisan hasil karyanya yang mungkin sekarang sudah berpindah tangan kepada pemilik baru. Yang pastinya pembeli yang bernama pak Harun. Apalagi yang aku tahu bahwa lukisan tersebut terjual dengan harga sangat mahal.

Selain untuk menyampaikan kabar tentang lukisan, ada satu lagi yang ingin aku ceritakan kepada Laisa dan tentunya juga mbok Darmi. Mengenai tuan Harun. Orang yang membuat aku benar-benar penasaran.

“Asallamualaikum ... “ aku mengucapkan salam setelah tepat berada di depan pintu rumah mbok Darmi.

Sepi.

“Asallamualaikum ...” aku kembali mengucapkan sallam. Kali ini disertai dengan ketukan di daun pintu.

Tetap sepi.

Aku berjalan ke samping rumah mbok Darmi. Berharap mbok Darmi ada di halaman belakang rumah. Tapi nihil. Tidak ada siap-siapa di belakang rumah. Lama juga aku berdiri hingga aku memutuskan untuk duduk di kursi rotan reot yang tepat berada di bawah jendela rumah mbok Darmi.

“Huuufff ... pada ke mana ya? Kok sepi begini? Atau mereka sedang tertidur lelap hingga tidak dapat mendengar suaraku.” Bisikku dalam hati.

Aku bangkit dari tempat duduk dan mencoba kembali mengucapkan sallam dengan suara yang lebih keras.

“Asallamualaikumm ... mbok Darmi! Laisa!”

Tetap saja sepi.

Akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Mungkin besok pagi aku kembali lagi ke rumah mbok Darmi. Percuma teriak-teriak, tokh tidak ada yang mendengar teriakanku.

Belum sempat aku membalikkan badan, tiba-tiba ada yang menepuk pundakku.

“Pa Faisal? Cari mbok Darmi ya?” katanya. Ternyata pak Kaboel, tetangga sebelah mbok Darmi yang menpepuk pundakku.

“Eh ... pak Kaboel. Bikin kaget saja ... iya Pak, saya mau ketemu sama mbok Darmi dan Laisa. Sepertinya mereka tidak ada di rumah. Sepi,” kataku.

“lho? Memangnya Bapak ndak tahu jika Laisa sekarang di rawat di Rumah Sakit? Kemarin siang badan Laisa tiba-tiba sangat panas. Tadinya mbok Darmi ndak mau membawa Laisa ke Rumah Sakit. Tapi setelah kami bujuk dan kami katakan bahwa biaya pengobatan akan di tanggung oleh kami bersama, baru mbok Darmi bersedia membawa Laisa ke Rumah sakit.”

“Jadi sekarang Laisa dirawat di Rumah sakit?” tanyaku pada pak Kaboel untuk memastikan.

“Betul Pak,” jawab pak Kaboel.

“Ya sudah, terima kasih atas informasinya ya pak?”

Setelah mendengar keberadaan Laisa, aku bergegas pulang. Rumah Sakit lumayan jauh dari rumahku, apalagi rumah mbok Darmi. Jadi aku memutuskan untuk pulang dan mengambil sepeda motor.

Oooo----ooooo-----

Sampai juga aku di Rumah sakit. Hampir jam delapan malam. Setelah bertanya kepada dokter jaga, akhirnya aku bisa menemukan kamar Laisa. Kamar yang lumayan sumpek menurutku. Satu ruangan hampir berisi lima pasien.

Setelah mencari-cari, aku bisa menemukan tempat tidur Laisa. Tepat di pojok ruangan kamar perawatan. Bau obat langsung menyeruak, menusuk-nusuk hidung.

Keluarga pasien yang menunggu terlihat tidak teratur. Tidur di bawah bangsal pasien, bahkan ada yang di selasar. Bergegas aku menghampiri Laisa. Aku terpekur di samping tempat tidur Laisa. Dia tertidur lelap. Di bawah sebelah kiri tempat tidur Laisa kulihat mbok Darmi yang juga tertidur lelap dengan hanya beralaskan tikar, tanpa bantal. Terlihat wajah tua yang sangat lelah. Sementara Laisa, tergambar jelas wajah polos yang penuh dengan keikhlasan.

Dua sosok wanita tegar. Aku sungguh salut.

Lama aku berdiri. Tak tega rasanya aku membangunkan Laisa atau mbok Darmi.

Tiba-tiba saja hanphone yang aku simpan di saku baju berbunyi. Bergegas aku mengambilnya. Terlihat jelas hanya nomor yang tertera di layar telepon genggam.

Yah ... hanya nomor saja. Aku paling malas mengangkat telepon jika yang mucul hanya nomor saja tanpa ada nama. “Paling juga hanya orang iseng atau orang yang salah sambung. Buang-buang waktu saja!” Kataku dalam hati.

Aku masukan kembali hanphone yang ada di tanganku ke dalam saku baju. Tidak berapa lama telepon genggam kembali berbunyi. Setelah kulihat, lagi-lagi dari nomor yang sama. Aku diamkan telepon itu berbunyi tanpa aku angkat. Setelah terputus dengan sendirinya, aku masukan kembali ke dalam saku bajuku. Begitu hingga lima kali berbunyi, lima kali pula aku diamkan tanpa aku angkat.

Mungkin karena mendengar suara telepon genggam, Laisa terbangun. Matanyanya sejenak memandang wajaku, lalu tersenyum.

“Ba ... Ba.. pa .. hihihi.”

“Eh ... Laisa bangun?” kataku sambil tersenyum.

“Mboo ... ba ... pa ... Mboo ,” sepertinya Laisa berusaha membangunkan mbok Darmi.

“Sttt .... jangan dibangunkan. Biarkan mbok Darmi tidur. Mungkin Simbok lelah Laisa. Biarkan simbok tidur,” kataku.

Lagi-lagi Laisa tersenyum.

“Laisa sakit ya?” tanyaku pada Laisa.

Laisa mengangguk. Tangan kanannya memegang keningnya.

“Ini ... panas ... sakit. Laisa ... pusing,” Laisa menjawab denga terbata-bata.

Kulihat Wajah Laisa memang agak merah. Mungkin karena pengaruh suhu tubuhnya yang sedang tinggi. Aku memegang kening Laisa. Mungkin karena kemarin Laisa cepat di bawa ke Rumah sakit, jadi bisa cepat ditangani oleh dokter. Sehingga sakit tidak menjadi lebih parah.

“Tidak terlalu panas. Sebentar lagi juga Laisa pasti sembuh. Laisa bisa pulang dan kembali sekolah seperti biasa lagi. Tentunya bisa kembali menggambar, kan Laisa suka sekali menggambar, bukan begitu Laisa?” kataku sedikit menghibur.

Laisa tersenyum.

“Iya ... Laisa su...ka gambar ... gambar ibu ... ibu ,” kata Laisa. Mata sayunya memandang ke atas langit-langit.

“Memangnya Laisa pingin ketemu sama ibu ya?” tanyaku.

“Ibu ... Laisa pi..ngin ketemu ibu.”

Aku hanya terdiam. Tak kuasa aku menahan air mata. Walaupun aku laki-laki, ketika mendengar kata-kata Laisa yang begitu jelas tergambar akan kerinduannya terhadap seorang ibu, mampu membuat aku menangis.

“Suatu saat, Laisa pasti akan ketemu sama ibu. Percaya sama bapak ya?” kataku. Mencoba membuat Laisa senang.

Laisa hanya terdiam.

“Oh, ya ... tahu gak? Lukisan yang Laisa buat, semuanya terjual. Katanya, lukisan Laisa bagus!” aku mencoba memecahkan suasana sedih.

Mata Laisa melirik padaku. Lalu tersenyum.

“Bagus? Luki ... san Laisa bagus ya pa? Lukisan ibu?” kembali dengan suara terbata-bata

“Ya, lukisan wajah ibu yang Laisa buat katanya bugus. Makanya ada yang membeli dengan harga yang mahal!” aku bersemangat mengucapkan kata-kata itu.

Terihat wajah Laisa begitu gembira.

Tetapi, lagi-lagi terdengar suara telepon berbunyi. Aduh! Dari nomor yang sama.

“Sebentar ya Laisa, bapak mau keluar dulu. Ada telepon ... “ kataku pada Laisa.

Laisa mengangguk.

Bergegas aku keluar kamar perawatan. Mencari tempat yang agak sepi.

“Hallo?” kataku

“Ya ... hallo. Benar ini dengan pak Faisal?” kata suara di seberang sana.

“Ya betul. Ada apa ya?”

“Maaf mengganggu Pak. Saya tahu nomor Bapak dari buku tamu yang Bapak isi di tempat pameran lukisan tempo hari.”

“Oh iya, kalau boleh tahu, saya bicara denga siapa ya?” tanyaku.

“Ini dengan pak Harun. Yang kemarin membeli lukisan Laisa.”

Deg ...!

Untuk kedua kalinya jantungku seakan berdetak lebih kuat setelah mendengar kata

-pak Harun-

“Oh iya, maaf ya Pak, tadi teleponnya tidak saya angkat. Masalahnya tadi yang tertera di layar handphone saya hanya nomor saja. Biasanya jika hanya nomor saja yang muncul, hanya orang iseng. Jadi saya tidak angkat. Sekali lagi maaf ...” kataku.

“Ya, tidak apa-apa Pak. Saya juga minta maaf sudah mengganggu waktu istirahat bapak. Saya hanya mau tanya saja Pak, itu pun jika tidak keberatan. Pak faisal, tempo hari waktu di tempat pameran saya buru-buru pulang, padahal banyak yang mau saya tanyakan.” kata pak Harun.

“Iya, tidak apa-apa Pak,” kataku

“Kemarin saya buru-buru pergi ke rumah sakit. Istri saya ada masalah dengan kesehatannya. Jadi saya tidak bisa ngobrol panjang lebar dengan Bapak. Tapi untungnya saya bisa menemukan nomor telepon Bapak di Panitia penyelenggara, makanya sekarang saya bisa menghubungi Bapak.”

“Begitu ya? Memangnya pak Harun mau tanya apa ya? Sepertinya ada hal yang sangat penting yang ingin bapak tanyakan,” tanyaku penuh rasa penasaran.

“Haloo? ... halooo?” tanyaku.

Tapi tidak ada jawaban. Kulihat layar telepon.

Mati!

Ternyata handphone yang aku pegang mati.

Tadi pagi aku lupa mengisi baterai. Padahal ini adalah telepon penting. Mungkin saja pak Harun yang baru saja menghubungiku adalah ... ah, hanya mungkin saja! Tapi kenapa tidak mungkin? Hati kecilku terus berkata bahwa pak Harun ada kaitannya dengan Laisa.

Bergegas aku kembali ke dalam kamar perawatan. Kulihat Laisa sudah kembali tertidur. Begitu juga dengan mbok Darmi yang tetap dengan posisi yang sama, tertidur pulas.

Laisa, bapak berharap akan ada keajaiban kecil yang hadir dalam hidupmu. Keajaban kecil yang pertama adalah lukisan hebatmu yang. Keajaiban kecil kedua adalah mengenai telepon pak Harun. Yang begitu aku yakini ada kaitannya dengan Laisa.

Setelah lelah dalam kerinduan yang begitu besar, mungkin akan datang satu keajaiban-keajaiban kecil lainnya yang berakumulasi menjadi keajaiban besar!

Kupandangi layar handphone.

Aku tersenyum. Sebentar lagi mungkin akan ada keajaiban yang tersambung lewat layar ini.

Semoga!

Bersambung.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post