"Aku sudah mengatakan sebelumnya bahwa kesalahan yang sudah kau perbuat itu sangat fatal. Tidak mungkin bisa sembuh dan akan terus bersemayam dalam hati, bahkan mungkin akan terbawa mati." Aku menatap wajahnya dengan seksama. Ada raut yang dalam, menggambarkan penyesalan.

"Lalu aku harus bagaimana?" Wajahnya menunduk. Jemari tangannya berjibaku dengan kuku.

"Aku tak paham apa yang ada dalam otakmu saat itu. Tidakkah berfikir jika akan begini jadinya? Kau sudah memotong kebahagiaan orang lain dengan kepicikannmu, rasa dengkimu dan kebodohanmu yang membuatmu jadi tampak tak berguna saat ini!" Nada suaraku sedikit meninggi. Untung saja dia telah paham dengan karakterku.

Dia mengangkat wajahnya sedikit, menarik nafas lalu berucap pelan.

"Aku menyesal. Kepercayaan telah aku sia-siakan. Hanya beberapa angka saja, tapi efeknya sangat luar biasa bagi detak jantungku. Sepertinya penyesalan itu memang diciptakan untuk hadir belakangan." Sahabat baikku mulai menitikan air mata.

Aku menepuk pundaknya, sedikit memberi ketenangan baginya.

"Menjadi juri dalam lomba memang sulit. Bagai buah simalakama. Lainkali, gunakan hati dan nurani, bukan karena kenal atau balas budi. Yang lalu biarlah terjadi. Semoga saja Almarhum tenang di sisi-Nya.

Aku melipat surat kabar yang memuat berita tentang peserta lomba menjnggal bunuh diri karena merasa telah dicurangi.

Rdk-24/03/19