Matrasit

Salam kenal... Namaku Ahmad Rasyid (nama pena) atau Matrasit, terlahir di Sumenep pada tanggal 6 Mei 1967. Mulai Maret 1988 berprofesi guru di Kabupaten ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Sesaat Kutantang Marahari

Sesaat Kutantang Matahari

By. Ahmad Rasyid

Pagi itu, tepatnya Senin pagi kami seperti biasanya melaksanakan upacara bendera di sekolah. Pancaran sinar matahari begitu terang. Sekitar sepuluh menit tak sedikitpun mendung menghampirinya. Tak butuh diam, biarlah berlalu walau sewaktu saja melintas lalu meneduhi kami. Panasnya terasa keras menampar pipi. Terik, sungguh memerahkan.

Tampaknya mayoritas siswa yang siap gerak dalam barisan mulai nolah-noleh. Tak semangat. Disiplin yang tak biasa termanjakan, sedikit goyah. Andai saja, Pak Guru Zainal tak dibelakangnya tentulah bubar.

Aku yang terpanggil belakangan sebagai pembina upacara ragu-ragu pula. Kurang pede di kala berhadapan langsung dengan matahari. Protokol memanggilnya. Tidak serta merta aku ke lapangan, melainkan kuambil topi blangkon yang biasa kupakai hari Selasa di etalase kantor. Terlihat aneh. Setelan seragam ceki dengan atas blangkon. Siip... baru aku berdiri di tempat yang sudah disiapkan. Lima menit saja pipiku sudah memerah. Air suci mengalir dari pori-pori kulit pelipis menuju seantero pipi. Masih bisa bertahan. Sehingga lebih dari tiga puluh menit pun bisa bertahan. Panas matahari meradiasi kulit dan bagian tubuh lainnya yang terbuka, aku masih mampu bertahan. Namun dirasa tidak, ketika sepatu kulit yang kupakai juga mulai memuai -- memanas. Serasa kaki pun terpanggang, panas dan perih. Kalau hampir satu jam dengan kondisi yang demikian -- aku tak mampu. Sehingga akhirnya seluruh rangkaian kegiatan usai.

*****

** Jikalau siswa merasakan kepedihan oleh teriknya matahari, sementara para guru pun harus lebih siap mengalaminya. Siap untuk meneladani kedisiplinan. Siap untuk memberikan contoh rasa tanggung jawab. Siap untuk mengikuti upacara bendera secara bertanggung jawab.

** Dalam panas matahari yang dihantarkan oleh sepatu betapa terasa menusuk. Sakitnya lebih dibandingkan dengan radiasi menyentuh pipi. Padahal panas matahari yang menuju kaki tak bersentuhan secara langsung, namun lebih menyakitkan adanya. Gambaran keadaan ini bahwa betapa sakitnya bilamana seseorang menusuk dari belakang. Adalah gambaran kekurangberanian seseorang. Walaupun dianggapnya sebagai sebuah strategi, namun akibat yang dideritanya sangat mendalam. Artinya dalam sebuah persaingan harus gentlemen, satu-persatu. Berhadap-hadapan secara langsung. Jangan menikam kawan seiring dan menggunting dalam lipatan. Karena hal yang demikian tidak menunjukkan sebuah martabat dan tindak kebijaksanaan seseorang.

*****

Ayo belajar dari apa yang kita rasakan. Membaca dan belajar dari kehidupan alam untuk kesejahteraan harkat dan martabat manusia bumi.

#pentigraf

#refleksihidupbersama

#pasongsongan04112019

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post