Matrasit

Salam kenal... Namaku Ahmad Rasyid (nama pena) atau Matrasit, terlahir di Sumenep pada tanggal 6 Mei 1967. Mulai Maret 1988 berprofesi guru di Kabupaten ...

Selengkapnya
Navigasi Web
AZIMAT CINTA

AZIMAT CINTA

#CERBUNG#02

AZIMAT CINTA

Irfan belum bisa bernafas lega. Sekalipun akan dikenalkan pada seorang wanita, hatinya dirundung duka. Kakek yang sangat menyayanginya kini tiada.

"Kek, mengapa hal ini seolah begitu cepat untukku? Saya belum melaksanakan amanahmu. Apalagi boro-boro membahagikanmu?" sesal Irfan dalam hatinya.

Ia merenung sendirian di

belakang rumah. Keningnya tampak mengerut. Sesekali ia menarik nafas dalam-dalam. Saat itu pula tangan kanannya memegangi keningnya. Lalu mengurutnya perlahan ke arah dahi beberapa kali. Alhasil, beban puyengnya sedikit mereda.

Irfan seolah-olah menyesali apa yang terjadi. Batinnya merasa terpukul. Bagaimana tidak? Kakek yang berjiwa besar itu selalu hadir kapan saja. Terlebih saat dirinya merasakan kegalauan, kakek menyemangatinya. Harokah hidup selama bersamanya sangat menginspirasi diri Irfan.

Seluruh keluarga kini berkabung. Irfan tak mampu membendung tangisnya. Air matanya mengalir deras. Matanya sembab, memerah. Sesekali ia mengambil tisu yang disimpan di saku baju sebelah kiri bawah. Ia seka air mata dan ingus yang bercucuran dari hidungnya. Sebuah tangisan kasih sayang yang menandakan kecintaan kepada kakeknya. Kini semua itu telah sirna, tinggal memori kenangan.

***

Sekitar lima puluh harian sejak berkabung, agenda pencarian cinta dirancangnya kembali. Entah akan memulai dari mana? Irfan sedikit kurang percaya diri.

"Dek, kamu tak sendirian. Masih ada mama' dan embu'. Pasti mereka menyayangimu. Walau kalian kini tidak kumpul bersama." Kakak perempuan tapi lain bapak mencoba membesarkan hatinya. Irfan biasa memanggil dia mbuk _ ya, _mbuk Sumi. "Irfan, ayo bangkit! Kamu punya segalanya. Tak sepertiku, hanya punya ibu kita. Ayo jemput bakal jodohmu! Mbuk bersamamu jua," lanjutnya.

Irfan tak menjawab sepatah katapun. Diam, pandangannya lurus. Sebentar kemudian ia beranjak pergi ke dalam kamar. Diambilnya radio dua band yang berada di atas kasur. Dicarinya frekuensi yang cocok untuk menghiburnya. Distelnya lagu-lagu apa adanya.

Radio baginya laksana sahabat. Jikalau di rumah, adanya suara tanpa rupa itulah yang mengisi kehampaannya. Menghibur dan menumbuhkan semangatnya. Hp belumlah sebagaimana saat ini. Hampir tak ada.

"Ya, saya akan mengikuti pandangan kalian." Irfan bangkit dari duduknya.

Suasana malam itu, perbincangan terfokus pada bagaimana masa depan Irfan. Ayah dan ibunya sengaja datang ke rumah nenek di mana mereka tinggal. Demikian juga dengan bibi bungsu yang tinggal di lingkungan yang sama, namun beda rumah. Semuanya hadir semata untuk menyemangati Irfan.

"Nak, bibi setuju apapun yang kamu putuskan. Masa depan hidupmu ada padamu. Kita di sini bersamamu," ujar Bi Diya juga menyemangati.

"Ya, Bi. Terima kasih. Irfan ingin istikharah dulu. Sebab saya yakin dengan jalan itulah kita akan lurus menapaki jalan yang ditempuh." sambut Irfan.

"Alhamdulillah, demikian yang kami harapkan. Semangatmu adalah semangat kita semua," sambut ayahnya gembira.

Keesokan harinya Irfan pamit pada ayahnya. Ia akan menemui kiai yang pernah memberikan satu nama seorang wanita untuknya. Ia yakin sekali jikalau wanita itu jodohnya.

"Apa yang membuatmu begitu yakin, Cong?" selidik ayah Irfan. Ia sedang mendekati kursi yang berada di ruang tamu dan hendak duduk di sana. Baru saja ia usai salat dhuha.

"Ayah, saya tadi malam melihat cahaya yang berkilat-kilat dalam mimpi. Cahaya membubung tinggi itu seolah-olah berasal dari api yang membakar asrama pondok pesantren di mana kiai yang hendak membantu Irfan ini," Irfan berhenti sejenak, lalu, "... Entahlah? Tapi, saya yakin itu firasat baik."

"Baiklah, ayah dan ibu merestuimu. Lakukan yang terbaik untukmu, Nak!"

Pagi sekali Irfan sudah tiba di kediaman orang yang sedia mengantarnya. Ia seorang ustadz. Sangat dekat rumahnya dengan pondok pesantren yang ia mimpikan. Pas saja, uatadz itu kebetulan ada di rumah. Belum beranjak pergi ke mana-mana pagi itu.

"Sampeyan sudah siap?" sambutnya. Irfan tak dipersilahkan duduk. Ia dibiarkan duduk di luar saja. Siulan burung perkutut nan indah yang menyambutnya. Suara itu dekat sekali. Yah... burung dalam sangkar itu bergelantungan di tiang kerekan depan rumah ustadz.

"Insyaallah siap, Ustadz," sanggup Irfan.

"Nanti dia akan melewati jalanan depan ini." Ustadz Ruki sembari menunjuk arah jalan setapak di depan rumahnya. "Tapi, kalau tidak ada kita datangi ke sekolah. Cukuplah pantau agak jauh saja. Dia guru sukwan sekolah dasar sebelah barat jalan besar itu." Kembali Ustadz Ruki menoleh ke arah timur sambil menunjuk ke arah sekolah berada.

Waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi. Yang ditunggu belum juga tiba. "Jangan-jangan ia sudah di sekolah. Mungkin saja ia naik sepeda dengan temannya," duga ustadz. "Gimana kalau...."

"Ya, kita datangi ke sana, Ustadz." Irfan menanggapinya. Langsung memotong pembicaraan, bersemangat sekali.

"Ya, tapi tunggu dulu sampai waktu istirahat."

Ealah... benar. Dia sudah di sekolah. Terlihat dari kejauhan sedang duduk bersama kedua teman perempuannya. Mereka tak tahu jikalau ada seseorang sedang mengawasinya. Terlihat santai saja.

Suasana sekolah ramai sekali. Siswanya cukup banyak. Para siswa sedang bermain berlarian di halaman sekolah. Yang lain bercengkerama di bawah pohon perdu. Terlihat pula yang sedang beli-beli di kantin. Waktu istirahat memang sangat dinantikan oleh semuanya.

"Gimana sampeyan bisa melihatnya kan? Itu yang paling barat menghadap ke selatan," jelas Ustadz Ruki berbisik. "Kalau udah, ayo kita pulang! Sebelum mereka curiga pada kita."

Mereka berdua kembali ke rumah ustadz. Ia tak membawa kendaraan, berjalan kaki saja. "Gimana tadi? Sampeyan sudah melihatnya kan. Jelas gitu?" Ustadz Ruki menanya lagi.

Irfan hanya diam, tak menanggapi apapun. Sehingga mereka tiba di rumah ustadz. Ia langsung mengambil air lalu meminumnya. Sepertinya ia lelah dan kehausan. Sekitar enam ratus meter pulang pergi. Sinar mentari pun menyambutnya dengan hangat. Muka keduanya sedikit memerah. Lelah.

"Ya. Insyaallah dia cocok denganku. Walau...," Irfan berhenti sejenak dan menghela nafas panjang. Seperti berat untuk menyampaikannya. Tapi, "... terus terang tadi di sana dengan jarak yang cukup jauh bagi saya sangat kurang jelas. Yang saya tahu hanyalah _ dia duduk bersama temannya dan tak tampak sedikitpun raut wajahnya. Namun, saya percaya bahwa itu takdir Allah yang indah. Saya siap dengan segala resikonya, Ustadz. Insya Allah saya akan melamarnya," tegas Irfan tanpa ragu-ragu sedikitpun.

Sesampainya di rumah hampir seluruh keluarga dekat sudah menunggu kedatangan Irfan. Satu persatu berebut menanyakannya. Bagaimana wajahnya, cantik? Apakah tidak ada cela sedikitpun? Apakah kamu sudah menemui dan berkenalan dengannya? Lalu, bagaimana tanggapan dia? Tampak wajah mereka sangat penasaran.

Astaghfirullah, Irfan belum bisa menjawabnya. Tak satupun yang dijawab, sudah diserang dengan pertanyaan yang lain. Akhirnya, Irfan menceritakannya tanpa rahasia sedikitpun.

"Ai, awas kalau-kalau gak ada telinganya, atau ... ?!" goda mbuk Sumi. Mungkin saja _ begitukah kenyataannya?

Irfan sangat percaya pada firasat itu. Tak senang untuk berandai-andai. Apalagi harus buruk sangka. Toh ia telah memintanya kepada Allah. Jawabnya, walau melalui isyarat yang bersifat teka-teki _ jilatan api yang menjulur-julur tinggi _ menurutnya: sesuatu yang baik.

"Sudahlah, Mbuk! Kita berserah saja. Tolong doanya untuk kita semua," pinta Irfan.

Sepuluh hari kemudian pertunangan antara keduanya dirancang. Hari baik pun tak lupa ditanyakannya pada kiai melalui ustadz yang memediasinya. Segala sesuatunya dipersiapkan. Lamaran itu pokoknya harus berjalan sukses.

Satu mobil pickup dengan lima belas penumpang telah siap dengan topa' leppet dan kue goreng kocornya. Ala-ala tradisi yang turun temurun tetap dilestarikan. Pihak keluarga menyambutnya dengan penuh penghormatan pula. Mereka sangat berterima kasih keluarga Irfan.

Sebagai calon laki-laki, Irfan tetap di rumah. Setelah tiga hari baru boleh beranjangsana untuk lebih mempererat di antara keduanya. Biasanya diantar oleh salah seorang anggota keluarga dekat. Tapi Irfan kala itu bersama penghubungnya, ustadz Ruki. Waktu berkunjung dipilihnya setelah salat isya'.

Hati Irfan dagdigdug. Penyakit rasa malunya kini menggerayanginya. Takut dan was-was berkecamuk dalam dada. Apa yang akan diperbuatnya jikalau sudah bertemu dengan tunangan yang belum pernah dikenalnya? Adakah ia akan menyambutnya dengan indah? Atau...? Irfan membuang jauh-jauh suara hati yang datang hendak menipu.

Ketika Irfan sudah tiba di rumah yang dituju, calon ibu mertuanya mengabarkan jikalau bapaknya sedang di luar rumah. Bekerja agak jauh dan malam itu menginap di tempat kerja. Ia mempersilahkan duduk di kursi dan meminta maaf atas keadaan ini.

Beberapa menit berikutnya datanglah seorang wanita cantik tanpa kerudung menyuguhkan minuman, lalu menyilahkannya. Kira-kira usianya sekitar dua puluh tahunan. Irfan tak mengabaikan kesempatan itu. Ia bersyukur, ternyata tak seperti yang mbuk Sumi bayangkan. Alhamdulillah, sempurna.

Puas. Irfan dan ustadz berpamitan hendak pulang. Irfan menyempatkan untuk bersalim dengan siapa saja di rumah itu. Termasuk dengan seorang sepuh yang duduk di belakang lemari bufet. Mbah itu duduk dengan seorang wanita yang barangkali sedikit lebih tua dibandingkan dengan wanita yang menghaturkan minuman. Sepanjang jalan menuju rumah ustadz, hati Irfan berbunga-bunga.

"Bagaimana sudah tahu kan pada calonmu?" ustadz Ruki menanyakannya setiba di rumahnya.

"Iya, Ustadz," jawab Irfan tanpa ragu.

"Yang mana?" buru ustadz.

"Tentu yang menghantar minuman tadi," jawab Irfan lagi.

"Bukan... bukan itu" jawab ustadz.

Irfan terkejut dan penasaran. Seketika hati dan perasaannya bertanya keras _ lalu yang mana? Namun, ia diam saja. Merasa heran dan malu untuk balik bertanya, menunggu saja. Ia terperangah, penuh tanya.

"Yang tadi itu saudaranya. Sudah bersuami setahun yang lalu. Dan seorang perempuan yang hampir sebaya dan duduk bersama mbah di belakang bufet itu calon sampeyan," jelas ustadz Ruki. "Adakah sampeyan tahu dengannya?"

"Maaf, tidak tahu. Cahaya di dalam kurang begitu terang, agak gelap. Sulit saya mengenali wajahnya. Tapi tak apalah," jawab Irfan.

"Bagaimana sikap dia tadi?" tanya ustadz lagi.

"Dia tak mau bersalaman denganku tadi. Menyeret tangannya dengan keras."

"Iya sudah. Yang terpenting sampeyan masih tetap semangat dan tak berubah pikiran," nasehat ustadz Ruki. "Sudahlah, ayo istirahat! Besok pagi-pagi saja pulangnya."

Astaghfirullah, sepekan sudah waktu berlalu, belum juga ada tanda-tanda akan nungngeppi. Biasanya sepekan adalah waktu jeda. Waktu keluarga besan balik berkunjung. Refun, begitu kira-kira. Sepuluh hari pun tetap tak kunjung sua.

Pas benar. Sore itu ada seorang laki-laki berumur separuh baya menamu. Ia naik sepeda motor butut, Suzuki warna merah untuk lelaki. Seorang utusan yang membawa kabar duka, sekaligus menyampaikan permohonan maaf atas keterlambatan berkunjung balasan. Dengan sedih, ia menyampaikannya jikalau tunangan Irfan sedang dalam pencarian. Ia pergi dari rumah kemarin malam. Ia hanya meninggalkan secarik kertas yang ditujukan pada ibunya.

"Bu, maaf bila Ifah mengecewakan kalian. Saya ingin menenangkan hati. Sampeyan tak perlu mencarinya." Demikian isi surat itu.

Kabar itu bagai petir. Amat menggelegar di tengah gulita. Menyakitkan. Semua terbawa arus duka. Sekali lagi kesabaran Irfan diuji. Berbagai tanggapan pun kian meruncingkan suasana.

(Bersambung)8

#Ambunten, 14 April 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post