Ahmad Amin Udin

Lahir di Banyuwangi, 24 April 1972 sekolah mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Belajar menulis puisi dan cerpen secara otodidak dan karya di tempe...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kopi Pahit
Segelas Kopi Pahit

Kopi Pahit

Pelan aku seduh kopi pahit di kedai Makmoer, meski tanpa tembakau kopi pahit tetap nikmat rasanya. Aroma khasnya melupakan rasa pahit seperti sepahitnya sepenggal hidup tentang cerita Rama dan Shinta harus berdarah-darah melawan Rahwana. Atau pun pahit dan sedihnya ketidak percayaan Sidopekso dengan kata jujur istrinya yang berakhir kesedihan mendalam. Mungkin dua cerita klasik ini sama-sama bertarung melawan kepahitan dengan akhir bahagia dan duka. Rasa segelas kopi yang aku seduh pun demikian nasibnya, rasa pahit bisa merasakan hadirnya kebahagiaan dan rasa pahitnya menghadirkan rasa duka yang mendalam.

Malam terus melarut menemani dinginnya kopi pahit, sudah dua gelas kopi pahit aku seduh, namun rasa harus bagaiman untuk memulai mendamaikan hati kekasih pujaan belum jua menyapa. Di saat aku berfikir keras tentang bagaimana tambatan hati dapat kembali hadir menemani kopi pahitku, hadirlah Shinta menemani malamku. Shinta begitu manis malam ini dan tetap saja aku tidak akan menambah manis pada kopiku karena itu semua adalah komitmen dalam hatiku untuk selalu menjadi pencinta kopi pahit. Begitu manis hingga mempesonanya ranum wajah Shinta gadis dari kota Bogor. Terus terang saja, sampai saat ini Shinta masih menjomblo padahal sudah semester enam. Jika saat ini aku tidak jalan bareng Larasati mungkin aku nyatakan apa yang aku pikirkan saat ini saat melihat wajah manis ini. Namun Larasati tetaplah hatiku, karena makna namanya yang begitu mendalam untuk menjadi sebuah harapan yang selalu memiliki hati yang romantis.

Lama Shinta menemani kopi pahitku dengan sedikit galau, dia mengungkapkan isi hatinya bahwa dirinya mencintai teman beda jurusan tapi masih satu dalam kampusku ini, Shinta mengungkapkan sang kekasih berkeinginan untuk menikah dengan tujuan menghalalkan hubungan. Sejenak, aku berpikir sambil mengkerutkan dahi sebagai bentuk keseriusanku, ternyata aku salah menilai Shinta jomblo. Namun syukurlah jika Shinta tidak jomblo karena hatiku tidak selalu berdebar-debar dan tidak berpikir untuk menduakan cinta. "Apa yang dikatakan kekasihmu benar adanya, saya tidak membenarkan sebagai orang yang memahami agama, namun saya membenarkan bahwa itu bentuk sebuah keseriusan dan tanggung jawab si dia." Malam semakin larut, akhirnya saya dan Shinta sama-sama berpisah dengan masing-masing membawa makna cinta yang berbeda, namun aku masih belum saja menemukan bagaimana mengembalikan hatinya Larasati, baiklah aku akan kembali lagi ke kedai Makmoer untuk berpikir keras kembali bersama segelas atau dua gelas kopi pahit.

(Pentigraf: mengenang sahabatku Ratna gadis Bogor)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post