Agustus Magribi

Agustus Magribi, S.Pd. lahir di Jakarta, 28 Agustus 1970. Memperoleh gelar sarjana pendidikan jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dari IKIP Jakarta tahun 1995. ...

Selengkapnya
Navigasi Web

DALAM HATI CINTA SELALU BERSEMI#Tantangan Menulis Gurusiana Hari Ke-12

Aku dan Via melonjak lagi ketika Lion berhasil kembali memasukkan bola ke jaring lawan, sehingga kedudukkan klub basket Lion semakin jauh meninggalkan lawannya. Aku yakin, pertandingan ini akan dimenangkan oleh klub basket Lion, sebab waktu yang tersisa tinggal tiga menit lagi.

Gemuruh dalam hall semakin gempita, kini sebagian penonton berpihak pada klub basket Lion. Dan yang membuat aku gembira juga adalah semangat Om Alex dan Tante Alin, orang tua Lion, yang ada di sampingku. Ternyata mereka mau juga menyempat diri untuk menyaksikan pertandingan Lion, meskipun mereka harus membatalkan perjanjian-perjanjian bisnis yang telah mereka buat.

Aku melirik ke samping, ketika Lion kembali memasukkan bola pada saat waktu hampir usai, Om Alex dan Tante Alin berpelukkan. Setelah itu Om Alex kembali memberi tepuk semangat untuk Lion.

Aku kembali mengalihkan pandanganku pada lapangan di depanku. Aku lihat Lion sempat memandang kepadaku, ada senyum yang membahagiakan dan membanggakan yang dilontarkan lewat wajahnya yang basah oleh keringat. Dia tidak hanya tersenyum kepadaku, tapi juga pada kedua orang tuanya. Sehingga membuat Om Alex dan Tante Alin semakin bersemangat memberi support pada Lion.

Lion benar-benar menjadi bintang lapangan malam ini, begitu waktu pertandingan selesai. Lion dihampiri oleh semua teman satu klubnya, dan diangkat tinggi-tinggi. Aku bertepuk dan berseru gembira bersama Via, lalu secara bersama-sama dengan Om Alex dan Tante Alin, aku menuruni tribun menuju lapangan.

Saat Lion melihat kami berempat ada di pinggir lapangan, Lion langsung meminta turun pada teman-temannya. Lalu dengan sigap dia berlari ke arah kami dengan senyum lebar, yang mengguratkan ketampanannya.

“Pa, Ma!” serunya, setelah Lion tidak jauh dari hadapan kami.

Lion langsung memeluk Om Alex yang sudah merentangkan kedua belah tangannya lebih dahulu, setelah itu barulah Tante Alin. Bahkan beliau menciumnya dengan haru. Mata Tante Alin berkaca-kaca, aku pun menjadi terbawa oleh suasana ini.

Mereka masih terus berpeluk cium, tanpa mempedulikan Lion yang bermandikan keringat. Mungkin mereka bangga pada Lion, pada anak satu-satunya itu. Saat itu tanpa aku duga, Lion langsung menatapku, aku pun tersenyum. Tanpa ragu, lalu Lion menyodorkan tangannya.

“Makasih, ya, Ky.”

“Iya, terima kasih, Nak Rizky,” ucap Tante Alin sambil sekali lagi mencium Lion.

Aku tersenyum, “Itu usaha Lion sendiri, Tante.”

“Tapi Nak Rizky tetaplah pemberi kekuatan tersendiri untuk Lion, kan?” kali ini Om Alex yang berkata, aku pun menjadi malu mendengarnya.

“Hei, saya dilupain, ya!” teriak Via pada Lion, yang masih berusaha mengatur napasnya.

“Oya, sori,” ucap Lion sambil menerima uluran tangan Via. Sementara tangan yang satunya lagi mengacak-acak rambut Via, membuat dia menggerutu, lalu meninju pangkal lengan Lion.

“Eh, aku ambil tas dulu, ya. Sekalian pamit sama mereka,” ucap Lion seraya menunjuk tempat berkumpulnya para teman dan pelatih klub basketnya yang masih meluapkan kegembiraan mereka menyambut kemenangan ini.

Separuh bulan keperakkan dan berjuta bintang di langit membuat semarak malam ini. Malam yang begitu mengesankan bagiku, karena aku dapat melihat bersatunya sebuah keluarga yang utuh.

Aku, Via, Om Alex, dan Tante Alin sudah ada di luar Gedung Olahraga Pusat Kota. Pelataran parkirnya mulai terasa sedikit kesibukkannya, karena sudah banyak penonton lain yang pulang. Aku berseru dalam hati, Lion sudah menampakkan diri bersama teman-teman satu klubnya dan pelatih.

Sesaat Lion melambaikan tangannya, Om Alex dan Tante Alin pun mendekat pada mereka. Dan kulihat betapa bangganya Lion memperkenalkan kedua orang tuanya itu pada teman-temannya dan pelatihnya. Dalam hati, aku bersyukur, sehingga tanpa terasa mataku mulai berkaca-kaca.

Lion belum mengganti pakaiannya, dia hanya melapisi tubuhnya dengan jaket sport berwarna biru tua. Dia menenteng tas besar menuju mobil papanya, tempat aku dan Via menunggu. Lion segera membuka bagasinya, lalu menaruh tas besar itu di dalamnya.

“Ky,” ucap Lion lembut.

Aku menoleh, lalu kuhampiri Lion meninggalkan Via yang kemudian masuk ke dalam mobil.

“Ada apa?”

“Aku mau ngomong.”

Lalu diraihnya tanganku. Lalu Lion mengajakku menjauh dari mobil, aku pun menurut saja.

“Aku ingin ngucapin makasih yang khusus buat kamu. Tapi kamu nggak keberatan, kan?”

“Cuma ucapan makasih aja, kan?” sambutku dengan senyuman kecil.

“Sungguh, Ky, kamulah yang membuat aku jadi begini. Kamu tahu, apa sebabnya?” aku diam saja. “Karena aku mencintai kamu, Ky! Dan aku ngomong kayak gini bukan semata-mata untuk berterima kasih aja, bukan sekedar mengumbar kata-kata cinta aja. Tapi dari sini, Ky,” ucapnya sambil menunjuk dadanya. “Dan aku yakin, kamu sendiri pun tahu. Sejak dulu, Ky, sejak pertama kali aku mengenal kamu, aku sudah jatuh hati sama kamu!”

Aku masih tidak berkata apa-apa. Gejolak perasaanku begitu marak, lagipula lidahku terasa kelu, sehingga aku tidak mampu berkata apa-apa.

“Ky, aku udah nggak tahu lagi gimana caranya aku ngebuktiin bahwa aku benar-benar mencintai kamu!”

Aku menarik napas perlahan, tubuh Lion yang begitu dekat denganku dan genggamannya yang kuat, memberiku satu kehangatan. Sungguh, aku ingin lebih lama merasakan hal seperti ini. Dekat-dekat dengan Lion, menatap matanya yang legam, mendengar suaranya yang lembut.

Tiba-tiba aku mempunyai kekuatan tersendiri, bahwa aku juga memiliki perasaan yang sama dengan Lion. Ya Tuhan, cintakah aku pada Lion?

Aku menjadi teringat saat-saat yang lalu, saat setiap mata Lion menghujam kepadaku, dan aku merasakan getar-getar aneh. Getar-getar yang menggelisahkan dan kadang mengganggu tidur dan mimpiku.

“Lion.”

Hanya itu yang mampu aku ucapkan. Aku terperosok ke dalam jerat cinta Lion, dalam genggamannya yang kini membuat aku merasa aman, damai, dan hangat. Aku kini tersadar, ternyata aku juga mencintai Lion!

Lion yang dulu bagai seorang Beast bagiku, tapi kini bagai seorang pangeran tampan yang selalu ada dalam angan-anganku.

Ya, aku juga harus memberikan kesempatan pada Lion. Bukankah manusia hidup itu dinamis? Suatu saat manusia akan berubah. Dan ini sudah terjadi pada Lion. Dia tidak hanya membuktikan pada orang lain sebenarnya, tapi juga pada dirinya sendiri.

Lion! Nama itu aku sebut kembali dalam hati dengan segenap perasaanku.

(BERSAMBUNG)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post