Ahmad Sangkono

Saya lahir 53 tahun lalu, tepatnya di Blitar Jawa Timur. Menempuh di SD, SMP, SMA di Blitar. 1990 sempat di UNEJ jember, setahun kemudian pindah ke IKIP Malang....

Selengkapnya
Navigasi Web

SEKELUMIT KISAH KEHIDUPAN BENI

SEKELUMIT KISAH KEHIDUPAN BENI

“ Beni… Beni !” teriak ibu kepadaku. “ Ya,bu ada apa bu?” jawabku,sambil menghitung kelereng. “ Tolong belikan ayahmu obat sesak nafas di warung mbok Aminah, ini ayahmu penyakitnya kambuh “.“ Baik bu,obat untuk sesak nafas ya?”.

“ Ya ,cepat Beni!”. “ Ya bu!” jawabku (Aku adalah anak tunggal tinggal disebuah desa yang terletak dilereng gunung Kawi, tepatnya di desa Tosari Kabupaten Malang. Ayahku berusia kurang lebih 70 tahunan. Pekerjaan ayahku ketika masih sehat bekerja sebagai penggarap sawah milik tetangga. Beliau sekarang terbaring sakit sesak nafas sejak setahun terahir. Ibuku bekerja serabutan. Kadang-kadang disuruh tetangga untuk merawat anaknya yang masih kecil. Hasil bekerja ibuku digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Aku cukup bahagia dengan kehidupan sekarang meskipun tinggal disepetak rumah peninggalan nenek)

Dengan sedikit dongkol aku pergi ke warung mbok Aminah untuk membeli obat sesak nafas. “Mbok Aminah,beli obat sesak nafas dua kaplet”. “ 0h. kamu Beni ?”. “Ayahmu sakit lagi ya?”. “Ya mbok” seraya aku menyodorkan uang. “Kamu sudah kelas enam, saya dengar dari teman-temanmu kamu sudah seminggu tidak masuk sekolah, ada apa Beni?” “Nggak ada apa-apa hanya malas saja,” jawabku. (sebenarnya ada yang saya pikir,karena seragam sekolah dan sepatuku sudah usang dan malu bila bertemu teman-teman)

Setelah beberapa saat,sampailah aku dirumah.”Bu…ini obatnya?”. “Cepat bawa kedalam rumah?” jawab ibuku. Dengan sedikit menggeser badan aku duduk di depan ayah yang sedang terbaring di ranjang. Kupandangi badan ayah,yang semakin hari semakin kurus dimakan oleh usia dan penyakit sesak nafas. Tak terasa menetes air mataku. “ Oh Tuhan mengapa semua ini terjadi kepadaku”. Aku terperanjat kaget ketika ibuku tergopoh-gopoh dengan membawa segelas air mendekati ayah. “Ayah, minum obatnya dulu ya!”. “Tapi sebelum minum obat makan dulu,tadi ada rejeki diberi dua bungkus nasi oleh Bu RW, satu untuk ayah,satu bungkusnya lagi untuk kamu Beni !”. Tidak berapa lama aku membuka nasi itu yang berisi sangat enak sekali,ada telur matasapi, sedikit ayam dan parutan kelapa.”Wah baru kali ini aku merasakan enaknya makan. Mulai kemarin kami sekeluarga makan dengan nasi yang berasal dari ketela. Dengan lahapnya aku makan sampai habis, sebab sejak tadi pagi belum terisi perut ini. Demikian pula dengan ayah, beliau dengan lahap makan nasi bungkus pemberian Bu RW. Tak berapa lama,ibu membantu ayah untuk minum obat sesak nafasnya. Aku terharu dengan sikap ibu, beliau mengalah tidak makan nasi bungkus tersebut, tapi hanya makan dua buah singkong rebus saja sisa tadi malam. Baru kusadari bahwa inilah bentuk kasih sayang seorang ibu kepada keluarganya.

Tak terasa hari mulai beranjak malam. Suara bunyi bunyi burung malam mulai bersahutan menyambut datangnya malam, demikian pula dengan suara kodok mulai bersahutan dan desiran angin malam pegunungan sudahn mulai menyapa dengan lembut di desaku. Akhirnya malam ini satu keluarga kecil sudah terlelap tidur diselimuti oleh hati yang yang teriris sedih.

Ketika pagi sudah menjelang, aku sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Kupakai baju lusuh seragamku dan sepatu bututku.Tak berapa lama sampailah aku di sekolah, dengan sedikit malu aku menginjakan kakiku di halaman sekolah. Ternyata teman temanku sudah banyak yang berdatangan. Tiba tiba ada suara memanggilku,”Hei Beni, kok baru masuk, sakit ya?” tanya Anton sahabatku.”Oh nggak pa…pa Ton, ini aku malu Ton, karena baju dan sepatuku sudah using, dan ayah di rumah sedang sakit,” jawabku dengan nada yang lirih.” Oh, itu ya yang menjadi alasan kamu nggak masuk sekolah”.”Biar nanti aku mau bilang sama ibuku ya?”. (Ibu Anton adalah Bu Ratna, beliau sekaligus adalah guru wali kelas enam).”Jangan Ton, aku nanti kuatir dimarahi oleh ibuku” jawabku dengan suara yang tertahan.”Jangan kuatir, tanggung beres Ben” jawabnya dengan tenang dibarengi dengan senyumnya yang khas.

(Di dalam kelas enam sebenarnya aku termasuk anak yang berprestasi, hanya saja kondisi keluarga yang pas pas-an akhirnya yang menjadi patah semangat)

“Teng …teng suara bel masuk kelas terdengar nyaring, biasa Mang Karto yang memukul bel tersebut. Lalu aku bersama teman teman masuk kelas. Pelajaran hari ini sangat menyenangkan sekali. Pak Amir guru Bahasa Indonesia kami mengajar sangat baik dan beliau membuat kelas lebih semangat untuk belajar. Anak anak sesekali dibuat tertawa, demikian pula dengan aku. Aku hari ini bisa tertawa, sedikit melupakan hati yang sedang gundah. Si Kohir temanku yang memang pandai melawak mulai beraksi. Dengan adanya Si Kohir aku juga bias melupan baju using dan sepatu bututku.

Tak terasa bel pulang terdengar. Hari ini dipulangkan lebih awal karena cuaca kurang bersahabat. Mendung tebal menyelimuti ruang langit. Angin berhembus tidak seperti biasanya. Maklum daerah kami daerah pegunungan. Jadi pulang lebih awal biasa dilakukan. Kata Bapak Camat untuk antisipasi adanya bencana alam yang mendadak. Langsung aku pulang dan perasaan ini tidak seperti biasanya berdesir kurang enak menusuk relung hati yang dalam.” Mengapa ya, ada apa ya,perasaan bercampur aduk tidak menentu”. Ku percepat langkah kakiku pulang ke rumah. Ditengah perjalanan tepat di samping rumah hatiku berdegup kencang. Perasaan kuatir dan was was terus mengikutiku. “Ada apa sebenarnya ini?”. Ketika sampai depan rumah, aku lihat sudah banyak orang. Mereka memandangiku tidak berkata apa apa, Terdengar suara ibu dan beberapa ibu yang lain menangis.”Ayahmu Ben…meninggal baru saja” jawab ibuku seraya memeluku dengat erat. Tak terasa aku menangis sekencang kencangnya. Tiba tiba saja Bu RW mendatangiku.”Sabar Ben, biar para tetangga yang mengurus semuanya. Aku tidak bisa berkata kata lagi. Kuhampiri ayah, aku cium terakhir kali sebelum di bawa oleh tetangga untuk dimandikan.

Anton sahabatku dan Bu Ratna menghampiriku.” Sabar ya Ben, biar ibu yang akan membantu kamu” kata bu Ratna kepadaku.”Ya bu” jawabku dengan terputus putus. Akhir cerita, setelah dengan dibantu oleh semua warga desa acara proses pemakaman selesai.

Beberap bulan setelah ayah meninggal aku dan ibuku dibawa oleh Bu Ratna di rumahnya dan menjalani kehidupan kembali dengan normal.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post